Monday, September 27, 2010

Lagi, soal ketimpangan

Seberapa timpangkah ekonomi Indonesia?

Tulisan ini adalah tanggapan buat Faisal Basri, dosen dan mentor saya sejak dulu. Bang Faisal melontarkan sebuah pertanyaan yang cukup klasik tapi selalu penting: seberapa merata atau timpangkah ekonomi kita?

Satu indikator umum dalam mengukur ketimpangan adalah Koefisien Gini (KG). Menggunakan indikator ini, ketimpangan di Indonesia relatif rendah, selalu ada di kisaran 0.32-0.38. Ini menjadikan Indonesia salah satu negara paling merata dalam hal distrubusi pendapatan di Asia. Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam punya KG di atas 0.4, dan Cina mendekati 0.5. Negara-negara Amerika Latin secara historis punya KG jauh lebih tinggi, banyak yang di atas 0.5.

Ada hal penting yang dibahas Bang Faisal. Pengukuran KG Indonesia didasarkan pada data pengeluaran (konsumsi) rumah tangga, bukan pendapatan. Data pengeluaran memang cenderung menciptakan ‘bias ke bawah’ (downward bias) dalam distribusi pendapatan. Orang miskin akan menggunakan hampir semua pendapatannya untuk konsumsi, sementara kelompok kaya akan menggunakan mayoritas pendapatan untuk ditabung. Setahu saya di Thailand, Cina dan Singapura juga kebanyakan negara Amerika Latin, data KG yg dilaporkan menggunakan pengeluaran.

Dengan demikian, seberapa bisa kita percaya bahwa ketimpangan di Indonesia memang rendah?

Data: konsumsi atau pendapatan?

Karena ada perbedaan perhitungan KG antarnegara, jadinya sulit untuk bandingkan kondisi ketimpangan antarnegara. Betul, perhitungan menggunakan data konsumsi akan memperkecil ketimpangan. Tapi ada sejumlah alasan mengapa data konsumsi bisa lebih baik dari pendapatan.

Pertama, pendapatan individu atau rumah tangga di negara berkembang seperti Indonesia bisa sangat fluktuatif. Waktu survey dilakukan akan sangat berpengaruh. Kalau dilakukan waktu paceklik, kita bisa mendapati banyak penduduk berpenghasilan nol atau negatif. Sebaliknya waktu panen banyak yang penghasilannya melonjak besar. Data konsumsi akan lebih mencerminkan pendapatan dalam jangka waktu lebih panjang. Meski pendapatan berkuran (atau nol), orang akan berusaha untuk bisa tetap makan, bisa dengan menggunakan tabungan, meminjam atau menjual aset. Ini dikenal dengan proses consumption smoothing.

Kedua, meski kualitas data konsumsi juga banyak masalah, data pendapatan punya lebih banyak masalah. Bias dlm pengukuran pendapatan akan besar. Bagi banyak penduduk, pendapatan bukan hanya dlm bentuk uang, tapi juga natura. Ini akan ciptakan problem dalam konversi ke dalam satuan uang. Belum lagi apakah responden akan jujur tentang jumlah pdptan mereka. Kalaupun mereka jujur, apakah mereka bisa ingat dan tahu detil total pendapatan mereka?

Jadi, saya lebih memilih menggunakan data konsumsi untuk mengukur distribusi pendapatan, tentu dengan berbagai catatan, ketimbang data pendapatan yang berpotensi hasilkan bias lebih besar.

Untuk perbandingan, rekan Arief Anshori Yusuf (Unpad dan ANU) pernah mengestimasi ulang KG untuk perkotaan dengan data pendapatan yang ia dapatkan dari data (kalau tidak salah) Social Accounting Matrix. Hasilnya, KG perkotaan terkoreksi jadi sekitar 0.6, atau sangat timpang seperti di Amerika Latin. Tapi ingat, ini adalah kondisi perkotaan, dan saya akan bahas isu ini di bawah.

Apakah Indonesia negara yg timpang atau tidak?

Jawabannya: compared to what?

Lepas dari perbedaan metodologi, dibanding Amerika Latin umumnya negara-negara Asia lebih merata. Dan di antara negara Asia, dibanding Cina/India, saya kira Indonesia tetap lebih merata.

Kenapa? Di Amerika Latin ketimpangan terkait kuat dgn ras dan geografis, dan ini terkait dengan sejarah pembentukan kelas-kelas sosial dan pendapatan. Di Cina ketimpangan berkorelasi kuat dengan lokasi geografis, antara pesisir dan pedalaman, dan ini terkait erat dengan tantangan alam yang membuat pembangunan bisa berjalan. Di India, kasta dan etnis serta agama juga berperan bukan hanya dalam menjelaskan ketimpangan, tapi juga melanggengkannya.

Di Indonesia, ketimpangan lebih banyak didorong oleh sekelompok kecil mereka yang benar-benar kaya, dan yang benar-benar miskin. Kesenjangan di kelompok tengah-tengah tdk terlalu mencolok. Apa indikasinya? Dalam kasus kebijakan yg ditargetkan buat kelompok miskin seperti BLT, Askeskin, beras miskin dan lainnya, menargetkan atau mencari ‘orang miskin’ itu susah. Antara yang miskin, agak miskin dan tidak miskin bedanya sangat tipis. Jadi tidak heran banyak yang merasa berhak mendapat bantuan meski dalam data BPS mereka tidak termasuk keluarga miskin.

Di kota kita memang bisa jelas melihat perbedaan mencolok antara yg super kaya dan yang sangat miskin. Tapi di pedesaan, dimana yg mayoritas penduduk Indonesia tinggal, perbedaan itu tidak terlalu mencolok. Jadi mungkin tidak salah juga kalau mengatakan ketimpangan di Indonesia memang tidak sebesar di banyak negara lain, meski tentu ada catatan soal data dan metodologi pengukuran.

Lepas dari itu, KG Indonesia memang memburuk setelah krisis. Ini karena petumbuhan konsumsi penduduk termiskin terjadi dalam laju yang lebih rendah dibandingkan kelompok menengah, dan kelompok menengah tumbuh lebih rendah dari yang terkaya. Menurut laporan ADB tahun 2007, kecenderungan ini terjadi seragam di Asia setelah krisis. Kenapa?

Satu hipotesis adalah terjadi perubahan struktur kegiatan ekonomi. Dulu di Asia kegiatan ekonomi bertumpu di sektor-sektor padat modal. Sekarang, motor pertumbuhan ekonomi adalah sektor jasa dan kegiatan-kegiatan yang bersifat technology-intensive. Kalau ini yg terjadi, maka fenomena ini mirip seperti hipotesis Kuznets: butuh waktu sebelum perubahan ekonomi bisa menghasilkan redistribusi.

Pertanyannya adalah akankah proses redistribusi akan terjadi scr alamiah. Kita tidak tahu. Tapi kita tahu bahwa kebijakan bisa membantu proses redistribusi terjadi dan dipercepat, dan kebijakan yang salah akan langgengkan ketimpangan. Dari beberapa kemungkinan kebijakan yang ‘salah’, kebijakan pasar kerja yang terlalu ketat, desentralisasi yang berjalan tanpa koordinasi adalah dua dari beberapa contoh yang perlu kita perhatikan.

1 comment:

  1. waks.. ini pertanyaanku tadi Gini Coefficient:D

    ReplyDelete