Saya tidak ingat kapan terakhir bertemu bang Nizam. Harusnya menjelang akhir 2006. Saya baru pulang dari studi master yang kedua di AS. Saya tidak sempat bicara banyak dengan beliau, karena pertemuan itu terjadi tidak sengaja di koridor kampus Salemba. Kami sama-sama baru dari satu tempat menuju tempat lain. Tapi seingat saya dari percakapan singkat itu sempat tercetus bahwa ia tengah menjalani ‘terapi’ untuk sebuah ‘penyakit.’ Saya tidak paham seberapa serius ‘penyakit’ itu. Saya waktu itu hanya bisa mendoakan semoga semua berjalan baik.
Memang sejak lulus dari FEUI, dalam satu dekade terakhir perjumpaan dan interaksi saya dengan bang Nizam sangat terbatas. Di awal 2000an saya ingat bang Nizam masih cukup aktif terlibat kegiatan penerbitan buku ultah FEUI. Satu bagian dari buku itu akan membahas keterlibatan civitas akademika FEUI dalam gerakan 1998. Sempat ada ide bagian itu akan dikembangkan menjadi buku tersendiri. Sayangnya, belakangan bang Nizam tidak lagi bisa terlibat banyak di proyek itu karena ia harus mencurahkan waktunya untuk anaknya yang punya problem kesehatan. Ia sempat berpesan, “Sorry gue nggak bisa lagi ikutan. Tapi gue masih simpan banyak dokumentasi aksi-aksi, silahkan datang kalau perlu.”
Ketika pak Dorodjatun jadi Menko Ekonomi di era Megawati, bang Nizam ikut ke Lapangan Banteng menjadi staf khusus. Suatu hari di tahun 2002, saya datang ke kantor Bang Nizam, mengantarkan undangan pernikahan. Ia tidak ada di tempat jadi saya selipkan undangan lewat bawah pintu kantornya. Di hari resepsi pernikahan, bang Nizam datang, masih dengan senyum dan gayanya – rokok bertengger di mulut – yang legendaris.
* * *
Bang Nizam adalah dosen saya di kelas Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESDAL) yang saya ambil tahun 1994-95. Ia mengajar mata kuliah itu bersama seorang legenda, Prof. Emil Salim. Harusnya bang Nizam memberikan materi di paruh pertama semester. Tapi ketika tiba waktunya pak Emil mengajar, beliau mengalami kecelakaan. Kakinya patah saat lari pagi. Jadilah bang Nizam harus memberikan materi lebih banyak. Saat pak Emil sudah bisa mengajar, bang Nizam tetap hadir di kelas. Di belakang saya dan teman sekelas suka menggumam, “Bang Nizam lebih kayak asistennya pak Emil aja ya, bukan co-dosen ?” Memang benar, bang Nizam yang inisiatif menggandakan handout pak Emil. Sesekali ia juga nyeletuk di kelas. Sering tidak lucu sebenarnya, tapi kami ya tetap tertawa untuk menghargainya.
Tapi, seperti banyak teman yang kuliah di FEUI tahun 90an, sosok Nizam Yunus lebih banyak hadir dalam kapasitasnya sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Atau lebih singkatnya: Pudek III. Posisi itu ia pegang ketika Prof. Dorodjatun Kuncoro-Jakti menjadi dekan, tahun 1995. Saat itu, kurang dari dua tahun FEUI pindah ke kampus Depok. Proses transisi belum selesai. Salah satunya, kebanyakan dosen hanya datang ke Depok untuk mengajar, lalu kembali ke
Sebagai anggota junior BO Economica dan fungsionaris ‘bawahan’ di Senat, interaksi saya dengan bang Nizam di awal-awal masih terbatas. Tapi saya lumayan sering mondar-mandir ke ruangannya di lantai dasar dekanat. Sambil menunggu ‘giliran’ biasanya saya bercanda dengan mbak Rini, sekretarisnya yang bawel tapi kadang suka cemberut pada bosnya, dan mas Rusdi, staf urusan kemahasiswaan dan alumni. Ketika saya jadi Ketua BO Economica, konsekuensinya interaksi dengan bang Nizam jadi makin intensif.
Tahun 1998 posisi dekan FEUI baru beralih dari pak Djatun ke pak Anwar Nasution. Karena dinamika saat itu begitu tinggi, pak Anwar mempertahankan bang Nizam sebagai Pudek III. Ia perlu pengalaman bang Nizam berhubungan dengan mahasiswa, sehingga tidak perlu adaptasi lagi.
Memang, bang Nizam adalah orang paling tepat untuk menjabat Pudek III di situasi yang penuh dinamika seperti saat itu. Saya dan teman-teman perangkat aksi bisa merasakan dukungan penuh dari dekanat, meski tentu secara kelembagaan Fakultas tidak bisa memberikan dukungan terbuka. Bang Nizam bisa memainkan peran sebagai jembatan antara mahasiswa dan otoritas kampus, sekaligus seorang senior yang pernah terlibat dinamika mahasiswa di eranya. Sesekali ia bercerita tentang konstelasi gerakan di jaman dulu, seperti apa intrik antar tokoh dan lembaga. Dari situ kami bisa membandingkan dengan situasi tahun 1998. Di sisi lain bang Nizam juga tahu, aksi 1998 adalah punya mahasiswa. Bukan dosen, alumni atau politisi. Ia tidak ikutan latahnya alumni UI lain yang ingin mencuri pertujukan, menelikung mahasiswa di tikungan.
Di berbagai aksi, bang Nizam kami hampir selalu melihat bang Nizam. Ia rajin mengambil foto untuk dokumentasi aksi-aksi mahasiswa. Ia juga ikut menginap di kampus Salemba tanggal 14 Mei 1998, ketika teman-teman yang paginya melakukan aksi terperangkap di tengah kerusuhan
* * *
Kedekatannya dengan mahasiswa membuat saya sering lupa, bang Nizam sesungguhnya jauh lebih senior. Memang dibanding Pudek III di fakultas lain yang biasanya dijabat dosen muda, Pudek III FEUI lebih senior. Itu karena Pudek III FEUI punya tugas tambahan: mengurusi hubungan dengan alumni. Jadi memang yang dibutuhkan adalah seorang yang cukup senior dan punya hubungan dengan alumni angkatan jauh di atas. Secara usia, bang Nizam memang seumuran dengan orang tua saya. Ketika lulus baru saya tahu, ia adalah teman seangkatan ibu saya di SMAN 4 Jakarta. Bu Cintavathi pernah berseloroh, “Dia itu cocok jadi bapakmu, tapi kamu manggil dia bang Nizam…”
Tapi saya memang pernah mendapat setidaknya dua fatherly advise darinya. Sejak dari masa-masa aktif di BO Economica, bang Nizam cukup tahu hubungan saya dengan Juli yang cukup ‘sulit.’ Suatu ketika (saya lupa apakah saya masih kuliah atau sudah lulus) ia bertanya, “Ri, elu serius tuh sama si Juli? Elu tau
Yang kedua adalah soal studi. Ketika bertemu dengannya sepulang saya dari AS, bang Nizam agak bingung kenapa saya tidak langsung melanjutkan studi ke jenjang doktor. Ujarnya, “Mumpung elu masih muda. Kalo nunda-nunda terus kayak gue nggak jadi-jadi, keburu banyak yang harus dipikirin. Kayak gue gini. Sayang kalo nggak lanjut.” Untuk hal ini memang situasi lebih rumit. Seringkali ada gap antara harapan dan kenyataan. Tapi apa yang ia katakana selalu terngiang di telinga saya. Dan menjadi lebih berarti karena itu disampaikan oleh seorang Nizam Yunus.
Kini bang Nizam sudah beristirahat dengan tenang.
Selamat jalan, bang...!
Melbourne-Jakarta, Oktober 2010
No comments:
Post a Comment