Thursday, May 20, 2010

After the Love Has Gone

Ari A. Perdana
Melbourne, Australia

Sri Mulyani pergi. Tapi ia pergi dengan kelas, dengan style. Kuliah Umum perpisahan yang diadakan 18 Mei lalu disiapkan sebagai forum buatnya menjelaskan apa yang terjadi. Tapi ia tidak menggunakan forum itu sebagai ajang pembentukan citra sebagai orang tertindas, yang ampuh mengantarkan SBY ke kursi kepresidenan tahun 2004. “Saya masih pembantu presiden. Saya tidak bisa bicara yang buruk tentang yang saya bantu,” tukasnya. Sebuah sikap yang sangat elegan.

Tapi pesan tetap terkirim. Ia mundur karena apa yang ia sebut sebagai ‘perkawinan politik.’ Sistem yang tidak memberi penghargaan pada meritokrasi. Bahkan apa yang sudah ia lakukan selama ini malah dianggap sebagai ganjalan buat kepentingan politik.

Dalam pidato perpisahannya, Sri Mulyani tidak mengijinkan kita untuk merasa kalah dan tertindas. Sebaliknya, ia menujukkan bahwa moral, etika dan sikap tanpa kompromi masih punya harapan di negeri ini. Hari ini kompromi politik mungkin masih jadi pemenang. Tapi perlawanan yang ia dan para stafnya di Departemen Keuangan menunjukkan bahwa asa itu tidak pernah padam. Seperti yang dikatakan Rocky Gerung dalam pidato pengantarnya, “Para perompak bisa membakar taman bunga. Tapi mereka tak bisa mencegah datangnya musim semi.”

* * *

Hari-hari ini kita akan merasakan hype seputar Sri Mulyani. Entah apa perasaan para anggota DPR yang selama ini begitu obsesif menjatuhkan Sri Mulyani. Juga para aktifis yang selama ini mengusung poster bak drakula penghisap darah, serta media massa yang mengipasi. Semua penghakiman ini tidak membuatnya dibenci – selain oleh, tentunya, yang memang sudah benci padanya sejak awal.

Dalam setiap pesta, ada saja yang menggerutu. Entah karena kehabisan makanan, entah karena gagal menjadi pusat perhatian, atau karena alasan lain. Kalau gerutuan ini datang dari mulut para politisi yang frustrasi setelah gagal menurunkan Sri Mulyani secara tidak terhormat, itu wajar. Juga kalau itu dilontarkan oleh para pengamat di media yang selama ini hidup dan menumpang populer dari mencela Sri Mulyani.

Tapi gerutuan ini juga banyak terlontar dari orang-orang yang, ironisnya, seharusnya punya akal sehat. Mereka mengejek dan menyebut perayaan ini sebagai ‘pemujaan individu oleh para die hard.’ Lalu ada yang mencari-cari kejelekan Sri Mulyani dan kegagalannya sebagai Menkeu. Beberapa lain masih berusaha netral, coba melihat dari dua, tiga, bahkan empat sisi cerita. Mereka lupa bahwa selama ini kita sudah dijejali oleh satu sisi cerita – sisi para pemburu tukang sihir di Pansus, media yang mengipasi, aktifis yang naïf serta pakar penggemar teori konspirasi. Pada akhirnya mereka justru terjebak menempatkan Sri Mulyani sebagai locus, sebagai pusat gravitasi. Gagal melihat hal lebih besar yang sedang dirayakan. Terus terang saya kasihan. Hidup mereka agaknya penuh dengan kecemburuan, frustrasi dan kejengkelan. Seperti tokoh Holden Caulfield dalam novel The Catcher in the Rye.

Sri Mulyani tidak punya modal untuk dikultuskan. Ia bukan anak proklamator atau keturunan dinasti politik manapun. Ia bukan seperti Cory Aquino atau Aung San Suu Kyi yang mengalami penindasan dan memimpin sebuah gerakan. Ia bukan seseorang yang mengumbar kharisma lewat pencitraan diri.

Ia mendapatkan dukungan – bukan pengkultusan – lewat prestasi. Prestasi dalam menjaga indikator-indikator ekonomi makro, serta reformasi birokrasi di Depkeu – sebuah upaya membenahi institusi yang menguasai 70 persen keuangan negara. Pendeknya, Sri Mulyani adalah representasi dari sebuah gagasan. Gagasan tentang birokrasi yang bersih dan institusi yang kuat. Ia adalah representasi dari sebuah perjuangan. Perjuangan untuk menempatkan integritas, akal sehat dan etika di atas kompromi politik.

Karena itulah para die hard ini bukan sekedar mengelu-elukan Sri Mulyani. Kita merayakan sebuah optimisme. Sebuah harapan akan perbaikan.

Apa yang dilakukan di Depkeu memang masih di pertengahan jalan. Banyak yang perlu diperbaiki, jelas. Sangat tidak adil jika kita menilai hasil akhir sebuah proses reformasi di tengah jalan. Dan itu bukan pekerjaan mudah. Ia harus memimpin perombakan besar-besaran di Bea Cukai, institusi yang selama ini mirip negara di dalam negara. Juga di Direktorat Jendral Pajak.

Betul, masih ada Gayus di sana. Sangat naïf untuk berharap dalam kurang dari lima tahun semua Gayus di Depkeu sudah hilang. Tapi intinya sebuah sistem tengah dirintis. Selama ini mekanisme insentif tidak bisa memisahkan para Gayus dari staf-staf yang bekerja sungguh-sungguh dan punya komitmen. Itulah yang tengah dibenahi. Dari percakapan dengan beberapa rekan di Depkeu – yang bisa saya kategorikan sebagai good guy – mereka sudah bisa merasakan perbedaan itu.

Dengan kata lain, Sri Mulyani mewakili sebuah gagasan tentang masa depan. Bukan gagasan tentang masa lalu (keturunan siapakah ia). Ia juga mewakili harapan kita sosok pemimpin di masa depan. Setuju atau tidak, Sri Mulyani telah memasang sebuah standar yang tinggi bagi siapapun yang berniat menjadi pemimpin negeri ini. Pemimpin yang benar-benar memimpin. Bukan sekedar mengumbar tangis atau keluh kesah. Bukan yang lepas tangan dan membiarkan anak buahnya menjadi sasaran tembak demi posisi politik yang aman.

* * *

Ada pertanyaan, bagaimana nasib reformasi birokrasi sepeninggal Sri Mulyani. Kabar baiknya adalah proses penunjukan Menkeu baru relatif bersih dari kompromi politik. Menkeu yang baru Agus Martowardoyo, dan wakilnya Anny Ratnawati, adalah orang-orang yang punya rekam jejak cukup bagus. Agus adalah profesional dengan latar belakang perbankan yang dinilai cukup berhasil memimpin Bank Mandiri. Anny Ratnawati adalah orang dalam di Depkeu. Konon ia adalah salah satu orang yang direkomendasikan langsung oleh Sri Mulyani. Ia akan memegang peran penting menjembatani Agus untuk melakukan pembenahan ke dalam institusi Depkeu. Pembenahan ke dalam memang jadi titik yang krusial. Untuk ke luar – pasar, investor, politik, internasional – duet Agus-Anny cukup diterima.

Tantangan berikutnya tentu bagaimana menerjemahkan gagasan itu ke dalam praktek. Beberapa teman mengatakan, pelajaran dari kasus Sri Mulyani adalah teknokrasi tak cukup tanpa dukungan politik riil. Singkatnya, kesimpulan teman-teman ini adalah dirikan partai untuk menyokong orang-orang dari kalangan teknokrat-profesional.

Saya tidak akan menyanggah saran ini. Mungkin ada benarnya. Yang ingin saya katakan adalah mendirikan partai dan masuk politik memang perlu, tapi itu bukan satu-satunya isu. Membentuk partai politik punya banyak komplikasi. Apalagi sekarang justru kita tengah perlu merestrukturisasi sistem kepartaian, karena salah satu problem dalam sistem presidensial adalah terlalu banyak parpol sehingga pemerintahan jadi lemah. Memperjuangkan gagasan lewat partai politik juga berisiko. Kalau tidak cukup kuat melawan arus politik, gagasan awal yang diperjuangkan bisa terdistorsi, bahkan kandas. Akan lebih sulit menghidupkan kembali gagasan ketika ia pernah kandas secara politik.

Di luar debat soal perlu-tidaknya parpol, ada banyak jenis perjuangan bisa dilakukan. Salah satunya adalah lewat semacam gerakan sosial. Saya harus berhati-hati di sini, karena dalam ilmu sosial frase ‘gerakan sosial’ (social movement) punya definisi yang cukup spesifik. Yang saya maksudkan adalah terbangunnya sebuah kesadaran publik untuk melanjutkan reformasi birokrasi dan pembenahan kelembagaan.

Sederhananya, reformasi birokrasi di lembaga pemerintahan adalah sisi supply dari reformasi. Perubahan tidak akan berkelanjutan tanpa adanya demand terhadap reformasi. Dari mana datangnya demand terhadap reformasi? Terutama dari kelompok menengah dan profesional. Saya tidak bermaksud menegasikan peran kelompok lain seperti buruh, petani, kelompok marjinal dan lainnya. Tentu mereka juga punya peran dalam perubahan sosial. Tapi kelas menengah adalah kelompok pembayar pajak, artinya punya penghasilan di atas PTKP, dan dalam banyak urusan lain punya frekuensi berurusan dengan aparat pemerintah cukup sering (membuat paspor, dokumen ekspor-impor, misalnya). Karena itulah kelompok ini adalah demand yang paling potensial terhadap reformasi.

* * *

Gerakan 1998 pernah sukses memaksa Suharto mundur. Saat itu yang menyatukan semua elemen gerakan adalah sebuah musuh bersama, Suharto, dan sebuah jargon: reformasi. Tapi saat itu sebenarnya kita tidak punya satu gagasan bersama soal apa itu reformasi. Karena fokus utama adalah menurunkan Suharto dulu. Dan memang, jadinya ketika Suharto sudah mundur, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita punya ide ‘besar’, tapi belum sempat menerjemahkan ide besar itu ke dalam ide-ide kecil untuk dikerjakan.

Kita tak bisa mengubah sejarah. Tapi bisa belajar dari sejarah untuk mengubah masa depan. Dua hal yang bisa kita pelajari adalah pertama, kita harus punya kesamaan ide tentang ‘reformasi.’ Kedua, jangan biarkan gagasan tentang reformasi dibajak oleh para politisi. Sri Mulyani sudah menerjemahkan beberapa gagasan besar reformasi ke dalam sejumlah program dan kebijakan. Ini membantu kita untuk tidak perlu lagi mulai dari kertas kosong.

Memang ini cuma skala kecil dari Reformasi dengan huruf kapital, dan dalam lingkup yang terbatas, Depkeu. Kalau diinventarisasi, saya yakin banyak reformasi-reformasi kecil di tempat lain yang sudah berjalan. Banyak Sri Mulyani-Sri Mulyani lain yang juga perlu kita dukung. Jangan lupakan juga para good guys di Depkeu, khususnya di Bea Cukai dan Ditjen Pajak, yang terus berperang melawan para mafia pabean, para penunggak pajak, dan di saat yang sama tengah mengamputasi Gayus-Gayus yang jadi kanker di tubuh mereka.

Setelah Sri Mulyani pergi, itu bergantung pada kita, orang-orang yang masih punya akal sehat. Karena kita tidak akan pernah berhenti mencintai negeri ini. ***



Catatan tambahan – strategi apa? (Boleh dibaca boleh tidak)

Perlu strategi komunikasi untuk menyampaikan gagasan, dan mengikat mereka yang punya gagasan serupa. Seperti halnya produk, gagasan juga perlu momentum untuk menarik perhatian publik. Di sinilah hype ‘Sri Mulyani mania’ yang ada sekarang ini punya peran penting.

Langkah berikut setelah hype adalah menarik garis tegas, siapa yang ikut barisan, siapa yang tidak. Ini bisa membantu mengalienasi ‘lawan’ dari ‘kawan’, serta membuat sulit orang-orang yang masih belum menentukan sikap.

Dua langkah di atas bisa jadi strategi komunikasi gagasan yang efektif. Betul, kita tidak boleh melupakan ‘perang’ besar yang sesungguhnya. Tapi dalam memenangkan perang besar, pertempuran-pertempuran kecil (skirmish) terkadang perlu diciptakan, agar gagasan yang sedang diperjuangkan itu terus terekspos.

Tentu semua harus dilakukan dengan kalibrasi yang cukup. Hype yang berlebihan akan membuat kita sulit memenuhi ekspektasi tinggi yang telanjur tercipta. Skirmish yang terlalu banyak akan membuat polarisasi yang terlalu tajam, sehingga pesan yang ingin disampaikan jadi tidak efektif. Tapi ini sudah persoalan empiris, bukan lagi teoretis.

Langkah selanjutnya adalah menjaga supaya orang-orang ada di dalam barisan tidak tercerai-berai. Ini perlu diskusi lebih lanjut, dan sejujurnya saya tidak punya kapasitas untuk membahas ini. Apakah partai politik adalah (satu-satunya) jawaban? Apakah ada bentuk komunitas/pengorganisasian lain yang bisa? Dan sebagainya; ini hanya beberpa poin yang bisa kita diskusikan ke depan.


13 comments:

  1. bagus sekali...cuman ini yg bisa saya sampaikan utk tulisan anda..:)

    ReplyDelete
  2. Very Nice..kita butuh gerakan seperti ini supaya middle class tetep punya harapan dan tidak semakin apatis terhadap politik yang semakin tidak karu2an.semoga kita bisa sekali lagi melakukan reformasi yang lebih berbentuk.semoga smakin banyak anak muda idealis mau masuk ke pemerintahan.go strong middle class indonesian.
    Ijin retweet artikel anda,boleh tidak??

    ReplyDelete
  3. keren banget tulisannya, jiwanya yang menjiwai sebuah cinta yg memiliki dan dimiliki (orang2 yang rindu) Indonesia merdeka....
    dan judulnya ! dalem tapi pas! great!

    ReplyDelete
  4. cemerlang...
    satu lagi pencerahan

    ReplyDelete
  5. izin post di wall FB om..

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Di benak banyak anak muda Indonesia saat ini selalu ada idealisme perubahan dan perbaikan. Tapi kami (mahasiswa) juga mempertanyakan hal yang sama tentang "bagaimana mentransformasikan idealisme menjadi bentuk perjuangan yang efektif ?" akankah parpol menjadi jawaban, atau bentuk social movement lain. intinya : sumber daya idealisme nya berlimpah, bang. tapi kita memang masih perlu rancang caranya dengan matang.

    ReplyDelete
  8. ijin taruh di facebook link ya pak.

    ReplyDelete
  9. Anonymous7:05 PM

    saya suka uraian ini. setuju. akhirnya kita punya figure yang bisa dilabeli "bersih".

    ReplyDelete
  10. Tulisan yang mencerahkan. Pesona terbesar dari dari seorang Sri Mulyani adalah prestasi, dedikasi, dan integritasnya, bukan sekedar jago bicara tanpa aksi, apalagi sekedar pencitraan diri.

    ReplyDelete
  11. Tulisan Ari membangkitkan semangat dan optimisme baru. Harapan yang sempat pudar jadi terbangun kembali.

    Tulisan Ari selalu mudah dibaca dan dicerna. Dan inspiratif.

    Thanks Ari.

    ReplyDelete
  12. bravo!
    terima kasih ari, hope to bump into you on my next trip to melbourne.

    ReplyDelete
  13. Waahh...keren bgt , Bang tulisannya... =)

    ReplyDelete