Satu lagi orang baik telah pergi. Dunia memang akan terus berputar. Tapi tak pernah sama. Ada yang bilang, betapa dicintainya seseorang terlihat bukan dari besarnya perhatian padanya semasa hidup. Tapi dari berapa banyak yang menangisi ketika ia pergi. Seorang Hadi Soesastro tidak perlu pembuktian itu. Namun ai mata yang mengalir mengiringi kepergiannya hanya menegaskan betapa kehilangannya kita semua.
Pagi itu menjadi hari yang murung ketika kabar kepergian pak Hadi datang. Juli yang pertama kali melihat berita itu di internet tak kuasa menahan tangis. Saya terlalu kaget untuk bisa mengucurkan air mata. Rara yang masih belajar memahami konsep kematian bertaya dengan polos, "Kenapa Opa Hadi? Kenapa meninggal? Kenapa Ami nangis?" Saya jelaskan, karena Opa Hadi adalah orang sangat baik. Kita bersedih karena kita tak akan lagi bertemu dengannya. Tapi kita bahagia karena Opa Hadi artinya 'terbang' ke surga, berjumpa Tuhan.
Kepergian pak Hadi adalah sesuatu yang sudah dipasrahkan. Tetap saja ketika akhirnya itu datang, kesedihan dan kekagetan tak terelakkan. Saya langsung teringat surat pak Hadi yang ia kirim awal Desember 2009 pada saya dan rekan-rekan lain yang sedang kuliah di luar negeri. Pak Hadi menjelaskan kondisi terakhir kesehatannya. Ada nada pasrah -- pengakuan bahwa apa yang bisa dilakukan manusia sudah mencapai batas -- di sana. Tapi tetap ada semangat dan positive thinking di sana.
Ya, pak Hadi memang orang paling berpikiran positif yang saya kenal. Ia mungkin paham, hari-harinya bisa dihitung. Tapi ia tetap ingin mengirimkan pesan untuk selalu optimis dan 'take it easy.' Saya pun teringat tahun 2004, pak Hadi meminta saya mewakilinya datang ke sebuah workshop tentang ASEAN-India di New Delhi. Saya bisa dapat tiket pergi, tapi tiket pulang belum bisa confirmed karena penuh. Ketika saya sampaikan ini ke pak Hadi ia cuma komentar, "Ya sudah kalau ndak dapat tiket jalan-jalan saja di sana." Take it easy, demikian yang tersirat.
* * *
Sulit untuk menggambarkan sosok Hadi Soesastro dalam kata-kata. Yang terbaik yang bisa saya lakukan adalah meminjam kata-kata pak Hadi sendiri, yang ia sampaikan tahun 2002, menghormati Prof. Heinz Arndt (ANU) yang baru meninggal dunia. Kalau saya ganti 'Heinz Arndt' dengan 'Hadi Soesastro', kalimat-kalimatnya akan seperti ini:
If you want to be a scholar, you want to be like Hadi Soesastro.
If you want to have a colleague, you want to have a colleague like Hadi Soesastro.
If you want to have a friend, you want a friend like Hadi Soesastro.
If you want to be a dad, you want to be a dad like Hadi Soesastro.
If you want to be (or have) a husband, you want to be (or have) a husband like Hadi Soesastro.
Saya tidak bisa berkomentar soal bagaimana pak Hadi sebagai ayah atau suami. Saya hanya bisa melihat bagaimana Agus dan Albert memiliki kebebasan untuk memilih jalur hidup mereka. Dua anak pak Hadi yang memiliki keunikan masing-masing. Dalam banyak hal begitu berbeda. Tapi kita bisa melihat jejak-jejak pak Hadi dan bu Janti di keduanya.
Saya juga bisa melihat seperti apa chemistry yang ada di antara pak Hadi dan bu Janti. Ya, dua pribadi yang, lagi-lagi, dalam banyak hal begitu berbeda. Tapi keduanya begitu menyatu. Pak Hadi bukan orang yang pendiam. Tapi biasanya bu Janti selalu yang lebih banyak cerita. Dan pak Hadi akan mendengarkan sambil tersenyum, sekali-sekali menimpali. Kalau ada cerita yang ia rasakan kurang pas, ia akan berkomentar singkat, "Ya ndak gitu..." dengan logat Jawa yang masih kental.
Tapi saya merasakan sendiri seperti apa Hadi Soesastro sebagai seorang scholar dan kebetulan kolega. Satu hal yang saya kagumi dari pak Hadi adalah kemampuannya menjelaskan ulang sesuatu -- apakah itu konsep-konsep ekonomi ataupun perkembangan politik-ekonomi terakhir, termasuk apa artinya buat kita. Dalam berbagai seminar kalau pak Hadi jadi moderator, sering kita kehilangan arah diskusi karena para pembicara dan penanggap berjalan ke berbagai arah berbeda. Tapi pak Hadi akan keluar dengan sebuah rangkuman yang singkat, padat dan tepat. Pak Hadi seperti pusat gravitasi, yang menjaga agar semua objek tetap bergerak di orbit.
Pak Hadi adalah seorang atasan, seorang senior. Sebagai senior, ia adalah mentor yang begitu perhatian dan suportif pada para junior. Tapi ia lebih suka disebut 'kolega.' Saya punya pengalaman langsung soal ini. Tahun 2001, di sebuah seminar CSIS, kepada Julia Suryakusuma saya menyebut Hadi Soesastro sebagai 'my boss.' Pak Hadi mengoreksi, "colleague" katanya. Sebagai seorang Direktur Eksekutif, pak Hadi sangat rajin main ke lantai 4. Entah untuk membawa informasi beasiswa, undangan seminar (ia sangat tahu siapa yang paling tepat datang ke seminar apa), bahkan cuma untuk say hi dan bergosip.
Pernah suatu ketika, seperti biasa peneliti CSIS makan di lantai 6. Pak Hadi datang belakangan. Karena meja sudah penuh ia makan sendiri di meja lain. Entah bagaimana kami membicarakan --bergosip tepatnya-- tentang seorang rekan di luar CSIS yang rumah tangganya tengah kena prahara. Mendengar itu, dengan senyum-senyum pak Hadi membawa piringnya, pindah ke meja kami meski sudah sempit.
Lebih dari itu, pak Hadi selalu menempatkan diri sebagai seorang teman. Buatnya, perbedaan usia, pengalaman dan pencapaian bukanlah hal yang perlu menciptakan jarak. Waktu kuliah di Canberra, setiap pak Hadi datang ia selalu mengundang saya dan Donny ke rumahnya di Ngunawal (saat itu masih jadi daerah jin buang anak). Biasanya kami mengajak juga teman kami satu dormitory, Edwin Arifin. Ia akan memasakkan sop buntut andalannya.
Tahun 2005-2006 pak Hadi jadi dosen tamu di Columbia University, New York. Ia mengundang saya, Juli dan teman-teman lain merayakan malam tahun baru di sana. Di periode itu ia juga sempat mampir ke Harvard. Di Kennedy School kebetulan saya dan beberapa teman baru mendirikan semacam kelompok studi ASEAN+3+Australia. Pak Hadi saya minta memberikan ceramah. Teman-teman begitu kagum dan tercerahkan dengan penjelasan pak Hadi soal ini, yang memang begitu ia kuasai.
Di situ saya dan Juli juga jadi tahu satu kebiasaan unik pak Hadi dan bu Janti (tepatnya bu Janti): mengambil roti sebanyak-banyaknya dari hotel ketika makan pagi. "Untuk apa bu?" tanya saya (atau Juli). "Kasih makan burung di taman..." Hari itu memang kami berencana mengajak pasangan Soesastro keliling Boston. Di Boston Common, jadilah roti itu ditebar untuk burung-burung merpati di sana.
Hari terakhir mereka di Boston, kami minta mereka menginap di apartemen kami di dekat Harvard Square. Pak Hadi bersedia, dengan satu syarat: "tidak merepotkan." Malamnya kami juga mengadakan makan malam mengundang beberapa teman (Dadi Darmadi, Sukidi, Firman Witoelar sekeluarga yang tengah mampir dari New Haven, termasuk dua rekan dari Singapura, Leonard Sebastian dan Derwin Perreira). Lebih sering pak Hadi yang memperkenalkan diri lebih dulu, "Saya Hadi Soesastro..."
* * *
Maret 2009 ketika pak Hadi dan bu Janti datang ke Melbourne untuk berobat, ia mengundang kami sekeluarga, dan Dira Hapsari, makan malam di rumah seorang kerabatnya. Di situ pak Hadi masih terlihat sehat. Saya baru berkesempatan bertemu pak Hadi lagi secara fisik bulan Januari 2010, di acara pemakaman mbak Asnani Usman. Saya ada di Jakarta karena ayah Juli, mertua saya, juga baru meninggal karena kanker di awal tahun. Ternyata itu jadi kali terakhir saya bertemu pak Hadi.
Komunikasi terakhir terjadi tanggal 15 April. Saya minta pak Hadi apa ia bersedia menulis pengantar buat buku yang tengah saya susun. Pak Hadi membalas singkat, "Please send me your draft, I'll see what I can write." Dua hari kemudian saya mendengar kabar pak Hadi masuk RS Medistra. Tanggal 18 April saya masih sempat chat lewat Gmail. Saya tanya apa masih di RS. Saya tidak tahu apa itu pak Hadi sendiri atau bu Janti yang menjawab. Tapi jawabannya, "Sudah di rumah, thanks." Tapi saya paham, pengantar pak Hadi buat buku saya tidak akan pernah terjadi.
Beberapa hari kemudian saya mendengar kabar sedih itu. Pak Hadi koma. Dokter sudah menyerah. Yang tersisa adalah doa supaya ia bisa pergi tanpa penderitaan. Dan memang, menurut Harin Silalahi, pak Hadi pergi dengan senyum. Meninggalkan kenangan. Meninggalkan pengetahuan.
Selamat jalan, pak Hadi. Rara akan selalu ingat, boneka Teddy Bear yang pak Hadi berikan ketika ia datang ke dunia ini -- yang kami namakan 'Teddy Hadi' atau 'Hadi Bear' -- adalah hadiah istimewa dari orang yang begitu istimewa.
wow... you must feel so blessed to have worked with someone like him and learned so much.
ReplyDeletejujur, saya masih nggak begitu tahu siapa pak Hadi sebenarnya ataupun rekam jejaknya (saya akan google setelah ini). Tapi saya ingat bagaimana saya & seorang teman berdecak kagum membaca tulisan terakhir beliau di Kompas "Apa Yang Kau Cari Pansus".
Kagum karena beliau bisa mengartikulasikan semua pendapat beliau (yang kebetulan sangat sejalan dengan kami sebagai praktisi keuangan/bank) dengan sangat mudah dicerna, dan to the point, lugas. Saya ingat sekali bertanya ke teman saya, "siapa sih Hadi Soesastro ini? Andai Pansus berani panggil dia" :-)
Pertanyaan bodoh mungkin, tapi memang jujur, bagi kita yang networknya lebih banyak hanya para bankir komersial, tulisan beliau sangat menggugah sisi akademis kita.
So, grateful if you can recommend some other writings by the late HS, whether articles or books. Thanks
Oh ya, salam kenal, saya @dondihananto btw