Ini persoalan momentum yang terlewatkan. Indonesia tidak akan kiamat. Ekonomi Indonesia tidak akan kolaps dengan dengan perginya Sri Mulyani. Hanya sekali lagi kita menyiakan momen untuk melakukan perbaikan ekonomi dan kelembagaan, atas nama ‘proses politik.’ Betul, kita ingin DPR yang kritis, yang bukan hanya tukang stempel seperti di era Orde Baru. Tapi bukan DPR seperti ini yang kita inginkan. Yang berlomba-lomba ingin tampil dan menunjukkan eksistensinya.
Proses Pansus dan sesudahnya telah menjadi ajang perburuan tukang sihir. Bukan pencarian kebenaran. Bahkan, ada tendensi untuk menjadi ajang penutupan kebenaran. Lihat saja ulah para anggota Pansus yang sekarang justru membela kawan mereka Misbakhun. Padahal terkuaknya ulah kontribusi Misbakhun dalam kejatuhan Bank Century adalah buah dari proses Pansus. Artinya, pengusutan hukum untuk Misbakhun adalah konsekuensi logis dari Pansus. Tapi Pansus justru menjilat ludah mereka sendiri.
Ini persoalan sinyal yang salah. Sri Mulyani memang eksepsional. Baik sebagai akademisi, birokrat maupun politisi. Namun bukan berarti ia tak tergantikan. Indonesia tidak kekurangan stok sumber daya manusia untuk menjadi Menkeu. Masalahnya, setelah berbagai perlakuan yang diterima Sri Mulyani, apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah yang mampu?
Proses Pansus menunjukkan satu hal. Kalau anda pejabat yang harus mengambil keputusan penting dalam waktu singkat dan informasi terbatas, jangan lakukan apapun! Ekonomi mungkin anjlok. Tapi konsekuensi terjelek buat anda adalah reputasi. Dan itu bisa anda perbaiki dengan menyalahkan kapitalisme global, neoliberalisme, badan-badan internasional, hingga meteor. Tapi kalau anda mengambil keputusan yang perlu, risiko yang anda hadapi adalah proses politik, bahkan hukum.
Itu mungkin tak jadi masalah besar kalau anda punya atasan atau kekuatan politik di DPR yang mau seratus persen mendukung anda. Tapi kalau itupun tidak anda dapatkan, maka tidak ada artinya anda jadi orang yang pandai, bersih dan punya komitmen.
Di sisi lain, saya kuatir ini jadi sinyal buat para petualang politik bahwa bullying itu efektif. Kalau anda kalah dalam pemilu, kalau anda kurang pandai, atau kalau anda tidak suka pada seseorang – entah karena kepentingannya tidak sejalan dengan anda, atau bahkan bisa membahayakan posisi ekonomi dan politik anda – jangan kuatir. Anda bisa mem-bully orang itu hingga ia pergi.
Ironisnya, ada institusi lain yang bisa memberi apresiasi pada prestasi orang seperti Sri Mulyani. Salahkan kalau ia pindah ke tempat dimana ia bisa dihargai?
Kekuatiran saya yang lebih besar adalah di masa depan kita akan sulit mendapatkan orang-orang bersih, baik, berani, punya komitmen, dan bersedia jadi pejabat publik. Padahal kita selama ini bicara pentingnya institusi yang kokoh, kepemimpinan yang kuat dan sebagainya. Dan sekarang kita dihadapkan pada situasi mirip Hukum Gresham di abad-18: bad money drives out good money. Hanya dalam konteks sekarang, bad guys drive out good guys.
Ini persoalan akal sehat yang tercederai. Pansus Century yang didirikan dengan semangat perburuan tukang sihir adalah pelecehan terhadap akal sehat sejak awal. Orang-orang tanpa akal sehat lebih suka mendengar sesama orang tanpa akal sehat. Inilah yang terjadi. Mereka tekun mendengarkan narasumber yang sejalan dengan konstruksi logika yang mereka bangun. Mereka berikan waktu lebih banyak ketimbang narasumber lain yang berbeda pendapat. Lucunya, para ‘pakar’ ini berbeda pendapatnya dengan apa yang pernah mereka katakan soal krisis tahun 2008. Para anggota Pansus tidak peduli. Yang penting justifikasi telah mereka dapatkan.
Parahnya, hilangnya akal sehat ini diamplifikasi oleh media. Mereka berlomba-lomba memberikan waktu tayang buat komentator pro-Pansus. Sekacau apapun pernyataan mereka. Media sudah memvonis Sri Mulyani dan Boediono bersalah. Meski Pansus sendiri tidak pernah bisa membuktikan mereka bersalah.
Kembali akal sehat kita dicederai ketika berita rencana kepindahan Sri Mulyani ke posisi barunya di Washington, DC, beredar. Berterbaranlah ungkapan-ungkapan seperti ‘intervensi asing’, ‘akal-akalan SBY’ dan sebagainya. Bahkan teori-teori bermunculan, seperti ‘Bank Dunia suka dengan Sri Mulyani yang gemar berhutang’ dan sebagainya. Lupa bahwa rasio hutang justru turun di era Sri Mulyani. Ada juga yang berteriak, ‘Sri Mulyani tidak boleh pergi.’ Padahal baru beberapa bulan lalu ia diminta mundur, bahkan diboikot di Rapat Kerja DPR.
Lalu apa setelah ini? Sri Mulyani akan pergi. Selama ini ia menjadi ikon ‘pemersatu’ orang-orang berakal sehat, yang ingin melihat reformasi birokrasi berjalan, yang ingin melihat ekonomi Indonesia bangkit di atas fondasi kelembagaan yang kuat.
Kita tidak bisa berlama-lama meratapi keputusan ini. Pun kita tidak bisa terlalu lama menyerapahi mereka yang mendorong dan membiarkannya pergi. Jadikan ini sebagai anugerah: ternyata ada orang-orang yang berpikiran sama soal pembenahan institusi, reformasi birokrasi, antikorupsi dan pentingnya akal sehat. Sekarang kita harus membuktikan bahwa kita dipersatukan oleh gagasan, bukan figur. Figur boleh pergi, tapi gagasan tidak.
Tantangannya sekarang, bagaimana kita yang selama ini di belakang Sri Mulyani bisa tetap solid dan konsisten menyuarakan yang selama ini kita suarakan. Jangan berikan ruang buat para oportunis politik kembali membajak wacana dan agenda. Ada beberapa isu penting yang butuh kita perhatikan ke depan:
- 1. Penunjukkan Menkeu baru. Siapa saja calonnya, bagaimana rekam jejaknya, dan siapa yang mencalonkan.
- 2. Tetap menjaga optimisme bahwa Indonesia tak akan runtuh tanpa Sri Mulyani. Tapi kita semua yang perlu menjaga agar reformasi birokrasi dan penguatan institusi yang sudah dilakukan bisa berlanjut.
- 3. Menyuarakan supaya proses political bullying tidak ada lagi. Dan menjaga agar Wapres Boediono, pengganti Sri Mulyani, dan pimpinan KPK tidak jadi sasaran political bullying.
- 4. Mengkampanyekan delegitimasi untuk partai-partai dan anggota DPR yang selama ini membuat keruh suhu politik, agar suara mereka di 2014 tergerus, kalau bisa hilang.
Sekali lagi, ini bukan persoalan Sri Mulyani. Ini persoalan apakah akal sehat masih ada. [ap]
yup. akal sehat. krisis nalar dan moral di Negara ini harusnya sudah dapat status krisis nasional memang.
ReplyDeleteTulisan yg berbeda dgn tivi :) smg optimisme positif tetap ada utk negeri tercinta ini. Cuma ada salah ketik saja pak,Wapres Budiono,bukan Sri Mulyani :) thanks
ReplyDeleteBRAVO!!
ReplyDeleteLuar Biasa
Tulisan yang sangat kritis.
ReplyDeleteTulisan yang sangat menarik. Setuju sekali kalo era politik bangsa Indonesia saat ini benar-benar tidak sehat. Terjadi banyak kepincangan disana-sini karena semuanya ingin memperebutkan kekuasaan & kepentingan sendiri. Akhirnya, mereka yang benar - benar berkompeten dijadikan boneka untuk menutupi keborokkan kaum elite politik yang sakit. Sangat miris, tapi itulah kenyataannya.
ReplyDeleteSaya senang tulisan Anda.
ReplyDeleteMantap Bung!!
ReplyDeleteKeren sekali tulisannya
"apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah yang mampu?"
bener banget!!
Hey, it's a good article. Figur boleh pergi, tetapi gagasan tidak.
ReplyDeleteArtikel yg sangat menarik.
ReplyDeleteJujur,saya awam untuk masalah seperti ini
Dengan membaca artikel anda,mungkin saya bisa sedikit ngerti.
Semoga bangsa dan negara kita mendapatkan yg terbaik saja
Pasca mundurnya bu sri Mulyani.
Terimakasih artikelnya!
bang, kayaknya ada yang salah di akhir2. wapres sri mulyani? apa maksudnya wapres budiono ??
ReplyDeletetapi tulisannya keren bang. salut :)
mantab....jarang orang yang berpikir jernih begini........
ReplyDeletesangat menjengkelkan mempunyai wakil rakyat yang tidak berkualitas, tapi lebih menjengkelkan lagi ketika kita semua harus menanggung akibat dari adanya wakil2 rakyat yang tdak berkualitas tersebut.....
Pandai <> kualitas
ijasah/gelar = prestasi di masa lampau
Media (televisi khususnya) menunjukan narasumber yang diundang seringkali hanya justifikasi untuk memperkuat opini mereka, sama seperti yang terjadi di gedung DPR. Yang banyak bicara belum tentu pintar, apalagi benar..
ReplyDeleteMari kita tetap optimis, pasti masih ada putra-putri bangsa ini yang sekaliber sri mulyani atau bahkan melebihinya.
Media (televisi khususnya) menunjukan narasumber yang diundang seringkali hanya justifikasi untuk memperkuat opini mereka, sama seperti yang terjadi di gedung DPR. Yang banyak bicara belum tentu pintar, apalagi benar..
ReplyDeleteMari kita tetap optimis, pasti masih ada putra-putri bangsa ini yang sekaliber sri mulyani atau bahkan melebihinya.
Like this! :)
ReplyDeleteAP for Presiden RI 2024! :)
ReplyDeleteLike this! :)
ReplyDeletegreat post, memang yang paling diperlukan negara kita ini sekarang adalah akal sehat.. dan orang yang mampu dan mau berakal sehat tentunya :)
ReplyDeleteDAmned .... you are awesome ... !!!
ReplyDeleteTulisan yang sangat baguss ....
I'm with you ....
uh,,anda benar-benar jeli dalam kasus ini. Banyak sekali kaitan dan tautan yang harus digagas untuk sekedar melepaskan sebuah figur. Kita terlalu banyak dan terlalu terbiasa dengan figur bukan proses.
ReplyDeletewaw bagus banget tulisannya. memang menyebalkan sekali membiarkan sri mulyani pergi ckckck.
ReplyDeletewww.helloilmare.blogspot.com
www.helloilmare.onsugar.com
Ya SMI mungkin pergi, tapi spiritnya akan kita pegang. SMI adalah soal Middle Class yang berhasil mereformasi birokrasi. Saatnya kita, orang-orang biasa meneruskan.
ReplyDeletevery nice!! *speechless saking bagusnya gatau mau komen apalagi*
ReplyDeleteGreat writings. My highlight is: "Figur boleh pergi, tapi gagasan tidak."
ReplyDelete- Power to the people
very profound! setuju banget :)
ReplyDeleteNonjok sekali tulisan anda
ReplyDeletesetuju.. bukan figur .. tp gagasan, semoga gagasan itu tak mudah dibajak dan dilunturkan oleh oknum tak bertanggung jawab..
ReplyDeletesemoga figur y hilang dpt tergantikan dg figur y lebih baik, bersih, kompeten dan berani y paling penting takut pada Tuhan YME aamiin..
semoga media, dan penulis lain mampu mencontoh anda dalam memberikan gambaran berimbang dan memotivasi tanpa menghakimi siapapun..
yang hebat, yang tidak diberi tempat. dan yang bersih, yang tersisih.
ReplyDeletesaya sepakat dengan pesan anda bahwa reformasi birokrasi tidak boleh berhenti.
well said. :)
ReplyDeleteLembaran kertas bernilai ternyata mampu membuat negeri ini kelam dan buram. Orang yg adil malah diadili, orang yg jujur malah ditutur tidak jujur. benar kata treespotter, moral kita telah berstatus karam.
ReplyDeleteEXCELLENT!! hampir menangis ketika membaca ini, karena saya adalah staf Kemenkeu, sehingga bisa merasakan bahwa beliau adalah sosok yang hebat..
ReplyDeletebut u're right: figur boleh pergi, tapi gagasan tetap berjalan!!
Like! :)
ReplyDeleteDari orang-orang miring memang hanya bisa diharapkan komentar yang miring, seperti mereka merasa Gedung Nusantara I yang tegak terasa miring 7 derajat. Dasar Bedebah.
ReplyDelete"apakah yang mampu akan mau? Apakah yang mau adalah yang mampu?"
ReplyDeletea BIG question mark.
Dari orang-orang miring memang hanya bisa diharapkan komentar yang miring, seperti mereka merasa Gedung Nusantara I yang tegak terasa miring 7 derajat. Dasar Bedebah.
ReplyDeleteSemua hal itu memang punya bnyk sisi, mslhny d Indonesia adlh terlalu bnyk org yg merasa bahwa "sisi" merekalah yg plg benar.. :)
ReplyDeletebanyak pro-kontra mengenai keputusan SMI ini,itu wajar sebagai bagian dari proses demokrasi.
ReplyDeleteyg disayangkan,disaat masyarakat kita msh belajar berdemokrasi, media menjadi alat paling efektif utk membentuk persepsi dan opini publik. terlebih jika media itu dimiliki oleh org penting dalam suatu parpol.
tujuan informasi menjadi bias, masyarakat yg masih awam menjadi kesulitan membedakan mana fakta,mana provokasi.
semoga akan ada SMI-SMI lain yg baru.. :)
Artikel yg bagus. Sgt lugas sekali.
ReplyDeleteTantangan besar utk pemimpin bangsa sejati menghadapi kebobrokan moral dan attitude oknum2 di dunia politik.
God bless our true leaders!
wah..suka deh dengan tulisannya. bagus mas :)
ReplyDeletevery well said. very very well said.
ReplyDeletebanyak sekali korban politik bullying.
mantabs!
ReplyDeleteSri Mulyani hanya bertanggungjawab 20% dalam kasus Bank Century tapi dia tidak mau berterusterang bahwa dia di kasi data yg kurang akurat waktu ambil kebijakan. Itu masalah nya. Akhirnya jadi seperti skrg ini. Jadi korban utk menyelamat seseorang itu.
ReplyDeleteIni pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. "berhenti berteriak dan mulai identifikasi apa yang bisa kita lakukan". Nice
ReplyDeletetepat sasaran!
ReplyDeletemari terus berpikir dengan akal sehat, jangan kita berpikir karena media atau omong kosong orang lain...
saya suka tulisan Anda....
ReplyDeletetulisan yg benar2 mengena, menyatukan semua yg ada di benak saya yg selama ini sulit untuk disusun dengan lugas, jernih, tepat...
ReplyDeletemari kita jaga akal sehat kita, karena itulah yang membedakan kita dengan mereka...
setuju dengan Ape, setuju juga dengan mas Awe dan Benhan. Ape, Why don't you write for Kompas Op-ed?
ReplyDeletebravo
ReplyDelete"out of the box thinking"
mari kita dukung Indonesia yang tidak hanya ber'akal sehat', tp juga ber...., ber.... sehat yang lain
saya ijin copy link tulissan anda untuk dibaca oleh teman2 kuliah... banyak orang yang harus membuka pikiran demi kemajuan Indonesia...
ReplyDeleteSeandainya Sri Mulyani mau blak2an buka semua yang dia ketahui, tentu jalan ceritanya bakal beda. Entah bakal jadi apa negara ini kalau itu terjadi. Tapi yang penting gagasannya ya, bung? Hmm..
ReplyDeleteSatu lagi, memang betul bahwa rasio utang menurun walaupun angkanya naik. Tapi coba lihat ke bawah bung, ke pedesaan, lihat nasib petani, pedagang, nelayan yang tidak lebih baik. Makanya jangan hanya diam di belakang komputer, melihat statistik dan trend ekonomi makro. Injakkan kaki telanjangmu bermandikan tanah sawah, tempat tumbuhan yang buahnya engkau makan tumbuh. Lihat nasib penanamnya. Dan kau akan tahu bahwa angka-angka ekonomimu menjadi tidak berarti.
tulisannya keren.. dan sehat untuk dibaca.. ^_^ figur boleh pergi .. gagasan jangan terhenti.. ^_^
ReplyDeletetuL1s4nYa BaGu5 b3Ut
ReplyDeleteclAm4t bWt 1bU Sr1 MulYan1
Sm0ga sUk5Es
saya termasuk pengagum bu Ani terutama dari sisi reformasi birokrasi. SBY terselamatkan mukanya oleh kinerja bu Ani...jadi mendingan yg disuruh turun harusnya SBY, yg bisanya tebar pesona doang... tuk Wapres Budiono, sorry to say, saya kurang sepakat dgn penulis. Walaupun beliau orang bersih, tapi dia lalai dan gagal dalam membersihkan BI
ReplyDeleteSaya suka artikelnya yang 'optimis' di saat banyak yang merasa kehilangan SMI anda bilang "Indonesia tak akan runtuh tanpa Sri Mulyani". Setuju!! Masa' di antara sekian banyak populasi rakyak Indonesia tidak ada satu pun yang bisa menggantikn kedudukan SMI. Gak mungkin....
ReplyDeletetulisa ini yang harus banyak dibaca masyarakat kita.... bukan berita kompor meledukkkk
ReplyDeleteSangat sependapat Pak, sampai timbul pikiran 'bisa gak orang-orang yang punya pemikiran seperti ini bergerak bersama menyuarakan anti political bullying yang gak tahu aturan itu'.
ReplyDeleteAgree..setuju..:) saya suka optimismenya..bravo!!
ReplyDeleteSaya sependapat dengan tulisan bapak ini. Begitulah keadaan negeri kita. Masih banyak yang harus dibenahi.. dan yang terpenting ya itu.. membenahi kepala2 yang sudah kehilangan akal sehat!
ReplyDeleteGood luck!
Seorang pemimpin adalah seorang yg mampu mengambil keputusan. Dan SMI telah melakukannya. Dan keputusan tsb memang terbukti benar. Political bullying yg didukung media yg tak netral menjadi habitat sempurna bagi petualang dan selebritas politik. It's right, ini soal akal sehat dalam menjalankan negeri ini.. Dan itu hilang ditelan oleh infotainment dari senayan..
ReplyDeleteLike this!
ReplyDeleteSaya setuju dengan tulisan Bapak. Selama ini rakyat diminta untuk memilih wakil2nya untuk 5 tahun ke depan. Sudah saatnya rakyat juga diberikan hak untuk mengevaluasi wakil2 yang terlanjur dipilih ternyata tidak qualified, untuk segera meninggalkan "gedung miring". Ini demi kemaslahatan kehidupan berbangsa...
ReplyDeleteTerima kasih buat tulisannya, ya, saya yakin negara kita punya banyak sdm yg berkualitas, dan memang untuk melakukan reformasi itu pasti banyak tantangan dan tidak mudah, mudah2an para politikus sadar utk tidak kembali merong-rong pemerintah dalam wacana perekonomiannya.
ReplyDeletetulisan yg hebat, mungkin perlu di sebarkan ke anggota dewan yang terhormat, mudah-mudahan mereka terbuka hati dan pikirannya....
ReplyDeleteNice post mas Ari...obyektif dan tajam. Minta ijin Copy - paste untuk kampanye delegitimasi Parpol2 perusuh itu..
ReplyDeletelike this! great writing.. thumbs up! :)
ReplyDeleteArtikel yg SANGAT CERDAS & TIDAK MEMIHAK. SEDERHANA tapi PENUH MAKNA BERMUTU.
ReplyDeleteTerima kasih atas artikel ini. Saya senang sekali berkenalan dg mas Ari lewat tulisan ini.
awesome !!!
ReplyDeletetulisan yang sangat bagus.. mohon ijin untuk copy paste buat di multiply dan FB, kalau sekedar link biasanya org males baca..
makasih banyak tulisannya, optimis dan mencerahkan..
like this.......
ReplyDeletereally really likes this...
tulisan anda sangat melegakan di tengah segala keblunderan masalah SMI, sepertinya masih banyak orang yang bisa berpikir obyektif..
ReplyDeletetapi capek juga ya liat dagelannya orang2 DPR itu.. :D
absolutely agree...
ReplyDeleteanda berhasil menuliskan uneg2 yg berputar2 di kepala saya dengan cara yang sangat elegan!
cuma saja selama pemberitaan masih dikuasai oleh pemangku kepentingan tertentu dan lembaga legislatif berisi orang-orang yang lebih mementingkan political will, saya kok jadi sedikit kurang optimis langkah-langkah yang anda tulis bisa dilaksanakan
semoga saya yang salah, May Lord bless Indonesia...
bagus sekali tulisan Anda, Pak.. saya izin copast di blog saya ya.. agar lebih banyak orang yg membacanya ;)
ReplyDeletebetul betul betul..
ReplyDeletetulisan yang mangtabs
*angkat jempol*
ReplyDeleteaku share yaa...
Utk kawan AP yg lg jauh, tulisan yg bagus, tajam dan kritis. Still likes the old times. At some point gw setuju, tapi problem mendasar buat gw adalah Mbak Ani ada pimpinan diatasnya, kenapa pemimpin tdk mau bertanggung jawab atas keputusan politiknya? Dalam hukum militer sangat jelas, anak buah salah, komandan ikut tanggung jawab. Tapi tdk dlm realita, pemimpinnya takut turun popularitasnya shg anak buah hrs jadi korban. Kenapa SMI? Korban paling aman secara politik, walaupun dlm analisa gw Mr. B adalah kunci dr masalah Cebtury not SMI, tapi nuansa politik thd Mr. B terlalu tinggi dg resiko yg terlalu mahal. Mr. B jatuh, Mr. SBY pun tinggal menunggu waktu. So, SMI is a sitting duck. In their opinion. ini pendapat gw bung. Kemudian statement tentang mendelegitimasi parpol2 yg pro pansus, literally bung sudah menunjukkan bias dlm analisa. Krn cuman partainya pak presiden yg nadanya beda. So, in this point bung sdh menjurus pada konklusi single party theory krn semua yg nadanya beda hrs didelegitimasi. Ini juga berbahaya bagi demokrasi dan apa yg sdh bung perjuangkan mulai 96-99. Kita msh belajar berdemokrasi, especially demokrasi ala liberal. Kita blm terbiasa. Rakyat pun msh belajar, begitu pun yg jadi parlemen. Jangan lupa rezim pemilu kita secara tdk sadar sudah berhasil menempatkan pengusaha2 dan orang berada di dlm parlemen. Krn siapa punya uang most likely dia bisa duduk. Dibanding yg tidak. Apapun yg terjadi, SMI akan jadi sejarah dlm perpolitikan "masa kini" Indonesia. Berjuang sendirian membela kebijakan yg diambilnya walaupun sudah direstui pemimpinnya. Catatan sejarah bagaimana seorang pemimpin tdk bertanggung jawab atas kebijakan2 yg di buat oleh anak buahnya. Merdeka!!!
ReplyDeleteLike This Mas.. And numpang Post di tempat lain yah...
ReplyDeleteHebat pak... tetap semangat.
ReplyDeleteTulisan yang "lain" but we should see ourselves.
Salam untuk tetap kritis.
Salam kenal mas Ari,
ReplyDeleteSaya suka sekali tulisan anda dan saat ini saya bekerja di salah satu instansi vertikal Depkeu di Medan. saya termasuk yg merasa kehilangan bu SMI.
Boleh ga saya copas tulisan ini dan saya sebarkan di jejaring sosial dgn tujuan untuk memberi motivasi dan angin segar bagi teman2 seperjuangan saya di Depkeu dan di luar Depkeu. Tapi tetap akan saya tulis sumber tulisan ini.
Kalau saya link, khawatirnya tidak semua orang mau membaca beda kalo saya bikin note yg teman2 akan membacanya. Bagaimana?
Thanks ya...
Menurut saya : tulisan Anda bagus dan menggugah.
ReplyDelete"ada orang-orang yang berpikiran sama soal pembenahan institusi, reformasi birokrasi, antikorupsi dan pentingnya akal sehat" :
Maunya sih dari kalangan muda intelektual dan berkomitmen tinggi... Bagaimana ya menyatukannya? Mengingat banyak sekali anak muda berpotensi tapi dijegal atau dibelokkan visi-misinya mengikuti keinginan segelintir orang/partai...
Saya sih cenderung dah bosan liat beberapa orang tua peot di TV yg bisanya cuma marah2 ga ngerti substansi dan begitu juga terhadap anak muda (kampus di negeri sendiri) yang tukang demo tak jelas tujuan/solusi dan tak jelas bela siapa......
Terima kasih.
barusan ada yang post di milis keuangan, kayak tulisan AP (dari judulnya itu lho, mirip status twitter :) ternyata memang tulisan elo.
ReplyDeleteminta izin forward ke milis lain(~nya lagi :)
thanks b4, P :)
jigo
"Orang-orang tanpa akal sehat lebih suka mendengar sesama orang tanpa akal sehat" ---> wow.. that's true!
ReplyDeleteIjin quota ya Pak..
All -- thanks atas komentarnya. Sorry belum sempat balas satu persatu. tapi kalau ada yg mau share, fwd, copy dll silahkan. Tujuannya memang supaya ide ini tersebar.
ReplyDeleteulasan yang sangat cerdas. semua itu khan bergantu pemimpin jika mau persoalan apapun selesai
ReplyDeleteHanya pikiran bersih yang bisa mengerti permasalahan ini. Sayangnya masa sudah tersihir oleh media yang gencar menghembuskan dagelan tersebut sehingga agak berat membuka akal sehat karena opini mereka sudah terbentuk. Tapi,seperti kata mba Siti, semoga optimisme positif tetap ada untuk negeri tercinta ini.
ReplyDeleteTulisan yang bagus, menggelora, tapi sayang dalam beberapa bagian menurut saya tulisan ini bias..
ReplyDelete1. Proses Pansus Century, bagaimanapun pro-kontranya, adalah proses demokrasi yang sah dalam sistem politik kita. Jadi apapun hasilnya, rekomendasi pansus tersebut harus dihormati sebagai bagian dari konsekuensi logis sistem yang kita sepakati. Mungkin anda, saya, atau sebagaian besar orang di Indonesia marah dengan hengkangnya seseorang bertalenta sekaliber SMI. Tapi menurut saya sangat tidak etis ketika kita menumpahkan kekesalan kita kepada orang-orang yang mengkritik pemerintah, yang dalam hal ini merupakan perwakilan partai-partai yang berseberangan dengan partai Demokrat. Karena menurut saya, justru kesalahan terbesar ada di tangan anggota dewan dari partai pendukung pemerintah itu sendiri. Justru lewat proses di pansus tersebut, saya YAKIN bahwa perwakilan dewan dari partai-partai yang mendukung pemerintah saat ini tidak memiliki kualitas yang mumpuni. Mereka lembek, tidak memiliki kemampuan dialektika dan tidak memiliki kepandaian lobi-lobi. Mereka melempem ketika anggota dewan dari partai lain mampu mengutarakan pendapat mereka dengan lantang. Sebagian anggota partai kerwarna biru ini bahkan hanya bisa cengar-cengir, berteriak "huuu", mengupil, atau bahkan memaki-maki dan tidak berbicara mengenai substansi. Yang lebih parah lagi, ketika proses pleno terjadi, pimpinan sidang yang berasal dari partai Demokrat pun ternyata tidak mampu memimpin sidang dengan baik, hingga protes terhadap dirinya bermunculan satu demi satu.
2. Harus diakui, kebijakan Bail-Out Bank Century memang menyimpan beberapa kejanggalan. Ada banyak intervensi yang muncul dari proses penetapan status Bank hingga penetapan jumlah dana talangan. Hal ini belum lagi bila dilihat jauh kebelakang, ketika proses Bank tersebut didirikan di tengah banyak sekali kekurangan persyaratan. Indikasi adanya kejahatan perbankan memang kuat. Dan bila hal ini tidak diusut tuntas, maka resiko akan terjadinya kejadian ini di masa yang akan datang besar kemungkinan akan terjadi lagi. Padahal, kejahatan perbankan adalah kejahatan yang paling berbahaya bagi sistem perekonomian suatu bangsa. Dan sekali lagi, memang harus ada political support terhadap kasus-kasus kejahatan yang harusnya masuk kategori luar biasa ini, entah political support itu untuk membongkarnya, atau untuk menutupinya.
3. Nobody's Angels, tidak ada orang yg seratus persen bersih dalam politik dan pemerintahan. Itu jelas suatu hal yang harus dipahami semua orang sebelum mempelajari demokrasi. Karena berpolitik pada dasarnya adalah memperjuangkan suatu kepentingan tertentu. Dan karena menjalankan pemerintahan, artinya menjalankan kepentingan mayoritas. Tidak semua kepentingan bisa menang dalam demokrasi. Tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Itu pasti. Oleh karena itu, bagi siapapun yang mengaku bersih dalam politik dan pemerintahan, maka dirinya sebenarnya sudah berbohong. Dan bagi siapapun yang mengidolakan tokoh atau gerakan partai tertentu, maka bersiap-siaplah untuk kecewa. Buktinya, bisa dilhat sendiri. Bagaimana person sekaliber SMI kemudian ternyata gagal membawa perubahan di tubuh Departemen yang dipimpinnya, bagaimana partai yang katanya bersih dan mengusung gagasan Pansus Century ternyata terlibat skandal keuangan juga, dan sebagainya.
Intinya, saya sepakat dengan tulisan anda yang temanya tentang membangun optimisme dalam mind-set bangsa kita yang belakangan makin terjebak dalam politik pencitraan dan penokohan. Tapi saya pikir, kita harus menghilangkan bias dan keberpihakan terlebih dulu sebelum mau menganalisa sebuah persoalan dengan clear dab berimbang. Terimakasih.
saya kira kultur bullying sudah menjadi karakter bangsa ini kok. Liat aja perpoloncoan di sekolah2, bayangkan dari sejak muda sudah dibina utk mempressure orang lain agar bisa sejalan dgn gaya/pemikiran simbol sesuatu/sesorang. masuk ke dunia kerja juga gitu kok.
ReplyDeleteJadi ya gak aneh karakter anggota DPR nya seperti itu. semua keputusan/proses politik bukan didasarkan atas akal sehat dan pencarian kebenaran. tapi sejauhmana kepentingan pribadi/golongan/partainya juga tercapai. ya...jadinya dagang sapi terus......
Intinya sih memang atasannya menteri yg menengahi...dgn sikap negarawan tinggal bilang ...ya ini semua tanggung jawab saya.
nice post.
ReplyDeleteijin untuk copas mas... :-)
Buat saya, tulisan anda hanya bagus buat sebagian orang, namun tidak bagi sebagian lainnya.
ReplyDeleteKelihatan sekali keberpihakan anda pada salah satu "kelompok", sementara "kelompok" lainnya anda tempatkan pada pihak yang salah.
Jadi sebetulnya anda tidak berbeda dengan mereka yang anda "caci-maki" walaupun dalam kemasan bahasa yang kelihatan santun.
Kenapa tidak biarkan saja hukum yang menjustifikasi -itupun kalau "hukum" di negeri ini masih punya nyali...
Gagasan tanpa implementasi sama dengan nol besar
ReplyDeletetulisan yg bagus!
ReplyDeleteBgus, setuju kita tdk kekurangan Stock. Dan kita tidak boleh Pesimis, seperti tulisan anda, yg hanya 1 sisi Pembenaran, tiap Orang brbeda "Map"nya..Biarkan "Bayi" ini belajar sebagaimana mestinya, kebetulan saja kita termasuk di dalamnya! Semua harus mengalami Proses, tidak bisa instan dalam sekejap, oleh karena nya kita tidak boleh menjadi "Hakim" dengan Opini dari Pemikiran Diri Pribadi.
ReplyDeleteJangan Ambigu, ini RI bung, negara kami! Apapun yang terjadi didalamnya, adalah urusan kami! Kalau boleh saya bilang, SMI adalah salah satu contoh Warga yang tidak memiliki Nasionalisme pada bangsa ini, terlepas dari kemampuannya. Ini Map saya, sama anda punya Mapping, Thank's...
Menjadi orang yang mengikuti prinsip dan bertanggung jawab adalah pilihan. Integritas diri daripada doyong sana sini berpolitik adalah lebih berarti. Banyak orang pintar di Indonesia, tantangan untuk jujur dan setia prinsip dan bukan pada kepentingan dan keuntungan sesaat. Great opinion.
ReplyDeleteGiri:
ReplyDeleteapa kabar Gir? Seneng ketemu elu lagi. good point. ya, gue harus lebih hati2 dan bijak sblm bilang delegitimasi. di sisi lain, gue tetap berpendapat dan berharap bahwa pemilih akan menggunakan senjatanya tahun 2014: suara/hak pilih, untuk 'menghukum' mereka yg tidak punya akal sehat. jadi, baik SMI-Boediono dan kebijakan bailout, dan parpol2 pengusung hak angket akan diadili nanti thn 2014.
jadi, gue tidak akan lagi mengkampanyekan delegitimasi. tapi tetap akan mengkampanyekan untuk 'menghukum' politisi tak berakal sehat (dalam definisi gue tentunya) lewat hak suara di tahun 2014.
Pamuji dan lainnya:
ReplyDelete1. saya memang tidak mengklaim diri netral, berpretensi netral, atau menulis tulisan yg netral. jadi maaf, saya akan mengecewakan anda semua kalau berharap saya netral.
ini adalah tulisan tentang sebuah sikap/posisi, dan penjelasan atas sikap/posisi itu. kita bisa berbeda pendapat, tapi tidak relevan untuk minta saya untuk netral.
ya, saya punya bias. media punya bias. semua punya bias. itulah kenapa saya tidak mau berposisi di tengah. karena kalau saya di tengah, tidak ada yang mengimbangi bias yg sudah terjadi.
2. ini tulisan saya yg lain, pendapat soal Pansus dan artinya buat demokrasi:
http://koleksiartikel.blogspot.com/2010/03/lima-mudarat-pansus.html
intinya, betul Pansus adalah bagian dari demokrasi. betul, Pansus adalah proses belajar. Tapi proses belajar yang sangat costly.
Tulisan yang menarik Bung,
ReplyDeleteNamun demikian kita harus menyadari bahwa Sri Mulyani bukanlah "hero" tanpa cacat, demikian juga dengan DPR, bukanlah "looser" tanpa kebaikan. Menurut saya, masing-masing telah melaksanakan apa yang dianggap mereka terbaik.
Sejauh ini, saya melihat bahwa Sri Mulyani memang masih yang terbaik. Keputusannya soal bailout century harus dilihat sebagai sebuah sistem dan kebetulan Sri adalah decision maker, yang mau tidak mau harus mengambil keputusan utk kepentingan lebih besar yang diyakininya. Sebagai sebuah sistem, Sri tdk bisa bekerja sendirian. Dia perlu input dari bawahannya. Di sinilah masalahnya. Ada saja yang memanfaatkan kesempatan yang ada. Kesimpulannya adalah apa yang dilakukan Sri adalah bisa dibenarkan dan keputusan bailout tsb tdk bisa dipidanakan (sepanjang penegak hukum tdk mampu menemukan "mens rea" atau niat jahat di balik adanya keputusan tsb). Soal "penumpang gelap" tetap harus diproses sesuai aturan.
Di sisi DPR, terutama anggota pansus, harus diapresiasi atas kinerjanya yang diluar dugaan. Selama ini, berbagai pansus dibentuk, namun tdk ada yang seperti ini hasilnya (excellent), meskipun tetap harus diakui banyak "penumpang gelap" yang mencoba mengais keuntungan demi kepentingan golongannya. Namun inilah demokrasi yang kita harapkan bersama: eksekutifnya kuat ditopang legislatif yang bukan hanya "tukang stempel" saja, tetapi mampu berperan sebagai "patner" yang seimbang.
Intinya, saya bahagia dengan "proses pendewasaan" kita menjadi bangsa yang besar. Salam
Yang salah diagungkan, yang benar disingkirkan.
ReplyDeletesemoga para pembacot yang tidak menggunakan nalar sehat dan selalu ber-suudzon itu tidak terpilih kembali menjadi anggota dewan di pemilu mendatang...
ReplyDeletesetuju sekali..walau itu memang kehilangan yang besar..kita harus tetep yakin tanpa ada nya sri mulyani, Indonesia masih bisa memeperbaiki diri..
ReplyDeleteTulisan yg bagus...salut...:)
ReplyDeleteminta ijin copas ya...saya akan tetap mencantumkan sumbernya...
Betul. Catatan yang bagus. Sekaligus minta ijin copas, dengan tetap mencantumkan sumber>
ReplyDeletesaatnya kelas Menengah bergerak. Setiap perubahan selalu dipimpin kelas Menengah. Nunggu apa lagi? Mari bersama!
ReplyDeletehttp://benhan8.wordpress.com/2010/05/10/perluasan-akses-politik-kelas-menengah/
Great article! Indonesia memang tidak akan kiamat, tapi seperti Mas Ari bilang, ini adalah masalah sinyal yang salah. Sri Mulyani bukan satu-satunya orang dengan kemampuan tinggi di Indonesia, tapi dia menjadi contoh apa yang bisa terjadi ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pejabat publik yang tidak mau kompromi.
ReplyDeleteSalut buat tulisannya, Mas. Ijin share di facebook ya.. Thanks much!
nice thought mas Ari...sepertinya memang orang2 di DPR sudah banyak kehilangan akal sehatnya.Boleh ijin share ya...thanks
ReplyDeletesangat sependapat dengan pak.pelajaran besar kehilangan orang baik dan berintegritas,semoga penggantinya bisa meneruskan reformasi birokrasi dengan konsisten dan siap berhadapan dengan politik yang berdasar hanya pada popularitas dan kepentingan.
ReplyDeleteTulisan yang menarik, tapi "concern" pak Giri dan pak Pamuji dalam "comment" sangat layak sebagai pelengkap dalam memahami keadaan yang sesungguhnya. Boleh jadi kita sangat mengetahui satu sisi pada suatu persoalan tapi masih banyak sisi lain yang gelap karena keterbatasan ilmu dan informasi yang dimiliki. Saling melengkapi adalah sumber kekuatan dalam mendongkel kezaliman yang terjadi. Banyak pemikiran dan gagasan yang lahir tapi masih sangat sedikit yang bertindak, karena pertimbangan kekuatan yang masih lemah dan tidak tertautkan karena tersebar di mana-mana. Sampai kapanpun Indonesia akan tetap begini kalao orang baik hanya berpikir, bergumam dan tidak bersatu, melainkan seperti melakukan pembiaran. Ketakutan atas dampak revolusi menggulirkan konsep reformasi yang setengah hati. Padahal darah terus bersimbah, korban pemiskinan terus bertambah, pembodohan bangsa dan penghianatan kepada cita-cita negara terus berkembang menggantikan sosok penjajah asing. Semua itu bisa terjadi karena para good guys masih asyik berpangku tangan memilih menjadi pengamat dan komentator, mungkin termasuk seperti kita semua ini. Sementara kekuasaan dan panggung kepemimpinan sudah direnggut dan direbut oleh orang-orang yang tidak memperdulikan siapapun kecuali menggolkan kepentingannya. Selamat Bekerja dan silahkan renungkan, cukupkah pemikiran dan gagasan dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini, dengan cara reformasi pula? Salam Kompak Selalu.
ReplyDeleteI am totally agreed ,,, :)
ReplyDeletenice post ...
saya sukaaa....
ReplyDeletebo lehkan saya post kembali di blog saya ato di media lainnn???
tanpa menghilangkan sumbernya tentunya...