Setelah aksi tanggal 2 Mei, tidak ada aktifitas yang cukup signifikan di UI. Pertemuan dan acara-acara kecil tetap diadakan, tapi bukan dalam skala besar atau yang melibatkan banyak
Sempat ada ide di antara teman-teman FEUI untuk membangun tenda Posko di kampus FEUI. Tujuannya adalah supaya ada ‘tempat strategis’ di FEUI untuk menggarap
Tanggal 12 Mei. Saya memang mendengar Trisakti akan mengadakan acara, lalu aksi. Saya tidak terlalu menggubris, karena saat itu setiap hari ada demonstrasi di tempat berbeda. Lagipula, Trisakti bisa dibilang pendatang relatif baru dalam arena aksi 1998. Saat itu kami masih percaya (ge-er), kalaupun rezim meminta korban, bukan Trisaktilah sasarannya.
Tapi saya salah. Siang menjelang sore di Depok, saya mendengar kabar ada penembakan yang memakan korban. Saya begitu kaget mendengar berita ini. Saya tidak menyangka akan jatuh korban, dan secepat ini. Untuk beberapa saat, saya seperti kehilangan orientasi. Saya sempat menyendiri di samping ruang BO Economica. Saya membayangkan, hari ini ada empat mahasiswa yang tidak pernah pulang ke rumah.
Sempat terlintas di pikiran saya, sepadankah ini semua? Ketika akhirnya nyawa melayang, apakah ini sebanding dengan semua heroisme ini? Bayangan Tiananmen berkelebat. Mereka berani menembak empat orang. Siapa bilang mereka tidak berani menembak puluhan ribu mahasiswa, atau menggilas dengan tank?
Tentu saja, seperti kata Taufik Ismail, “tidak ada pilihan lain, kita harus berjalan terus… karena berhenti atau mundur berarti hancur…” Tapi hari itu, saya butuh waktu beberapa saat untuk mengembalikan kepercayaan diri pada perjuangan ini.
* * *
Tanggal 13 Mei. Situasi tak menentu. Kerusuhan mulai terjadi di beberapa titik. Alm. Elang akan dimakamkan di Tanah Kusir, KBUI juga ingin mengirimkan perwakilan. Sejumlah rekan mahasiswa FEUI datang ke saya, menyatakan ingin hadir ke pemakaman. Yang mengharukan, banyak dari mereka yang datang adalah mereka yang saya tidak kira begitu ingin hadir; dan banyak juga dari mereka adalah mahasiswa tingkat satu.
Saya ingat, seorang mahasiswa tingkat satu, kalau tidak salah dia juga mahasiswa di kelas makro saya, datang ke saya, “Kak… saya mau ikut ke Tanah Kusir…” Saya tidak akan menyangka dia adalah orang yang punya keinginan untuk ambil risiko seperti itu (stereotyping never helps, I know).
Saya menjawab, “Nggak usah aja ya…?” Sejujurnya, hari itu saya lebih suka kalau sesedikit mungkin teman-teman yang menempuh bahaya. Saya seperti orangtua yang kelewat protektif pada anak-anaknya. Mungkin kenyataannya di luar tidak sebahaya yang saya bayangkan. Tapi saat itu tidak segalanya serba kabur. Tapi saya juga tidak bisa menahan keinginan teman-teman yang ingin memberikan penhormatan terakhir.
Akhirnya, keputusan saat itu adalah yang berkeras ingin ikut ke Tanah Kusir, silahkan pergi, tapi harap hati-hati. Lalu saya minta mereka mencatat nama-nama mereka, dan sampaikan ke orang tua masing-masing untuk mengecek ke nomor telepon BO Economica. Oh ya, tahun 1998, telepon seluler adalah barang langka. Pager adalah medium komunikasi tercanggih yang cukup tersedia secara massal. Tapi pager adalah komunikasi satu arah; jadi yang di-pager tidak selalu bias menghubungi kembali.
Dewa menjadi ‘juru absen’ yang telaten di BO Economica. Sore itu telepon di sana tidak berhenti berdering, dari orang tua yang ingin tahu apakah anaknya sudah kembali ke kampus.
Gus Mun menjadi ‘gembala’ anak FEUI yang ikut ke Tanah Kusir. Saya tinggal di kampus, merencanakan apa yang akan dilakukan esok harinya. Tapi saat itu, sulit sekali melakukan koordinasi. Saya hanya sempat datang ke Posko dan menelepon beberapa orang, sekedar memastikan bahwa besok kita akan melakukan aksi di Kampus Salemba.
Tambahan dari Dendi: acara ini awalnya digagas oleh ILUNI-UI. Waktu itu, kita (KBUI) putuskan tidak ikut aksi karena tidk siap, dan merasa disetir Iluni. Tapi esoknya, tanggal 14 Mei, peristiwa penembakan yang sampai telinga mahasiswa justru menimbulkan keinginan ikut aksi. Kampus begitu ramai tgl 14 Mei ini, dan banyak mahasiswa siap ke Salemba. Ini situasi yang dilematis karena perangkat aksi tidak siap. Karena memang bukan aksi kita, tapi Iluni. Tapi, teman2 akhirnya ke Salemba dan merasa bertanggung jawab atas keamanan massa UI.
* * *
Kamis 14 Mei pagi. Bekas-bekas kerusuhan hari sebelumnya terlihat, dan tanda-tanda kerusuhan berlanjut hari itu juga kelihatan. Tapi kami tetap berkumpul di kampus Salemba, sekitar jam 10-11. Kami sempat melakukan orasi, happening art sebentar, sampai jendral lapangan saat itu (lupa, siapa ya?) memutuskan kalau situasi betul-betul tidak kondusif. Tidak ada yang bisa menjamin keamanan teman-teman, dan isu bahwa sniper sudah ditempatkan di atas gedung-gedung sekitar Salemba berkembang.
Di luar memang terlihat situasi tidak terkendali. Pasukan Marinir diturunkan untuk menjaga kampus. Tapi posisi berdiri mereka bukan menghadap ke dalam, melainkan ke luar. Menunjukkan mereka ditugaskan bukan untuk menjaga mahasiswa turun ke jalan, tapi mencegah massa merangsek masuk ke kampus.
Diputuskan untuk menghentikan orasi dan memindahkan teman-teman dari lapangan parkir FKUI yang terbuka ke dalam yang lebih tertutup. Sebagian masuk ke dalam FKUI, sebagian ke arah pascasarjana, teman-teman ekonomi berkumpul di bekas Taman 02. Selama beberapa lama, kami tidak bisa melakukan apa-apa. Dan memang sesunggunnya kami tidak tahu apa yang aman dan tidak.
Tambahan: Menjelang sore, orasi di parkiran FKUI dilanjutkan. Waktu itu kurang jelas, penanggung jawab utamanya siapa. Apakah ILUNI, SMUI, yang jelas KBUI bisa dibilang tidak terlibat lagi soal jalannya acara. Kami memang ada di sana, lebih sebagai peserta dan untuk mengoordinasi massa di bawah tanggung jawab KBUI. Beberapa tokoh politik, salah satunya alm. Ali Sadikin, hadir dan beberapa ikut orasi.
Rama Pratama, Ketua SMUI, juga ada di sana dan memberikan orasi. Ada satu pemandangan yang buat saya 'tidak biasa.' Ketika berjalan dari rektorat ke panggung di FKUI, ia dikelilingi oleh 5-6 orang 'penjaga' yang 'melindungi' dengan cara melingkarkan tangan mereka mengelilinginya. Yah, mungkin lain kelompok/organisasi punya cara berbeda dalam hubungan antara pemimpin dan massa. Whatever, tapi saya sendiri merasa berjalan dengan dikelilingi 5-6 orang bukan cara paling efisien.
Nothing personal. Rama adalah kawan seangkatan saya di FEUI, jadi cukup kenal baik. Kami jarang bertemu setelah lulus, hanya beberapa kali dalam konteks reuni kecil atau tidak sengaja di kampus. Tidak pernah ada pembicaraan soal aksi 1998 maupun politik kontemporer. Agaknya, antara kami waktu berhenti sebelum 1998.
Kami tidak punya akses ke berita secara utuh. Tapi sepanjang hari itu, berbagai berita – baik yang isu maupun betul – datang tak henti. Andy yang saat itu tidak bisa ikut ke Salemba, mengirim pesan pager yang isinya “keluarga Suharto sudah diterbangkan.” Saat itu pesan tidak tampil di layar, hanya tertulis, “hubungi operator.” Agaknya operator juga hati-hati untuk mengirim pesan ke pelanggan. Di radio atau televisi milik Satpam, sempat ada berita ‘Pimpinan MPR menghimbau Presiden Suharto untuk mundur,’ yang disampaikan oleh Harmoko. Selang beberapa saat, berita ini dianulir oleh Pangab Jendral Wiranto yang mengatakan “Itu adalah pendapat pribadi.”
Sepanjang itu juga, kontak saya di BBC London dan ABC Australia tak henti menelpon ke ponsel saya. Selama ini saya memang menjadi salah satu titik kontak media-media itu di UI. Mungkin karena saya saat itu memenuhi dua hal: pemegang ponsel dan skor punya TOEFL di atas 500 (kalau tidak salah 501). Saya merasa lama-lama ini mengganggu. Akhirnya sampai satu titik, begitu ada panggilan masuk, saya serahkan ponsel ke Paksi. “Paksi, tolong urusin dong…” Saya tidak ingat bagaimana Paksi menangani hal ini. Tapi saya dengar dia berbicara dalam bahasa mirip Klingon. Yang jelas, cukup efektif. Selama beberapa lama saya tidak diganggu panggilan dari mereka.
Sore menjelang malam, diputuskan bahwa kita harus mengevakuasi teman-teman ke luar kampus dengan aman. Metodenya adalah berangkat dalam kelompok-kelompok kecil, tapi berangkat dalam interval sehingga tidak membentuk kelompok besar. Karena banyak yang pulang ke arah Depok, tujuan terbanyak adalah stasiun Cikini. Yang membawa kendaraan atau yang pulang ke arah lain, dipersilahkan mencari rute sendiri, dengan ekstra hati-hati.
Sungguh, saat itu satu-satunya yang saya pikirkan adalah nasib teman-teman. Mungkin memang karena saya pada dasarnya bukan aktifis jalan sejati, yang punya nyali lebih banyak. Sampai sekarang, beberapa teman yang saat itu ada sebagai massa di Salemba masih suka menjadikan betapa paranoidnya saya waktu itu akan sniper dan lain-lain sebagai bahan bercanda ketika mengingat masa lalu.
Biasanya saya hanya tersenyum, karena saya tidak menolak kenyataan itu. Yang tidak mereka ketahui adalah, saat itu saya tidak bisa memaafkan diri saya kalau ada lagi orang tua yang tidak pernah melihat anaknya pulang, sementara anaknya itu ada di bawah koordinasi saya.
Saya bertahan di kampus hingga kelompok terakhir pulang dan saya dapat kabar bahwa mereka aman. Akhirnya saya memutuskan untuk bermalam. Ada beberapa teman juga yang malam itu menginap di kampus. Bang Nizam Yunus, Pudek bagian kemahasiswaan FEUI, juga termasuk yang ikut bermalam.
Sekali lagi, yang manis dari hari itu adalah, Juli menemani saya melewati malam di Salemba. Nggak tahu apa dia terpaksa, terjebak atau rela. Yang jelas sampai sekarang, tidak pernah tercetus kalau dia terpaksa.
Ya, mungkin ini bisa jadi frgamen yang manis dalam sebuah film. Tapi saya hanya akan mengijinkan satu orang untuk memainkan peran saya: Christian Sugiono.
* * *
Jumat 15 Mei. Akhirnya saya bisa pulang ke rumah. Setelah mendapat akses berita dari televisi, surat kabar dan internet, saya baru mendapat gambaran lebih utuh seberapa parah kerusuhan yang terjadi. Sepanjang sisa minggu itu suhu politik makin meningkat. Suharto pulang dari lawatannya ke Mesir. Sejumlah elit politik mulai melalukan manuver.
Saya lupa, apakah saya datang ke kampus dulu hari itu dan berikutnya, Sabtu 16 Mei. Yang jelas, beberapa hari kemudian, kami berada di satu tempat: Gedung MPR/DPR.
Bersambung. Berikutnya: Senayan, klimaks atau antiklimaks?
Catatan
Tahun 2008, saya mengunjungi pameran foto memperingati 10 tahun tragedi Trisakti dan gerakan reformasi di Galeri Antara, Pasar Baru. Satu section khusus didedikasikan untuk menghormati Elang, Hafidin, Hendrawan dan Heri yang gugur tertembak. Ingatan pada kejadian 10 tahun silam terungkit kembali. Saya tidak pernah mengenal mereka, tapi kepedihan itu tetap terasa. Sekitar sepuluh menit saya berdiri tertegun di depan foto mereka berempat. Dan saya harus berusaha keras sekali untuk tidak meledak dalam kesedihan.
Selamat jalan, kawan-kawan.
No comments:
Post a Comment