Thursday, December 30, 2010

Silsilah keluarga Bebek


Keluarga besar Bebek dibentuk oleh dua trah penting: keluarga Prul (atau Coot) dan keluarga McDuck. Dua keluarga ini bertemu ketika Quackmore Bebek dari trah Prul menikah dengan Hortense McDuck. Pasangan ini adalah kedua orangtua Donal Bebek.

Keluarga Prul

Tokoh penting dalam sejarah keluarga Bebek, dan juga Kota Bebek, adalah Kornelius Prul (Cornelius Coot). Ia lahir tahun 1790 di Amerika, sebagai Warga Negara Amerika. Kornelius Prul dipercaya punya garis keturunan dari penduduk koloni awal Amerika yang ikut dalam kapal Mayflower (1620) dan koloni di Jamestown, Virginia.

Tahun 1818 Coot tiba di daerah dekat sebuah benteng Inggris di Fort Drake Brough, di bukit Kill Motor, Calisota. Tak lama kemudian pasukan Inggris terlibat perang dengan Spanyol yang menduduki wilayah California. Pasukan Inggris dipukul mundur. Tapi pasukan Spanyol tidak menguasai benteng itu terlalu lama. Mereka tertipu olehmenimbulkan bunyi letusan yang ditimbulkan dari popcorn yang dimasak oleh Kornelius. Kornelius membuat seolah-olah itu adalah bunyi senapan pasukan Inggris yang menyerang.

Sepeninggal pasukan Spanyol, Kornelius secara de facto menjadi penguasa benteng itu dan daerah sekitar. Dalam beberapa tahun daerah itu berkembang menjadi desa pertanian kecil. Kornelius menamai benteng itu sebagai Fort Duckburg. Belakangan ketika wilayah itu berkembang menjadi kota, ia dinamai Kota Bebek (Duckburg). Wilayah Calisota termasuk Kota Bebek sempat dianeksasi oleh Republik Meksiko yang baru merdeka, 1821. Tapi dalam praktek, Kota Bebek dijalankan secara otonomi oleh Kornelius Prul dan pasukan milisinya yang terdiri dari para Pramuka muda. California dan Calisota kemudian memutuskan bergabung dengan Amerika Serikat. Otomatis Kota Bebek juga masuk ke dalam wilayah AS. Sampai sekarang Kornelius Prul dianggap sebagai pendiri Kota Bebek. Patungnya menggambarkan ia membawa sepiring jagung, untuk memperingati insiden jagung yang mengusir pasukan Spanyol.

Kisah tentang siapa istri Kornelius Prul tidak pernah terdokumentasi. Tapi ia tercatat punya seorang anak laki-laki, Clinton Prul. Clinton menikah dengan Gertrude Gadwall. Dari pernikahan ini lahir seorang putri, Elvira Prul (beberapa versi Eropa menyebutnya Dora) – yang kemudian dikenal sebagai Nenek Bebek – dan seorang putra, Casey Prul. [Sekedar informasi, Casey Prul adalah kakek dari Agus Angsa. Anak perempuan Casey Prul dan Gretchen Grebe, Fanny Prul, yang menikah dengan Luke Angsa, adalah orangtua Agus. Saudara Fanny satu-satunya, Cuthbert Prul, tidak pernah diketahui menikah].

Elvira Prul menikah dengan Humperdinck Bebek. Mereka meneruskan tanah pertanian keluarga di kaki bukit Kill Motor. Mereka memiliki tiga anak, Eider si putra pertama, Daphne, satu-satunya perempuan, dan Quackmore. Eider Bebek menikah dengan Lulubelle Loon, dan memiliki dua anak, Didi (Fethry) Bebek dan Abner. Daphne menikah dengan Gustave Gander dan memiliki anak tunggal, Untung Angsa (Gladstone Gander). Sudah disebutkan di atas kalau Quackmore Bebek adalah ayah dari Donal Bebek. Tapi sebelumnya mari kita bahas jalur keluarga McDuck.

Keluarga McDuck

Keluarga McDuck adalah klan bangsawan Skotlandia. Awalnya keluarga ini tinggal di puri keluarga di daerah Ranoch Moor. Di tahun 1675, mereka meninggalkan puri karena ketakutan pada makhluk ’anjing monster’ dan tinggal di desa MacDuich, kemudian pindah ke Glasgow. Hanya beberapa ’hantu leluhur keluarga’ yang tinggal di puri McDuck.

Digambarkan setelah itu keluarga McDuck kehilangan kekayaan dan status sosial mereka. Di abad-19, Dingus McDuck, kakek Gober alias Scrooge McDuck, bekerja sebagai pekerja tambang batubara. Pernikahan Dingus dengan Molly Mallard menghasilkan tiga putra. Putra terkecil mereka, Fergus McDuck, yang menikah dengan Dawny O’Drake, adalah orangtua Gober. Gober baru berjumpa dengan dua pamannya, Jake dan Angus, belakangan ketika ia bertualang ke Amerika.

Gober menhabiskan masa kecil dalam kemiskinan di kota Glasgow bersama kedua orangtua dan dua adik perempuannya: Matilda dan Hortense. Di usia 8 ia mulai bekerja sebagai penyemir sepatu. Pelanggan pertamanya membayar dengan koin Amerika yang tentu tidak laku di Skotlandia. Tapi itu justru memberinya inspirasi untuk pergi mencari peruntungan ke negeri itu. Koin yang didapat sebagai upah pertamanya itu terus ia simpan, dan dikenal sebagai ’koin keberuntungan.’

Tahun 1880 di usia 13 Gober muda berlayar menyeberangi Atlantik, bekerja sebagai kelasi di sebuah kapal pengangkut ternak. Lima tahun kemudian ia kembali ke Glasgow sebagai jutawan, membayar hutang-hutang keluarganya dan membeli kembali puri milik keluarga. Tak lama ia kembali bertualang keliling dunia mengumpulkan kekayaan. Di tahun 1898 ia sempat memutuskan kembali ke Skotlandia. Saat itu ibunya sudah meninggal. Ia tidak lagi merasa negeri itu sebagai rumahnya, dan mengajak ayah serta kedua adiknya ikut ke Amerika. Ayahnya menolak, tak lama kemudian meninggal. Kedua adiknya ikut ke tanah yang baru didapat Gober di bukit Kill More. Di situlah Hortense bertemu Quackmore Bebek. [Cerita hidup Gober yang lengkap pernah dimuat dalam serial komik ”The Life and Times of Scrooge McDuck” oleh Don Rosa. Saya akan menulis soal ini di lain kesempatan.]

Setelah membangun gudang uang di bekas Fort Duckburg, Gober kembali melanglang buana menumpuk kekayaan lebih banyak lagi. Kedua adiknya dipercaya menjalankan usaha di Kota Bebek. Quackmore dan Hortense menikah, lahirlah si kembar Donal dan Della. Si kembar pertama kali bertemu Gober tahun 1930 ketika paman mereka memutuskan kembali ke Amerika. Pertemuan singkat itu sangat tidak berkesan karena Gober hanya peduli pada bagaimana ia menjadi bebek terkaya. Matilda dan Hortense memutuskan pergi meninggalkan Gober. Selama 17 tahun Gober hidup di kediamannya tanpa kontak dengan dunia luar.

Dalam periode ini Donal sudah tumbuh dewasa. Della digambarkan menikah dengan Bebek yang tidak diketahui identitasnya. Cerita Della selanjutnya tentang Della tidak pernah diketahui, selain ia memiliki tiga anak kembar Kwik, Kwek dan Kwak (Huey, Dewey dan Louie) yang kemudian diasuh oleh Donal.

Tahun 1947 Gober memutuskan membangun kembali hubungan dengan keluarganya yang masih ada, Donal dan ketiga keponakannya. Sejak itulah cerita petualangan keluarga Bebek di Kota Bebek yang menghadirkan Gober, Donal dan si kembar Kwik, Kwek dan Kwak dimulai.

Sumber: Wikipedia dan serial ”The Life and Times of Scrooge McDuck” oleh Don Rosa. Gambar pohon keluarga diambil dari komik Don Rosa

Sunday, October 17, 2010

Nizam Yunus

Saya tidak ingat kapan terakhir bertemu bang Nizam. Harusnya menjelang akhir 2006. Saya baru pulang dari studi master yang kedua di AS. Saya tidak sempat bicara banyak dengan beliau, karena pertemuan itu terjadi tidak sengaja di koridor kampus Salemba. Kami sama-sama baru dari satu tempat menuju tempat lain. Tapi seingat saya dari percakapan singkat itu sempat tercetus bahwa ia tengah menjalani ‘terapi’ untuk sebuah ‘penyakit.’ Saya tidak paham seberapa serius ‘penyakit’ itu. Saya waktu itu hanya bisa mendoakan semoga semua berjalan baik.

Memang sejak lulus dari FEUI, dalam satu dekade terakhir perjumpaan dan interaksi saya dengan bang Nizam sangat terbatas. Di awal 2000an saya ingat bang Nizam masih cukup aktif terlibat kegiatan penerbitan buku ultah FEUI. Satu bagian dari buku itu akan membahas keterlibatan civitas akademika FEUI dalam gerakan 1998. Sempat ada ide bagian itu akan dikembangkan menjadi buku tersendiri. Sayangnya, belakangan bang Nizam tidak lagi bisa terlibat banyak di proyek itu karena ia harus mencurahkan waktunya untuk anaknya yang punya problem kesehatan. Ia sempat berpesan, “Sorry gue nggak bisa lagi ikutan. Tapi gue masih simpan banyak dokumentasi aksi-aksi, silahkan datang kalau perlu.”

Ketika pak Dorodjatun jadi Menko Ekonomi di era Megawati, bang Nizam ikut ke Lapangan Banteng menjadi staf khusus. Suatu hari di tahun 2002, saya datang ke kantor Bang Nizam, mengantarkan undangan pernikahan. Ia tidak ada di tempat jadi saya selipkan undangan lewat bawah pintu kantornya. Di hari resepsi pernikahan, bang Nizam datang, masih dengan senyum dan gayanya – rokok bertengger di mulut – yang legendaris.

* * *

Bang Nizam adalah dosen saya di kelas Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL) yang saya ambil tahun 1994-95. Ia mengajar mata kuliah itu bersama seorang legenda, Prof. Emil Salim. Harusnya bang Nizam memberikan materi di paruh pertama semester. Tapi ketika tiba waktunya pak Emil mengajar, beliau mengalami kecelakaan. Kakinya patah saat lari pagi. Jadilah bang Nizam harus memberikan materi lebih banyak. Saat pak Emil sudah bisa mengajar, bang Nizam tetap hadir di kelas. Di belakang saya dan teman sekelas suka menggumam, “Bang Nizam lebih kayak asistennya pak Emil aja ya, bukan co-dosen ?” Memang benar, bang Nizam yang inisiatif menggandakan handout pak Emil. Sesekali ia juga nyeletuk di kelas. Sering tidak lucu sebenarnya, tapi kami ya tetap tertawa untuk menghargainya.

Gaya mengajar keduanya cukup berbeda, tapi saling melengkapi. Pak Emil seperti biasa, kalau berbicara selalu inspiratif. Yang disampaikan lebih banyak berupa isu, kebijakan dan gambaran besar. Tapi dari bang Nizamlah kami mendapatkan materi yang sifatnya teknis-teoretis, yang sangat kami perlukan untuk membentuk kerangka berpikir yang sistematis.

Tapi, seperti banyak teman yang kuliah di FEUI tahun 90an, sosok Nizam Yunus lebih banyak hadir dalam kapasitasnya sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Atau lebih singkatnya: Pudek III. Posisi itu ia pegang ketika Prof. Dorodjatun Kuncoro-Jakti menjadi dekan, tahun 1995. Saat itu, kurang dari dua tahun FEUI pindah ke kampus Depok. Proses transisi belum selesai. Salah satunya, kebanyakan dosen hanya datang ke Depok untuk mengajar, lalu kembali ke Jakarta. Pak Djatun ingin Pudek III bekerja full time di Depok, dekat dengan mahasiswa. Bang Nizam menjalankan fungsi itu dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya ia mudah ditemui. Dalam banyak hal ia membuat jarak antara dirinya dengan mahasiswa menjadi hampir tidak ada. Satu contohnya, ia hampir selalu berkomunikasi dengan sapaan ‘elu-gue’ pada mahasiswa. Tapi buat bang Nizam, ini terjadi secara natural. Tanpa membuatnya terlihat sebagai dosen yang ‘sok asik’ atau ‘sok dekat’. Tanpa membuat mahasiswa kehilangan respek padanya. Ia pun sering terus ada di kampus hingga menjelang gelap, dan masih terus mau menerima mahasiswa untuk urusan apapun.

Sebagai anggota junior BO Economica dan fungsionaris ‘bawahan’ di Senat, interaksi saya dengan bang Nizam di awal-awal masih terbatas. Tapi saya lumayan sering mondar-mandir ke ruangannya di lantai dasar dekanat. Sambil menunggu ‘giliran’ biasanya saya bercanda dengan mbak Rini, sekretarisnya yang bawel tapi kadang suka cemberut pada bosnya, dan mas Rusdi, staf urusan kemahasiswaan dan alumni. Ketika saya jadi Ketua BO Economica, konsekuensinya interaksi dengan bang Nizam jadi makin intensif.

Tahun 1998 posisi dekan FEUI baru beralih dari pak Djatun ke pak Anwar Nasution. Karena dinamika saat itu begitu tinggi, pak Anwar mempertahankan bang Nizam sebagai Pudek III. Ia perlu pengalaman bang Nizam berhubungan dengan mahasiswa, sehingga tidak perlu adaptasi lagi.

Memang, bang Nizam adalah orang paling tepat untuk menjabat Pudek III di situasi yang penuh dinamika seperti saat itu. Saya dan teman-teman perangkat aksi bisa merasakan dukungan penuh dari dekanat, meski tentu secara kelembagaan Fakultas tidak bisa memberikan dukungan terbuka. Bang Nizam bisa memainkan peran sebagai jembatan antara mahasiswa dan otoritas kampus, sekaligus seorang senior yang pernah terlibat dinamika mahasiswa di eranya. Sesekali ia bercerita tentang konstelasi gerakan di jaman dulu, seperti apa intrik antar tokoh dan lembaga. Dari situ kami bisa membandingkan dengan situasi tahun 1998. Di sisi lain bang Nizam juga tahu, aksi 1998 adalah punya mahasiswa. Bukan dosen, alumni atau politisi. Ia tidak ikutan latahnya alumni UI lain yang ingin mencuri pertujukan, menelikung mahasiswa di tikungan.

Di berbagai aksi, bang Nizam kami hampir selalu melihat bang Nizam. Ia rajin mengambil foto untuk dokumentasi aksi-aksi mahasiswa. Ia juga ikut menginap di kampus Salemba tanggal 14 Mei 1998, ketika teman-teman yang paginya melakukan aksi terperangkap di tengah kerusuhan Jakarta.

* * *

Kedekatannya dengan mahasiswa membuat saya sering lupa, bang Nizam sesungguhnya jauh lebih senior. Memang dibanding Pudek III di fakultas lain yang biasanya dijabat dosen muda, Pudek III FEUI lebih senior. Itu karena Pudek III FEUI punya tugas tambahan: mengurusi hubungan dengan alumni. Jadi memang yang dibutuhkan adalah seorang yang cukup senior dan punya hubungan dengan alumni angkatan jauh di atas. Secara usia, bang Nizam memang seumuran dengan orang tua saya. Ketika lulus baru saya tahu, ia adalah teman seangkatan ibu saya di SMAN 4 Jakarta. Bu Cintavathi pernah berseloroh, “Dia itu cocok jadi bapakmu, tapi kamu manggil dia bang Nizam…”

Tapi saya memang pernah mendapat setidaknya dua fatherly advise darinya. Sejak dari masa-masa aktif di BO Economica, bang Nizam cukup tahu hubungan saya dengan Juli yang cukup ‘sulit.’ Suatu ketika (saya lupa apakah saya masih kuliah atau sudah lulus) ia bertanya, “Ri, elu serius tuh sama si Juli? Elu tau kan hubungan elu berdua itu nggak gampang. Dari sekarang elu udah harus mikirin ke depan, bisa terus apa nggak. Jangan elu gantung terus anak orang, kasian dia sama elu juga…” Kata-katanya tidak seratus persen sama, tapi kira-kira seperti itulah. Sejarah mengatakan, Juli dan saya bisa melalui itu semua. Dan bang Nizam pun menyaksikan ketika hadir dalam resepsi pernikahan kami.

Yang kedua adalah soal studi. Ketika bertemu dengannya sepulang saya dari AS, bang Nizam agak bingung kenapa saya tidak langsung melanjutkan studi ke jenjang doktor. Ujarnya, “Mumpung elu masih muda. Kalo nunda-nunda terus kayak gue nggak jadi-jadi, keburu banyak yang harus dipikirin. Kayak gue gini. Sayang kalo nggak lanjut.” Untuk hal ini memang situasi lebih rumit. Seringkali ada gap antara harapan dan kenyataan. Tapi apa yang ia katakana selalu terngiang di telinga saya. Dan menjadi lebih berarti karena itu disampaikan oleh seorang Nizam Yunus.

Kini bang Nizam sudah beristirahat dengan tenang. Ada rasa sesal karena saya tidak sempat bertemunya untuk terakhir kali. Andai Tuhan masih memberinya umur tambahan seminggu saja, saya masih bisa bertemu bang Nizam. Tapi surga rupanya tak bisa menunggu lebih lama.

Selamat jalan, bang...!

Melbourne-Jakarta, Oktober 2010

Monday, September 27, 2010

Lagi, soal ketimpangan

Seberapa timpangkah ekonomi Indonesia?

Tulisan ini adalah tanggapan buat Faisal Basri, dosen dan mentor saya sejak dulu. Bang Faisal melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup klasik tapi selalu penting: seberapa merata atau timpangkah ekonomi kita?

Satu indikator umum dalam mengukur ketimpangan adalah Koefisien Gini (KG). Menggunakan indikator ini, ketimpangan di Indonesia relatif rendah, selalu ada di kisaran 0.32-0.38. Ini menjadikan Indonesia salah satu negara paling merata dalam hal distrubusi pendapatan di Asia. Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam punya KG di atas 0.4, dan Cina mendekati 0.5. Negara-negara Amerika Latin secara historis punya KG jauh lebih tinggi, banyak yang di atas 0.5.

Ada hal penting yang dibahas Bang Faisal. Pengukuran KG Indonesia didasarkan pada data pengeluaran (konsumsi) rumah tangga, bukan pendapatan. Data pengeluaran memang cenderung menciptakan ‘bias ke bawah’ (downward bias) dalam distribusi pendapatan. Orang miskin akan menggunakan hampir semua pendapatannya untuk konsumsi, sementara kelompok kaya akan menggunakan mayoritas pendapatan untuk ditabung. Setahu saya di Thailand, Cina dan Singapura juga kebanyakan negara Amerika Latin, data KG yg dilaporkan menggunakan pengeluaran.

Dengan demikian, seberapa bisa kita percaya bahwa ketimpangan di Indonesia memang rendah?

Data: konsumsi atau pendapatan?

Karena ada perbedaan perhitungan KG antarnegara, jadinya sulit untuk bandingkan kondisi ketimpangan antarnegara. Betul, perhitungan menggunakan data konsumsi akan memperkecil ketimpangan. Tapi ada sejumlah alasan mengapa data konsumsi bisa lebih baik dari pendapatan.

Pertama, pendapatan individu atau rumah tangga di negara berkembang seperti Indonesia bisa sangat fluktuatif. Waktu survey dilakukan akan sangat berpengaruh. Kalau dilakukan waktu paceklik, kita bisa mendapati banyak penduduk berpenghasilan nol atau negatif. Sebaliknya waktu panen banyak yang penghasilannya melonjak besar. Data konsumsi akan lebih mencerminkan pendapatan dalam jangka waktu lebih panjang. Meski pendapatan berkuran (atau nol), orang akan berusaha untuk bisa tetap makan, bisa dengan menggunakan tabungan, meminjam atau menjual aset. Ini dikenal dengan proses consumption smoothing.

Kedua, meski kualitas data konsumsi juga banyak masalah, data pendapatan punya lebih banyak masalah. Bias dlm pengukuran pendapatan akan besar. Bagi banyak penduduk, pendapatan bukan hanya dlm bentuk uang, tapi juga natura. Ini akan ciptakan problem dalam konversi ke dalam satuan uang. Belum lagi apakah responden akan jujur tentang jumlah pdptan mereka. Kalaupun mereka jujur, apakah mereka bisa ingat dan tahu detil total pendapatan mereka?

Jadi, saya lebih memilih menggunakan data konsumsi untuk mengukur distribusi pendapatan, tentu dengan berbagai catatan, ketimbang data pendapatan yang berpotensi hasilkan bias lebih besar.

Untuk perbandingan, rekan Arief Anshori Yusuf (Unpad dan ANU) pernah mengestimasi ulang KG untuk perkotaan dengan data pendapatan yang ia dapatkan dari data (kalau tidak salah) Social Accounting Matrix. Hasilnya, KG perkotaan terkoreksi jadi sekitar 0.6, atau sangat timpang seperti di Amerika Latin. Tapi ingat, ini adalah kondisi perkotaan, dan saya akan bahas isu ini di bawah.

Apakah Indonesia negara yg timpang atau tidak?

Jawabannya: compared to what?

Lepas dari perbedaan metodologi, dibanding Amerika Latin umumnya negara-negara Asia lebih merata. Dan di antara negara Asia, dibanding Cina/India, saya kira Indonesia tetap lebih merata.

Kenapa? Di Amerika Latin ketimpangan terkait kuat dgn ras dan geografis, dan ini terkait dengan sejarah pembentukan kelas-kelas sosial dan pendapatan. Di Cina ketimpangan berkorelasi kuat dengan lokasi geografis, antara pesisir dan pedalaman, dan ini terkait erat dengan tantangan alam yang membuat pembangunan bisa berjalan. Di India, kasta dan etnis serta agama juga berperan bukan hanya dalam menjelaskan ketimpangan, tapi juga melanggengkannya.

Di Indonesia, ketimpangan lebih banyak didorong oleh sekelompok kecil mereka yang benar-benar kaya, dan yang benar-benar miskin. Kesenjangan di kelompok tengah-tengah tdk terlalu mencolok. Apa indikasinya? Dalam kasus kebijakan yg ditargetkan buat kelompok miskin seperti BLT, Askeskin, beras miskin dan lainnya, menargetkan atau mencari ‘orang miskin’ itu susah. Antara yang miskin, agak miskin dan tidak miskin bedanya sangat tipis. Jadi tidak heran banyak yang merasa berhak mendapat bantuan meski dalam data BPS mereka tidak termasuk keluarga miskin.

Di kota kita memang bisa jelas melihat perbedaan mencolok antara yg super kaya dan yang sangat miskin. Tapi di pedesaan, dimana yg mayoritas penduduk Indonesia tinggal, perbedaan itu tidak terlalu mencolok. Jadi mungkin tidak salah juga kalau mengatakan ketimpangan di Indonesia memang tidak sebesar di banyak negara lain, meski tentu ada catatan soal data dan metodologi pengukuran.

Lepas dari itu, KG Indonesia memang memburuk setelah krisis. Ini karena petumbuhan konsumsi penduduk termiskin terjadi dalam laju yang lebih rendah dibandingkan kelompok menengah, dan kelompok menengah tumbuh lebih rendah dari yang terkaya. Menurut laporan ADB tahun 2007, kecenderungan ini terjadi seragam di Asia setelah krisis. Kenapa?

Satu hipotesis adalah terjadi perubahan struktur kegiatan ekonomi. Dulu di Asia kegiatan ekonomi bertumpu di sektor-sektor padat modal. Sekarang, motor pertumbuhan ekonomi adalah sektor jasa dan kegiatan-kegiatan yang bersifat technology-intensive. Kalau ini yg terjadi, maka fenomena ini mirip seperti hipotesis Kuznets: butuh waktu sebelum perubahan ekonomi bisa menghasilkan redistribusi.

Pertanyannya adalah akankah proses redistribusi akan terjadi scr alamiah. Kita tidak tahu. Tapi kita tahu bahwa kebijakan bisa membantu proses redistribusi terjadi dan dipercepat, dan kebijakan yang salah akan langgengkan ketimpangan. Dari beberapa kemungkinan kebijakan yang ‘salah’, kebijakan pasar kerja yang terlalu ketat, desentralisasi yang berjalan tanpa koordinasi adalah dua dari beberapa contoh yang perlu kita perhatikan.

Monday, July 12, 2010

Sejarah singkat Genesis

1. 1967 #Genesis dibentuk: Peter Gabriel (vocal) Tony Banks (kibor) Mike Rutherford (bass) Anthony Philips (gitar) Chris Stewart (drum)

2.Antara 67-70 2 album keluar: ‘From #Genesis to Revelation’ & ‘Tresspas’. Drummer ganti2 dari Stewart, John Silver lalu John Mayhew

3. 1970 formasi klasik #Genesis dimulai. Phil Collins (drum) & Steve Hackett (gitar) masuk gantikan Mayhew & Ant Philips

4. Formasi klasik bertahan 5 tahun& 4 album. #Genesis bermain di ‘album konsep’-lagu2nya spt cerita bersambung yg diikat oleh sebuah tema

5. Tony Banks jd otak musik #Genesis. Gabriel beri warna di lirik&penampilan panggung yg teatrikal: nyanyi pakai topeng rubah atau jadi pohon

6. Banks&Gabriel adlh sahabat baik+musisi brilyan. Ego mrk kadang nyambung, tp sering tabrakan. Ini bikin #Genesis mulai goyang

7. Lalu Gabriel punya mslh di rumah tangga&proses kelahiran anaknya. Plus ia mulai bikin proyek2 di luar #Genesis. 1975 ia umumkan keluar

8. Kata Banks: ada bagusnya, #Genesis tdk lagi identik dgn Peter. Stlh audisi 400 vokalis #Genesis milih jadikan Collins vokalis

9. Untuk konser, Bill Bruford drummer King Crimson dan ex-Yes sempat gabung. Hasilkan album live Second Out (1977) #Genesis

10. 1977 Hackett keluar stlh chemistry-nya making ga nyambung. Era baru #Genesis mulai dari album And Then There Were Three

11.Album ini hasilkan hit single pertama #Genesis, Follow You Follow Me yg pas utk konsumsi radio. Mrk jd masuk mainstream industri musik

12. Tinggal bertiga justru manajemen ego di #Genesis lbh mudah. Tony&Mike terus jadi motor, kontribusi Collins pelan2 makin besar

13. Rutherford pindah dr bas ke gitar. Utk konser #Genesis rekrut 2 musisi Amerika, Chester Thompson (drum)&Darryl Strummer (gitar)

14.Awal 80an pasar musik digempur punk&pop. #Genesis jawab lewat Duke dan Abacab. Eksperimen dgn teknologi spt di ‘Mama’ /‘Home by the Sea’

15. Collins sukses sbg solo. Kolaborasi dgn Townshend, Sting, Clapton, Geldof. Situasi jd aneh, #Genesis rekaman ketika single Collins jd #1

16. 1986 #Genesis balik rekaman. Hasilnya: Invisible Touch, sukses komersil terbesar sklgus puncak kerjasama mrk sbg tim

17. Invisible Touch hadir ketika era MTV juga mulai. #Genesis punya fanbase baru. Fans lama nggak semua suka dgn musik era ini

19. 1991 #Genesis bikin We Can’t Dance. 1992 Collins umumkan keluar. Mike+Tony ga tll kaget, it’s a matter of time. Malah, kok br skrg?

20. Banks sempat skeptis dgn kelanjutan #Genesis tp Mike msh semangat. Ray Wilson, vokalis Stiltskin asal Skotlandia direkrut.

21. Dg Wilson #Genesis keluarkan Calling All Station (1997). Utk konser, Nir Zidyakhu (drum), Anthony Drennan (gitar) direkrut

22. Album ini dianggap gagal scr musik mapun komersil. Mrk putuskan tdk lanjut. Wilson jd menyesal pernah gabung #Genesis, Nir Z juga

23. Banks sbnrnya msh mau coba lanjut tp Mike kuatir nama besar #Genesis akan jatuh kl perjudian ini gagal. Mike: energi kita sdh hbs

27. 2010 #Genesis masuk Rock n Roll Hall of Fame, grup prog-rock kedua stlh Pink Floyd. Bahkan Yes, King Crimson & ELP blm pernah dpt. HABIS

Monday, June 21, 2010

Harvard dalam 51 tweets

1. Sodara2, sbg spinoff atas serial tweet ttg #Boston sy coba twit ttg #Harvard university

2. bukan ttg #Harvard itu sendiri, tp lebih spt satu fragmen sejarah pendidikan tinggi di AS&bedanya dgn Eropa

3. Beda yg ckp jelas: univ swasta lbh dominan di AS. Univ publik rata2 dimiliki state dan berkembang stlh kemerdekaan #Harvard

4. Di Eropa juga Australia&Kanada yg dominan adlh univ publik, atau yg menerima funding dari pemerintah #Harvard

5. Tentu ini tdk lepas dari faktor sejarah, juga gagasan ttg peran ideal negara dlm hal ini sektor pddkan tinggi #Harvard

6. Di AS institusi universitas sendiri hadir sblm institusi negara ada. Beda dgn Eropa #Harvard

7. Di Kanada&Aussie jg begitu. Tp stlh ‘merdeka’ dua negara ini msh bagian dr UK, jd sistem pddkn jg mengacu ke UK #Harvard

8. Mana yg lbh baik? Dari segi kualitas dan dana riset, univ2 AS yg private-oriented lbh unggul. Top 20 univ dunia kbnykan dri AS #Harvard

9. Soal pemerataan? Gross tertiary enrolment di AS 73%, lbg tinggi dr Eropa. Skandinavia beda tipis, sekitar 70% #Harvard

10. UK, Kanada, Australia sktr 60%, Prancis 54%, Jerman 46%. Tentu angka2 ini tdk gambarkan sisi demand/pilihan konsumen #Harvard

11. Intinya, tdk berarti sistem yg private-dominated tdk mampu berikan akses pddkn tinggi lebih besar dibanding public-dominated #Harvard

12. Tp isu di AS adlh gap yg besar antara univ papan atas dgn bwh. Ini buat problem social mobility dan growing inequality #Harvard

13. Hal lain yg unik dgn AS adlh filantrofisme yg kuat. Ini yg substitusikan peran negara dlm pendanaan univ di AS #Harvard

14. Tradisi filantropi ini tak lepas dari sejarah AS yg didirikan oleh koloni2 kecil/independen dgn peran negara yg minim #Harvard

16. Univ publik baru 1785 (Georgia), 1789 (UNC Chapel Hill). College of William&Mary skrg publik. Tp berdiri 1693 sbg univ privat #Harvard

18. #Harvard berdiri 1636. Baru bernama Harvard thn 1639, dari nama John Harvard yg sumbangkan buku dan 779 poundsterling, separuh hartanya

19. Lokasi #Harvard di Town of Cambridge, ambil nama dr Cambridge UK. Di tepi sungai Charles, dari nama Raja Charles I

20. John #Harvard pendeta kelahiran Southwark, Inggris. Lulus dari Cambridge Univ. Meninggal di Charlestown, MA thn 1638 usia 30 krn TBC

21. Patung John #Harvard yg ada di kampus dibuat 1864, bukan wajah dia asli. Modelnya adlh mhs yg dianggap berwajah ‘intelektual’

22. Urban legend bilang model patung tsb adalah anak gelapnya rektor #Harvard saat itu. Nggak ada yg tau bener apa nggak

23. #Harvard dibentuk sbg institusi buat kaum puritan. Tapi lama2 dosen+mhsnya jadi kelewat Liberal. Awal abad-18 Puritan dirikan Yale

24. Abad-19 #Harvard jd institusi yg sekuler dan liberal. Tapi sekaligus kontribusi pd berdirinya kelas elit sosial ‘the Boston Brahmin’

25. Spt halnya sekolah2 Ivy League lain #Harvard memberikan alokasi khusus buat mhs keturunan alumni mrk.

26. Ini yg antara lain buat problem dlm social mobility di AS. Thn 2000an banyak alumni #Harvard non-darah biru mulai protes kebijakan ini

27. Ini a/lain yg dorong berdirinya MIT thn 1861, sbg institusi yg lebih terbuka, technology-oriented utk penuhi demand dr industry #Harvard

29. Istilah Ivy League sendiri baru ada thn 50an. Ketika #Harvard dan 7 univ lain di Northeast membentuk liga atletik antar mereka

30. 8 univ ini adlh yg tertua di AS: #Harvard, Dartmouth College, Yale, Brown, Princeton, Columbia, Pennsylvania, Cornell

31. Ciri2 univ tua adlh temboknya dirambati pohon Ivy. Seorg jurnalis mengejeknya sbg ‘Liga Pohon Ivy’ tp malah jadi trademark #Harvard

32. Hampir semua univ di AS awalnya hanya utk laki atau perempuan. Semua univ Ivy League tmsk #Harvard adlh utk laki2

33. Masing2 punya afiliasi sekolah perempuan yg disebut The College of Seven Sisters #Harvard

33b. slh satu Seven Sisters adlh Wellesley College di MA. sampai skrg masih utk perempuan. Lihat film "Mona Lisa Smile" #Harvard

34. Sampai 70an #Harvard resminya hanya utk laki2. Perempuan terdaftar di Radcliffe College , b’diri 1879 di dekat Harvard

37. Ada mitos mhs #Harvard tdk boleh keluar kampus lewat gerbang utama. Bisa DO. Konon Bill Gates mabuk, lewatin gerbang itu, DO-lah dia

39. Who knows. Kalau Mark Zuckerberg sih voluntarily DO dari #Harvard utk teruskan proyek Facebook yg ia mulai di kamar asramanya

40. Legenda lain suami-istri Stanford pernah ajukan bikin gedung buat memorial anak mereka, Leland, mhs #Harvard yg meninggal disentri

41. Ditolak rektor #Harvard krn penampilan mrk nggak spt org kaya. cerita ini nggak benar, di website Stanford univ juga dibantah.

43. Cerita yg benar adlh perpustakaan utama #Harvard diambil dari nama Harry Widener, alumni yg tenggelam di Titanic

44. Harry bisa slmt kalau saja ia bs renang ke pelampung. Makanya sampai brp lama mhs #Harvard hrs lulus tes renang 100m utk bisa wisuda

45. Prestasi sport univ Ivy League di NCAA sih biasa aja cenderung jelek. Krn mereka umumnya tdk kasih beasiswa khusus atlet #Harvard Sekian

46. Ada yg lupa. #Harvard&univ Ivy League lain msh terapkan model 'college' yg diadopsi dari model Oxford-Cambridge

47. Di model college, mhs+faculty tinggal bersama di asrama kampus. Di #Harvard namanya 'House', di Yale msh pake istilah college

48. Spt kata @wulanhandr ada periode #Harvard batasi mhs Katolik&Yahudi. Di dkt #Boston ada Brandeis Uni punya Yahudi&Boston College-Jesuit

49. Lalu istilah 'Ivy League' b'kembang, ada Jesuit Ivy (Boston College, Georgetown, Notre Dame dan bbrp lain)

50. Ada 'public Ivy' utk bbrp univ publik papan atas. Ada juga 'southern Ivy' utk univ2 elit di Selatan spt Vanderbilt, Duke #Harvard

51. Di #Harvard&Ivy League klpk fraternity+sorority nyaris tdk ada, sejak 1999 dibatasi. Meski konon di Yale msh ada Skull&Bone msh aktif

Sunday, June 20, 2010

Sejarah Boston dalam 70+ tweets

1.Sodara2, saya putuskan diskusi ttg sejarah #Boston akan sy berikan sekarang

2.Saya akan membaginya dalam bbrp seri. [Pertama] periode sblm revolusi Amerika. Angle-nya adlh relasi keagamaan di #Boston

3.Kenapa relasi keagamaan? 1) Sejarah AS tdk lepas dari kelompok2 agama, khususnya berbagai denominasi Kristen #Boston

4.2) AS juga melalui periode konflik sektarian-sekuler yg menjelaskan politik AS hari ini. Kita bisa belajar dr situ #Boston

5.Sejarah #Boston dan Massachussetts (MA) adlh episode penting dlm sejarah AS krn dari situlah AS modern dimulai

6.Sampai skrg banyak tempat di #Boston sll klaim sbg yg pertama. The first church, first school, hingga first pub (dkt Haymarket)

7.Awalnya kapal #Mayflower (1620) membawa 102 org+30 awak dari Plymouth UK. Tujuannya koloni Ingg di Jamestown, Virginia #Boston

8.Koloni=sekelompok org sipil/swasta yg dirikan self-governing territory di ‘dunia baru’ atas nama raja/ratu Inggris #Boston

9.Mrk bayar pajak/profit ke raja/ratu, imbalannya adlh pengakuan dan tentunya perlindungan militer #Boston

10.a.Koloni Eropa yg kita kenal di Asia adalah perush swasta besar spt VOC, East Indies #Bston

10.b.Tp di Amerika koloni adlh klpk/perush kecil dan tdk sll profitable #Boston

11.a.Banyak motif dirikan koloni di dunia baru. Ada yg murni cari peruntungan. ada yg dibuang sbg kriminal spt di Aust #Boston

11.b.Ada yg hindari persekusi otoritas agama spt org2 di #Mayflower #Boston

12.Org2 di #Mayflower adl klpk Pilgrim yg ingin pisahkan diri dari Gereja Inggris. Di negerinya mrk dikejar2 pemerintah #Boston

13.1609 klpk Pilgrim kabur ke Leiden. 1618 ditangkap pmrth Inggris. 1619 mrk bisa dapat pinjaman utk brkt ke Virginia #Boston

14.Sept 1620 cuaca jelek membuat mereka terdampar di Cape Cod. Krn sdh dkt winter mrk putuskan tdk jadi ke Virginia. #Boston

15.Tp daerah Cape Cod tdk cocok, mrk berlayar lg. Maret 1621 mrk mendarat di tempat yg akhirnya dinamakan Plymouth, Mass. #Boston

16.Mrk buat traktat #Mayflower yg isinya mrk dirikan koloni independen/self-governing di Plymouth #Boston

17.Kondisi mrk ketika mendarat bgt lemah. Rumah blm ada, makanan terbatas. Lewat winter 1621, hanya 53 yg hidup dari 102 #Boston

18.Maret 1621 kontak prtm scr formal dgn Indian lokal. Suku Wampanoag, kep suku Chief Masasoit (asal mula Massachussetts) #Boston

19.Relasi dgn pddk Indian awalnya damai. Org Indian berbagi makanan, ajarkan cocok tanam. #Boston

20.Musim gugur 1621 sama2 adakan syukuran, mrk bisa survive. kelak org Amerika rayakan ini sbg ritual #Thanksgiving #Boston

21.Tapi kedamaian tdk lama. Berita koloni Plymouth mengundang gelombang migrasi. Sjk 1622 konflik dgn Indian mulai t'jadi #Boston

22.a.Stlh Pilgrim, menyusul datang klpk Kristen Puritan. Sesuai namanya mrk ingin ‘menyucikan’ ajaran Kristen dari dalam #Boston

22.b. Beda dgn klpk Pilgrim yg memang ingin pisah dr gereja Inggris #Boston

23.Klpk Puritan berdatangan dlm bbrp gelombang. 1630 mrk mendirikan Massachussetts Bay Colony yg jadi kota #Boston skrg.

24.Akhir abad 17 koloni #Boston dan Plymouth merger

25.Klpk Puritan jlnkan koloni di #Boston scr religius. Awalnya positif dlm menghasilkan pranata sosial, hukum, politik&ekonomi

26.1635 Boston Latin School, sklh pertama di Amerika, berdiri. Kelak Ben Franklin, John Adams, John Hancock sklh di sana #Boston

28.a.#Harvard awalnya univ-nya klpk Puritan konservatif. Tapi lama2 mhs+dosennya jadi kelewat liberal. #Boston

28.b.Lalu Puritan yg gerah bikin univ baru, Yale, di New Haven, Connecticut #Boston

29.#Boston berkembang tp pmrth koloni sgt konservatif dan tdk toleran thd kepercayaan lain. Ironis krn mrk dl hindari persekusi

3.Kenapa relasi keagamaan? 1) Sejarah AS tdk lepas dari kelompok2 agama, khususnya berbagai denominasi Kristen #Boston

30.Thn 1638 Anne Hutchinson, tokoh hak2 perempuan, di-ekskomunikasi krn aktifitasnya meresahkan&menggoyang otoritas #Boston

31.Thn 1660 Mary Dyer, prp Puritan yg pindah agama jadi Quaker digantung di #Boston krn terus menolak larangan thd aliran Quaker

32.Dan tentunya sejarah kelam #Salem Witch Hunting antara 1692-awal abad 18 Salem adalah kota kecil sktr 45 menit dari #Boston

33.Awalnya adalah sejumlah gadis remaja yg mengalami ‘kesurupan massal.’ Org2 anggap mrk melakukan ritual withcraft #Boston

34.Withcraft adlh kepercayaan/ritual pagan yg di Eropa dianggap ‘sesat’. Penganutnya dikejar2, diberi stigma tukang sihir #Boston

35. kesurupan di #Salem berujung pd perburuan org2 yg dicurigai sbg tukang sihir. Umumnya mrk perempuan dewasa blm menikah #Boston

36.Tapi lalu siapapun yg tdk disukai bisa dituduh sbg tukang sihir. Dibawa ke pengadilan tp tdk bisa membela diri dg layak #Salem #Boston

37.cara utk selamat adlh mengakui kalau ia adlh tukang sihir dan menunjuk orang lain. ini timbulkan histeria #Salem #Boston

39.WitchHunt smp skrg jadi bahan kajian hukum (prosedur pengadilan), sosial+politik. Banyak teori ttg knp ini bisa t’jadi #Boston

40.Latar blkg politik+agama adlh soal otoritas, terutama otoritas aliran dominan (Puritan) thd yg berbeda dgn mrk #Salem #Boston

40.Latar blkg politik+agama adlh soal otoritas, terutama otoritas aliran dominan (Puritan) thd yg berbeda dgn mrk #Salem #Boston

41.Scr ekonomi ini didorong oleh situasi ekonomi yg sdg jelek, makin banyak pddk dan konflik lokal terkait utang, tanah dll #Salem #Boston

42.#Salem Witch Hunting dan aktifis Anne Hutchinson jd inspirasi novel The Scarlett Letter karya Nathaniel Hawthorne #Boston

43.Kakek Hawthorne, John Hathorne, adlh seorg hakim di #Salem. malu dgn sejarah keluarganya,ia ganti nama jadi Hawthorne #Boston

44.Scarlet Letter sdh bbrp kali difilmkan. Versi 1995 Demi Moore, Gary Oldman, Robert Duvall #Boston

45.Thn 2005 saya ajak @taufikbasari dan bbrp teman main ke kota #Salem ketika mereka jalan2 ke #Boston. Kota yg indah sebenarnya

46.Oh iya, th 1636 bbrp lari dari persekusi Puritan di #Boston, dirikan koloni baru di Providence. Brown Univ sekolahnya di sana

46.Oh iya, th 1636 bbrp lari dari persekusi Puritan di #Boston, dirikan koloni baru di Providence. Brown Univ sekolahnya @ujangw di sana

47.Demikian cerita hari ini, sori kepanjangan. Lain kali saya teruskan dgn #Boston di era revolusi dan stlhnya, serta ttg #Harvard.

48.Kali ini in brief bbrp momen sejarah+hal2 unik lain ttg #Boston. Paruh kedua abad-18, Amerika terdiri dari 13 koloni Inggris

49.Perang Inggris-Prancis di Amerika Utara selesai 1763. Ide2 ttg liberalisme &kemerdekaan mulai timbul #Boston

50.Keuangan Kerajaan cekak habis perang. Pajak dinaikkan termasuk di koloni #Boston. Koloni keberatan, ‘no taxation without representation!’

51.1767-keluar Townshend Act,kenakan pajak utk kertas,kaca&teh. Pddk mulai gerah. 1770 ada tawuran antara pddk-tentara kerajaan di #Boston

52.Ini berujung ke insiden #Boston Massacre. Tentara tembakkan senapan ke massa, 5 tewas. Lokasinya sampai skrg jadi slh satu landmark kota

53.1773-keluar Tea Act yg bolehkan East Indies Co.jual teh lgs ke koloni dgn harga murah. Koloni sdg boikot teh Inggris sbg protes #Boston

54.Des 1773 bbrp org #Boston naik ke kapal membawa teh dari Inggris, buang teh ke laut. Dikenal sbg momen Boston Tea Party

55.Sejak itu koloni Amerika resmi perang dgn kerajaan Inggris. Tentara koloni adalah milisi (The Patriots). #Boston

55b.Bbrp bertugas siaga-'The Minutemen'. Ironisnya skrg jd sebutan buat org sipil jaga p'batasan Mexico dari imigran gelap #Boston

56.1775 tjadi p’tmpuran di Lexington&Concord, sekitar 45mnt dr Boston, dan Bunker Hill, North #Boston antara milisi-tentara Inggris

57.a.1776 proklamasi kemerdekaan di Philadelphia. Wakil Mass. a.l John Hancock, Samuel Adams, John Adams. #Boston

57.b.Ben Franklin kelahiran #Boston tp pindah ke Philly usia 17. Makam ortunya msh ada di dekat Boston Common

58.John Hancock jd nama prsh asuransi, ttd-nya jd logo prsh. Samuel Adams jadi merk bir asal #Boston Gmn ya kl Sukarno/Sjahrir jd merk bir?

59.b.2) role pmrnth t’batas, jd warga hrs self-defense properti mereka. #Boston

60.Juga isu small govt, krn AS mmg berawal dari koloni2 kecil, dgn peran govt yg minim tapi suka abuse lewat pajak #Boston

61.Stlh kemerdekaan #Boston jd slh satu kota terpenting di AS. Meski ekspansi Amerika ke barat buat signifikansinya berkurang

62.Area fisik #Boston berkembang 3x antara 1631-1890 lewat reklamasi tanah di daerah Back Bay, Chinatown, South&West End. Tmsk Boston Uni

63.Lalu di abad-18 ada gelombang migrasi dari Irlandia menyusul great famine. Disusul Italia abad-19. #Boston jd satu tujuan utama

64.Kmrn @hotradero&saya sdh cerita soal pengaruh kultur Italia&Irlandia di #Boston tmsk tim basket mrk Celtics

65.Skrg keturunan Italia banyak di North End, disebut jg #Boston Little Italy. Yg jauh lbh besar dr Little Italy di New York

67.Well,kebetulan juga slh satu kasus pastor pedofil terjadi di bwh Keuskupan #Boston :-)

68.Keuskupan #Boston sampai harus keluar uang banyak buat lawsuit, hingga saldonya negatif. cerita teman pastor Jesuit yg kuliah di sana

69.Tadinya sy mau tambahkan soal politik #Boston dan MA cuma kyknya sudah jadi pengetahuan umum lah, jd sekian dulu

Sunday, June 06, 2010

Whoopsie-daisy, just when they thought they'd rid of mulyani

Note: Zulynda Ibrahim is a good friend of mine back in the Depok days in the '90s. Lynda, that's how her close friends call her, has been active in the web world long before there was blogs, Facebook or Twitter -- and apakabar@clark.net was the forum to discuss all about Indonesia, especially things we wouldn't be able to discuss in public or mainstream media. But strangely, in the era of social networking, she's reluctant to expose herself. So she asked me if she could share ('numpang') her thoughts in this blog. An offer I can not resist... AP


by: Zulynda Ibrahim


Nope—this is neither a tribute for former Finance Minister Sri Mulyani Indrawati nor a rant against her opponents, I promise you. I’ve vented off unreservedly on a couple of other blogs before (see here and here) that I’m sure I’ve completed the Kubler-Ross’ five stages of grief by now.

Sri Mulyani exited the Cabinet on May the 5th. She flew away to D.C. 21 days later. And today, June the 1st, Mulyani starts her tenure as Managing Director in World Bank—the first Indonesian, and a woman, to ever take up the position, I shall add. Such a prideful moment, if the events leading up to it weren’t so infuriating. But hey, I promised I wouldn’t vent again.

On her last days in the country numerous farewells were thrown by various communities on her honor. Mulyani, while wrapping up duties, packing up suitcases, and probably reading thick dossiers I bet were started to arrive from WB, graciously returned the honor by attending.

I didn’t see the so-called open lecture at the Ritz Pacific Place, where her parting words were tweeted live, transcribed and uploaded soon, then widely commented about. Aside from the fact that her speech revealed insights worth dozens of separate articles, it’s the state of emotion of the attendees, some of whom were my friends, which caught my attention.

Like freshly cut flesh, gaping open and gushing blood, it was raw. Denial had just deflated and audience was feeling the rising anger just as the usually private Mulyani finally shared her views and sentiments over Centurygate. I think that was mostly why such stir ensued. It wasn’t so much of the cold facts she elegantly served, it was also how the audience was receiving it. They were, rightfully so, angry.

I attended the luncheon in the old Salemba campus’ 100-seat auditorium the day after, crammed by 300 of her former students, teaching assistants, classmates and lecturers, to the school’s staffs, who all had known her since she was simply ‘Mbak Ani’.

Many tributes were delivered. The widely reported satirical wayang tale of archer Srikandi getting pinched between warring hubby Arjuna and evil troll Buto Cakil. Another waxed on Javanese folk song Sri, Kowe Kapan Baline, the centerpiece of Sindhunata’s paean in Kompas, telling of a woman finally leaving her partner after thankless, heartbreaking years.

But the cake was the reading of Al Pacino’s eloquent finale monologue in Scent of A Woman, where his character Col. Frank Slade defended a modest schoolboy who refused to snitch against prankish classmates at the cost of Harvard scholarship. As Col. Slade said, that kind of attitude is called integrity, which himself had often avoided because it was too damn hard, and if the prep-school was punishing instead of fostering such noble attitude, then the school had to realize what kind of leaders they were preparing. Touché.

Audience laughed and clapped along, and Mulyani herself even said it was perhaps her first free laughter in six years, yet as I looked around I realized that sadness was the unspoken undertone.

Perhaps because anger had slowly dissipated. Perhaps because she was back to her academic root, and we were gathering like a tribal family embracing our fallen comrade. The tight-knit academic community that, for all the unjustified labels we got, has inarguably contributed very much to the country’s economic foundation and policies, as visualized by the silver-haired front row seaters, Mulyani’s former lecturers and the school’s emeritus professors, most of whom in their days had guarded the country’s assets by serving in Finance Ministry and Central Bank, or as the revered economist Dorodjatun Kuntjoro-Jakti quipped in his opening address, “Balancing between one-man-show Soeharto and Alan Greenspan during the 1998 monetary crisis”.

The only apparent heartrending moment took place when Mulyani humbly said she hoped we didn’t think that she had betrayed what we all were compulsorily taught since the first day of college, to always put citizens as the ultimate stakeholder-- the battle she ironically felt fighting alone on her government days. I shed a tear. Many around me sighed heavily. Reading my SMS across town, friends, regardless of personal view on Centurygate, were in goose bumps.

Ay, Indonesia. Just when I thought we had finally made it.

Later that evening, I was lucky enough to be included at the Financial Club fete. The jovial mood decidedly turned visionary as literary maestro Goenawan Mohamad gave a poignant address on the rising of political thuggery, warning audience of a lost momentum that would very well lead to a sense of hopelessness.

I looked around at the crowd of feisty Facebookers, artsy folks, and the capital market captains of Rolex-sporting men and Vuitton-toting women, and was relieved to see, glimpsed through the mix of anger and sadness, a strong sense of moving forward, of righting what was wrong, of not whining in despair. The crowd of different circuits that might not naturally co-mingle in daily life yet tonight was united in giving standing ovation as Mulyani finished her goodbye by coolly pleading to not stop loving the country for there are no reasons to ever stop loving one’s own country. The crowd that grew animated as some rousing souls started shouting “Ani for presidency!”.

And that was when it really hit me. Wow! Different people, originally came from different background or view over the debacle, are now united. Either out of a sense of humanity over seeing the public vilification of a rare ‘clean’ government official, or of a sense of justice over watching where the republic was turning, or simply of a practical mind over nation’s future growth. Different people, each with their respective nest and network, wielding hand in respective parts of country’s livelihood, even as most like me tend to stay apolitical, are now in unison. We accepted what has folded out, we don’t accept where it’s going.

And I wonder if the other crowd somewhere out there, perhaps feasting on roast lamb while dancing ‘rah-rah’ around the bonfire, are realizing that they’ve just earned a vastly growing number of fresh foes, regardless of what Mulyani says about or sees herself in the next decade. Regardless of how Mulyani is or will be affiliated, politically and structurally. Regardless of all of that, now there has been a fundamental shift in how public see and accept Mulyani. And each and every one of this often faceless public has a vote to give comes 2014.

I accompanied Mom to a wedding that weekend and her friends, 60-something dames in their pearls and perfectly coiffed dos, who were usually concerned themselves with grandkids and charities, were fervently discussing Mulyani’s exit that one of them exclaimed that the minute Mulyani declaring a bid for presidency she’d march down the street to lend personal support. And this is a dame I don’t think would ever survive two hours without aircon.

Ay, ay. I wonder, if that other celebratory crowd has got a time to pick up the newspaper and read about the newly elected Noynoy Aquino in neighboring pinoyland. Better still, if they could spare a minute to consult history books and learn about what motion got triggered after Noynoy’s father was shot—and how that birthed one Cory Aquino.

Sometimes, you push just a little too far and, whoops, there goes the equilibrium down the drain and boomerang the energy in the completely opposite direction.

Whoopsie-daisy. Just when they thought they’d rid of Mulyani. Whoopsie daisy!


Thursday, May 20, 2010

After the Love Has Gone

Ari A. Perdana
Melbourne, Australia

Sri Mulyani pergi. Tapi ia pergi dengan kelas, dengan style. Kuliah Umum perpisahan yang diadakan 18 Mei lalu disiapkan sebagai forum buatnya menjelaskan apa yang terjadi. Tapi ia tidak menggunakan forum itu sebagai ajang pembentukan citra sebagai orang tertindas, yang ampuh mengantarkan SBY ke kursi kepresidenan tahun 2004. “Saya masih pembantu presiden. Saya tidak bisa bicara yang buruk tentang yang saya bantu,” tukasnya. Sebuah sikap yang sangat elegan.

Tapi pesan tetap terkirim. Ia mundur karena apa yang ia sebut sebagai ‘perkawinan politik.’ Sistem yang tidak memberi penghargaan pada meritokrasi. Bahkan apa yang sudah ia lakukan selama ini malah dianggap sebagai ganjalan buat kepentingan politik.

Dalam pidato perpisahannya, Sri Mulyani tidak mengijinkan kita untuk merasa kalah dan tertindas. Sebaliknya, ia menujukkan bahwa moral, etika dan sikap tanpa kompromi masih punya harapan di negeri ini. Hari ini kompromi politik mungkin masih jadi pemenang. Tapi perlawanan yang ia dan para stafnya di Departemen Keuangan menunjukkan bahwa asa itu tidak pernah padam. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung dalam pidato pengantarnya, “Para perompak bisa membakar taman bunga. Tapi mereka tak bisa mencegah datangnya musim semi.”

* * *

Hari-hari ini kita akan merasakan hype seputar Sri Mulyani. Entah apa perasaan para anggota DPR yang selama ini begitu obsesif menjatuhkan Sri Mulyani. Juga para aktifis yang selama ini mengusung poster bak drakula penghisap darah, serta media massa yang mengipasi. Semua penghakiman ini tidak membuatnya dibenci – selain oleh, tentunya, yang memang sudah benci padanya sejak awal.

Dalam setiap pesta, ada saja yang menggerutu. Entah karena kehabisan makanan, entah karena gagal menjadi pusat perhatian, atau karena alasan lain. Kalau gerutuan ini datang dari mulut para politisi yang frustrasi setelah gagal menurunkan Sri Mulyani secara tidak terhormat, itu wajar. Juga kalau itu dilontarkan oleh para pengamat di media yang selama ini hidup dan menumpang populer dari mencela Sri Mulyani.

Tapi gerutuan ini juga banyak terlontar dari orang-orang yang, ironisnya, seharusnya punya akal sehat. Mereka mengejek dan menyebut perayaan ini sebagai ‘pemujaan individu oleh para die hard.’ Lalu ada yang mencari-cari kejelekan Sri Mulyani dan kegagalannya sebagai Menkeu. Beberapa lain masih berusaha netral, coba melihat dari dua, tiga, bahkan empat sisi cerita. Mereka lupa bahwa selama ini kita sudah dijejali oleh satu sisi cerita – sisi para pemburu tukang sihir di Pansus, media yang mengipasi, aktifis yang naïf serta pakar penggemar teori konspirasi. Pada akhirnya mereka justru terjebak menempatkan Sri Mulyani sebagai locus, sebagai pusat gravitasi. Gagal melihat hal lebih besar yang sedang dirayakan. Terus terang saya kasihan. Hidup mereka agaknya penuh dengan kecemburuan, frustrasi dan kejengkelan. Seperti tokoh Holden Caulfield dalam novel The Catcher in the Rye.

Sri Mulyani tidak punya modal untuk dikultuskan. Ia bukan anak proklamator atau keturunan dinasti politik manapun. Ia bukan seperti Cory Aquino atau Aung San Suu Kyi yang mengalami penindasan dan memimpin sebuah gerakan. Ia bukan seseorang yang mengumbar kharisma lewat pencitraan diri.

Ia mendapatkan dukungan – bukan pengkultusan – lewat prestasi. Prestasi dalam menjaga indikator-indikator ekonomi makro, serta reformasi birokrasi di Depkeu – sebuah upaya membenahi institusi yang menguasai 70 persen keuangan negara. Pendeknya, Sri Mulyani adalah representasi dari sebuah gagasan. Gagasan tentang birokrasi yang bersih dan institusi yang kuat. Ia adalah representasi dari sebuah perjuangan. Perjuangan untuk menempatkan integritas, akal sehat dan etika di atas kompromi politik.

Karena itulah para die hard ini bukan sekedar mengelu-elukan Sri Mulyani. Kita merayakan sebuah optimisme. Sebuah harapan akan perbaikan.

Apa yang dilakukan di Depkeu memang masih di pertengahan jalan. Banyak yang perlu diperbaiki, jelas. Sangat tidak adil jika kita menilai hasil akhir sebuah proses reformasi di tengah jalan. Dan itu bukan pekerjaan mudah. Ia harus memimpin perombakan besar-besaran di Bea Cukai, institusi yang selama ini mirip negara di dalam negara. Juga di Direktorat Jendral Pajak.

Betul, masih ada Gayus di sana. Sangat naïf untuk berharap dalam kurang dari lima tahun semua Gayus di Depkeu sudah hilang. Tapi intinya sebuah sistem tengah dirintis. Selama ini mekanisme insentif tidak bisa memisahkan para Gayus dari staf-staf yang bekerja sungguh-sungguh dan punya komitmen. Itulah yang tengah dibenahi. Dari percakapan dengan beberapa rekan di Depkeu – yang bisa saya kategorikan sebagai good guy – mereka sudah bisa merasakan perbedaan itu.

Dengan kata lain, Sri Mulyani mewakili sebuah gagasan tentang masa depan. Bukan gagasan tentang masa lalu (keturunan siapakah ia). Ia juga mewakili harapan kita sosok pemimpin di masa depan. Setuju atau tidak, Sri Mulyani telah memasang sebuah standar yang tinggi bagi siapapun yang berniat menjadi pemimpin negeri ini. Pemimpin yang benar-benar memimpin. Bukan sekedar mengumbar tangis atau keluh kesah. Bukan yang lepas tangan dan membiarkan anak buahnya menjadi sasaran tembak demi posisi politik yang aman.

* * *

Ada pertanyaan, bagaimana nasib reformasi birokrasi sepeninggal Sri Mulyani. Kabar baiknya adalah proses penunjukan Menkeu baru relatif bersih dari kompromi politik. Menkeu yang baru Agus Martowardoyo, dan wakilnya Anny Ratnawati, adalah orang-orang yang punya rekam jejak cukup bagus. Agus adalah profesional dengan latar belakang perbankan yang dinilai cukup berhasil memimpin Bank Mandiri. Anny Ratnawati adalah orang dalam di Depkeu. Konon ia adalah salah satu orang yang direkomendasikan langsung oleh Sri Mulyani. Ia akan memegang peran penting menjembatani Agus untuk melakukan pembenahan ke dalam institusi Depkeu. Pembenahan ke dalam memang jadi titik yang krusial. Untuk ke luar – pasar, investor, politik, internasional – duet Agus-Anny cukup diterima.

Tantangan berikutnya tentu bagaimana menerjemahkan gagasan itu ke dalam praktek. Beberapa teman mengatakan, pelajaran dari kasus Sri Mulyani adalah teknokrasi tak cukup tanpa dukungan politik riil. Singkatnya, kesimpulan teman-teman ini adalah dirikan partai untuk menyokong orang-orang dari kalangan teknokrat-profesional.

Saya tidak akan menyanggah saran ini. Mungkin ada benarnya. Yang ingin saya katakan adalah mendirikan partai dan masuk politik memang perlu, tapi itu bukan satu-satunya isu. Membentuk partai politik punya banyak komplikasi. Apalagi sekarang justru kita tengah perlu merestrukturisasi sistem kepartaian, karena salah satu problem dalam sistem presidensial adalah terlalu banyak parpol sehingga pemerintahan jadi lemah. Memperjuangkan gagasan lewat partai politik juga berisiko. Kalau tidak cukup kuat melawan arus politik, gagasan awal yang diperjuangkan bisa terdistorsi, bahkan kandas. Akan lebih sulit menghidupkan kembali gagasan ketika ia pernah kandas secara politik.

Di luar debat soal perlu-tidaknya parpol, ada banyak jenis perjuangan bisa dilakukan. Salah satunya adalah lewat semacam gerakan sosial. Saya harus berhati-hati di sini, karena dalam ilmu sosial frase ‘gerakan sosial’ (social movement) punya definisi yang cukup spesifik. Yang saya maksudkan adalah terbangunnya sebuah kesadaran publik untuk melanjutkan reformasi birokrasi dan pembenahan kelembagaan.

Sederhananya, reformasi birokrasi di lembaga pemerintahan adalah sisi supply dari reformasi. Perubahan tidak akan berkelanjutan tanpa adanya demand terhadap reformasi. Dari mana datangnya demand terhadap reformasi? Terutama dari kelompok menengah dan profesional. Saya tidak bermaksud menegasikan peran kelompok lain seperti buruh, petani, kelompok marjinal dan lainnya. Tentu mereka juga punya peran dalam perubahan sosial. Tapi kelas menengah adalah kelompok pembayar pajak, artinya punya penghasilan di atas PTKP, dan dalam banyak urusan lain punya frekuensi berurusan dengan aparat pemerintah cukup sering (membuat paspor, dokumen ekspor-impor, misalnya). Karena itulah kelompok ini adalah demand yang paling potensial terhadap reformasi.

* * *

Gerakan 1998 pernah sukses memaksa Suharto mundur. Saat itu yang menyatukan semua elemen gerakan adalah sebuah musuh bersama, Suharto, dan sebuah jargon: reformasi. Tapi saat itu sebenarnya kita tidak punya satu gagasan bersama soal apa itu reformasi. Karena fokus utama adalah menurunkan Suharto dulu. Dan memang, jadinya ketika Suharto sudah mundur, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita punya ide ‘besar’, tapi belum sempat menerjemahkan ide besar itu ke dalam ide-ide kecil untuk dikerjakan.

Kita tak bisa mengubah sejarah. Tapi bisa belajar dari sejarah untuk mengubah masa depan. Dua hal yang bisa kita pelajari adalah pertama, kita harus punya kesamaan ide tentang ‘reformasi.’ Kedua, jangan biarkan gagasan tentang reformasi dibajak oleh para politisi. Sri Mulyani sudah menerjemahkan beberapa gagasan besar reformasi ke dalam sejumlah program dan kebijakan. Ini membantu kita untuk tidak perlu lagi mulai dari kertas kosong.

Memang ini cuma skala kecil dari Reformasi dengan huruf kapital, dan dalam lingkup yang terbatas, Depkeu. Kalau diinventarisasi, saya yakin banyak reformasi-reformasi kecil di tempat lain yang sudah berjalan. Banyak Sri Mulyani-Sri Mulyani lain yang juga perlu kita dukung. Jangan lupakan juga para good guys di Depkeu, khususnya di Bea Cukai dan Ditjen Pajak, yang terus berperang melawan para mafia pabean, para penunggak pajak, dan di saat yang sama tengah mengamputasi Gayus-Gayus yang jadi kanker di tubuh mereka.

Setelah Sri Mulyani pergi, itu bergantung pada kita, orang-orang yang masih punya akal sehat. Karena kita tidak akan pernah berhenti mencintai negeri ini. ***



Catatan tambahan – strategi apa? (Boleh dibaca boleh tidak)

Perlu strategi komunikasi untuk menyampaikan gagasan, dan mengikat mereka yang punya gagasan serupa. Seperti halnya produk, gagasan juga perlu momentum untuk menarik perhatian publik. Di sinilah hype ‘Sri Mulyani mania’ yang ada sekarang ini punya peran penting.

Langkah berikut setelah hype adalah menarik garis tegas, siapa yang ikut barisan, siapa yang tidak. Ini bisa membantu mengalienasi ‘lawan’ dari ‘kawan’, serta membuat sulit orang-orang yang masih belum menentukan sikap.

Dua langkah di atas bisa jadi strategi komunikasi gagasan yang efektif. Betul, kita tidak boleh melupakan ‘perang’ besar yang sesungguhnya. Tapi dalam memenangkan perang besar, pertempuran-pertempuran kecil (skirmish) terkadang perlu diciptakan, agar gagasan yang sedang diperjuangkan itu terus terekspos.

Tentu semua harus dilakukan dengan kalibrasi yang cukup. Hype yang berlebihan akan membuat kita sulit memenuhi ekspektasi tinggi yang telanjur tercipta. Skirmish yang terlalu banyak akan membuat polarisasi yang terlalu tajam, sehingga pesan yang ingin disampaikan jadi tidak efektif. Tapi ini sudah persoalan empiris, bukan lagi teoretis.

Langkah selanjutnya adalah menjaga supaya orang-orang ada di dalam barisan tidak tercerai-berai. Ini perlu diskusi lebih lanjut, dan sejujurnya saya tidak punya kapasitas untuk membahas ini. Apakah partai politik adalah (satu-satunya) jawaban? Apakah ada bentuk komunitas/pengorganisasian lain yang bisa? Dan sebagainya; ini hanya beberpa poin yang bisa kita diskusikan ke depan.


Thursday, May 06, 2010

Ini bukan soal Sri Mulyani...

Ini persoalan momentum yang terlewatkan. Indonesia tidak akan kiamat. Ekonomi Indonesia tidak akan kolaps dengan dengan perginya Sri Mulyani. Hanya sekali lagi kita menyiakan momen untuk melakukan perbaikan ekonomi dan kelembagaan, atas nama ‘proses politik.’ Betul, kita ingin DPR yang kritis, yang bukan hanya tukang stempel seperti di era Orde Baru. Tapi bukan DPR seperti ini yang kita inginkan. Yang berlomba-lomba ingin tampil dan menunjukkan eksistensinya.

Proses Pansus dan sesudahnya telah menjadi ajang perburuan tukang sihir. Bukan pencarian kebenaran. Bahkan, ada tendensi untuk menjadi ajang penutupan kebenaran. Lihat saja ulah para anggota Pansus yang sekarang justru membela kawan mereka Misbakhun. Padahal terkuaknya ulah kontribusi Misbakhun dalam kejatuhan Bank Century adalah buah dari proses Pansus. Artinya, pengusutan hukum untuk Misbakhun adalah konsekuensi logis dari Pansus. Tapi Pansus justru menjilat ludah mereka sendiri.

Ini persoalan sinyal yang salah. Sri Mulyani memang eksepsional. Baik sebagai akademisi, birokrat maupun politisi. Namun bukan berarti ia tak tergantikan. Indonesia tidak kekurangan stok sumber daya manusia untuk menjadi Menkeu. Masalahnya, setelah berbagai perlakuan yang diterima Sri Mulyani, apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah yang mampu?

Proses Pansus menunjukkan satu hal. Kalau anda pejabat yang harus mengambil keputusan penting dalam waktu singkat dan informasi terbatas, jangan lakukan apapun! Ekonomi mungkin anjlok. Tapi konsekuensi terjelek buat anda adalah reputasi. Dan itu bisa anda perbaiki dengan menyalahkan kapitalisme global, neoliberalisme, badan-badan internasional, hingga meteor. Tapi kalau anda mengambil keputusan yang perlu, risiko yang anda hadapi adalah proses politik, bahkan hukum.

Itu mungkin tak jadi masalah besar kalau anda punya atasan atau kekuatan politik di DPR yang mau seratus persen mendukung anda. Tapi kalau itupun tidak anda dapatkan, maka tidak ada artinya anda jadi orang yang pandai, bersih dan punya komitmen.

Di sisi lain, saya kuatir ini jadi sinyal buat para petualang politik bahwa bullying itu efektif. Kalau anda kalah dalam pemilu, kalau anda kurang pandai, atau kalau anda tidak suka pada seseorang – entah karena kepentingannya tidak sejalan dengan anda, atau bahkan bisa membahayakan posisi ekonomi dan politik anda – jangan kuatir. Anda bisa mem-bully orang itu hingga ia pergi.

Ironisnya, ada institusi lain yang bisa memberi apresiasi pada prestasi orang seperti Sri Mulyani. Salahkan kalau ia pindah ke tempat dimana ia bisa dihargai?

Kekuatiran saya yang lebih besar adalah di masa depan kita akan sulit mendapatkan orang-orang bersih, baik, berani, punya komitmen, dan bersedia jadi pejabat publik. Padahal kita selama ini bicara pentingnya institusi yang kokoh, kepemimpinan yang kuat dan sebagainya. Dan sekarang kita dihadapkan pada situasi mirip Hukum Gresham di abad-18: bad money drives out good money. Hanya dalam konteks sekarang, bad guys drive out good guys.

Ini persoalan akal sehat yang tercederai. Pansus Century yang didirikan dengan semangat perburuan tukang sihir adalah pelecehan terhadap akal sehat sejak awal. Orang-orang tanpa akal sehat lebih suka mendengar sesama orang tanpa akal sehat. Inilah yang terjadi. Mereka tekun mendengarkan narasumber yang sejalan dengan konstruksi logika yang mereka bangun. Mereka berikan waktu lebih banyak ketimbang narasumber lain yang berbeda pendapat. Lucunya, para ‘pakar’ ini berbeda pendapatnya dengan apa yang pernah mereka katakan soal krisis tahun 2008. Para anggota Pansus tidak peduli. Yang penting justifikasi telah mereka dapatkan.

Parahnya, hilangnya akal sehat ini diamplifikasi oleh media. Mereka berlomba-lomba memberikan waktu tayang buat komentator pro-Pansus. Sekacau apapun pernyataan mereka. Media sudah memvonis Sri Mulyani dan Boediono bersalah. Meski Pansus sendiri tidak pernah bisa membuktikan mereka bersalah.

Kembali akal sehat kita dicederai ketika berita rencana kepindahan Sri Mulyani ke posisi barunya di Washington, DC, beredar. Berterbaranlah ungkapan-ungkapan seperti ‘intervensi asing’, ‘akal-akalan SBY’ dan sebagainya. Bahkan teori-teori bermunculan, seperti ‘Bank Dunia suka dengan Sri Mulyani yang gemar berhutang’ dan sebagainya. Lupa bahwa rasio hutang justru turun di era Sri Mulyani. Ada juga yang berteriak, ‘Sri Mulyani tidak boleh pergi.’ Padahal baru beberapa bulan lalu ia diminta mundur, bahkan diboikot di Rapat Kerja DPR.

Lalu apa setelah ini? Sri Mulyani akan pergi. Selama ini ia menjadi ikon ‘pemersatu’ orang-orang berakal sehat, yang ingin melihat reformasi birokrasi berjalan, yang ingin melihat ekonomi Indonesia bangkit di atas fondasi kelembagaan yang kuat.

Kita tidak bisa berlama-lama meratapi keputusan ini. Pun kita tidak bisa terlalu lama menyerapahi mereka yang mendorong dan membiarkannya pergi. Jadikan ini sebagai anugerah: ternyata ada orang-orang yang berpikiran sama soal pembenahan institusi, reformasi birokrasi, antikorupsi dan pentingnya akal sehat. Sekarang kita harus membuktikan bahwa kita dipersatukan oleh gagasan, bukan figur. Figur boleh pergi, tapi gagasan tidak.

Tantangannya sekarang, bagaimana kita yang selama ini di belakang Sri Mulyani bisa tetap solid dan konsisten menyuarakan yang selama ini kita suarakan. Jangan berikan ruang buat para oportunis politik kembali membajak wacana dan agenda. Ada beberapa isu penting yang butuh kita perhatikan ke depan:

  1. 1. Penunjukkan Menkeu baru. Siapa saja calonnya, bagaimana rekam jejaknya, dan siapa yang mencalonkan.
  2. 2. Tetap menjaga optimisme bahwa Indonesia tak akan runtuh tanpa Sri Mulyani. Tapi kita semua yang perlu menjaga agar reformasi birokrasi dan penguatan institusi yang sudah dilakukan bisa berlanjut.
  3. 3. Menyuarakan supaya proses political bullying tidak ada lagi. Dan menjaga agar Wapres Boediono, pengganti Sri Mulyani, dan pimpinan KPK tidak jadi sasaran political bullying.
  4. 4. Mengkampanyekan delegitimasi untuk partai-partai dan anggota DPR yang selama ini membuat keruh suhu politik, agar suara mereka di 2014 tergerus, kalau bisa hilang.

Sekali lagi, ini bukan persoalan Sri Mulyani. Ini persoalan apakah akal sehat masih ada. [ap]