Hingga akhir Maret 1998, grafik semangat teman-teman mahasiswa ada di fase meningkat. Tiba April. Belum ada tanda-tanda Suharto akan goyah. Bahkan teror mental berupa isu penculikan dan sweeping semakin menghantui.
Sementara itu, kegiatan kuliah tetap berjalan. Betapapun besar dukungan moral (dan material) dari para dosen, mereka tetap punya tanggung jawab untuk mengajar. Artinya, mereka tetap berharap mahasiswa belajar dan mengerjakan tugas. Beberapa dosen sempat mengeluhkan ke saya soal jam yang hilang karena demonstrasi. Saya ingat senior saya Zulfieklimansyah (sekarang Ketua PKS, Anggota DPR, mantan cagub Banten) pernah secara personal mengutarakan hal ini ke saya, dan saya bisa memahami. Pada demonstrasi pertama tanggal 26 Februari, Zul justru menyuruh mahasiswanya ikut aksi. Masalahnya, hari Kamis jadi hari favorit untuk demonstrasi, jadi Zul kebagian beberapa kali jadwalnya hilang. [1]
Kejumudan juga harus diakui hinggap di Posko KBUI. Meski teman-teman berusaha agar semangat tidak pudar. Acara-acara terus digelar, dengan tujuan situasi ‘perang’ terus terjaga. Sementara itu, perbedaan pandangan soal bagaimana strategi yang harus diambil mulai terlihat. Di satu sisi, ada pendapat bahwa mahasiswa harus berani radikal. Kalau perlu membuat setting untuk bentrok dengan aparat. Dengan cara ini, gerakan mahasiswa akan mendapat simpati dari masyarakat lebih luas. Paradigma ini dianut oleh Forkot – saat itu makin populer – dan teman-teman yang dekat dengan SMID/PRD. Ada keinginan juga di sebagian teman-teman KBUI untuk membawa orientasi KBUI ke sana.
‘Kompor’ juga datang dari Hermawan ‘Kikiek’ Sulistyo. Dalam sebuah diskusi, ia berkata, “Saya ingin kalau bentrok, anak UI yang jadi korban. Bukan apa-apa, jaketnya kuning, jadi kalau berdarah jelas kelihatan… Kalau jaket biru kayak ITB atau Trisakti, nggak akan kelihatan…” [2]
Pandangan lain – dan yang kelihatannya lebih dominan – di KBUI adalah aksi yang lebih moderat. Terlalu cepat untuk mendorong massa UI jadi radikal dan bentrok. Akibatnya justru bisa antiklimaks. Yang diperlukan adalah pematangan kesadaran lewat aksi-aksi lokal yang moderat.
Kejumudan dan perbedaan visi internal ini membuat pertemuan-pertemuan KBUI banyak – terlalu banyak – diwarnai perdebatan. Pengambilan keputusan menjadi panjang dan sulit, bahkan saling mementahkan terjadi. Sekitar pertengahan April, sebuah rencana aksi jadi maju-mundur. Keputusannya, aksi tidak jadi, dan itu baru diputuskan saat-saat akhir. Saya sendiri lupa penyebabnya apa waktu itu.
Itu membuat beberapa teman di FEUI kecewa. Teman-teman FEUI sendiri bisa dikatakan tidak ada yang setuju dengan aliran radikal (kecuali mungkin Benneduict Dwi Prasetyo alias Bene). Kami sepakat kalau saat itu kami mencoba setting yang radikal dengan kondisi massa UI, itu adalah bunuh diri. Tapi kawan-kawan FEUI juga gemas dengan pengambilan keputusan di Posko KBUI. Suatu malam, Rizal dan beberapa orang lain meletakkan bayam mentah di depan tenda posko. Ini terinspirasi oleh Kikiek Sulistyo, dulu ungkapan untuk mengejek kelompok yang penakut adalah “Bayam loe…!”
Di pertemuan berikut, Eman – sesama Korfak – mengungkapkan kekecewaannya atas ‘insiden bayam.’ Saya menjawab Eman, “Tolong pahami… Itu adalah ekspresi yang benar-benar inisiatif Rizal mewakili perangkat aksi di FEUI. Ingat beberapa waktu lalu salah satu kesimpulan kita adalah mendorong insiatif dan ekspresi teman-teman di bawah… Meski saya merupakan perangkat KBUI, saya tidak bisa dan tidak akan menghalangi mereka naruh bayam di tenda…”
Saya tidak tahu apakah Eman bisa menerima. Kelihatannya bisa, moga-moga. Yang jelas hubungan saya dan Eman sendiri di waktu-waktu berikutnya tidak pernah mengalami masalah.
Tapi di FEUI sendiri, saya dan teman-teman juga menghadapi tantangan bagaimana menghindari massa mengalami demoralisasi. Satu hal yang waktu itu kami anggap perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman pada teman-teman lain, mengapa kita melakukan demonstrasi. Kira-kira ke mana arah ini semua. Kenapa kita menuntut Suharto turun, dan tidak memberikan kesempatan ia melakukan reformasi. Ada kekuatiran, yang cukup beralasan, atas kesenjangan antara ‘elit demonstran kampus’ dengan massa kebanyakan. Satu-dua kali aksi, mereka ikut karena ini sebuah pengalaman baru. Tapi kalau kesenjangan ini terus ada, maka aksi mahasiswa hanya akan menjadi aksi para elit mahasiswa.
Waktu itu kami mencoba lewat beberapa cara. Lewat pamflet dan tulisan di majalah dinding, hingga diskusi. Terus terang saya tidak tahu, dan kami juga tidak pernah mengevaluasi, apakah yang kami lakukan cukup berhasil.
Di saat yang sama, di UI sendiri juga tercipta dua kubu besar gerakan mahasiswa. KBUI di satu sisi, sebagai gerakan di luar lembaga formal. Hermawan Sulistyo sendiri pun akhirnya lebih dekat ke teman-teman Forkot. Mungkin ia menganggap Forkot lebih kena dengan orientasinya yang radikal. Di sisi lain ada Senat Mahasiswa (SM) UI, yang punya orientasi dan maneuver berbeda. Jadi, KBUI menghadapi berbagai tantangan sekaligus. Konsolidasi internal, tarikan ke arah radikalisasi dan makin dominannya pendekatan Forkot, serta bagaimana supaya isu dan momentum tidak hilang ke tangan SMUI.
* * *
Menjelang akhir April, ada satu rencana aksi ke luar kampus. Tepatnya ke Universitas Gunadarma, sekitar 10 menit dari kampus UI. Ketika KBUI sepakat untuk mengirim massa, saya fokus pada persiapan internal di FEUI. Meskipun saya sempat merasa – lebih tepatnya Gus Mun, karena dia yang ikut rapat persiapan terakhir – suara KBUI tidak sebulat biasanya. Tapi waktu itu saya dan teman-teman pikir, aksi baru bisa memecah kejumudan.
Ternyata, aksi berakhir kacau (istilah waktu itu: chaos). Aparat membubarkan massa dengan tembakan ke atas dan gas air mata. Setting ini tidak pernah ada dalam rapat persiapan. Dan mayoritas massa – setidaknya massa FEUI – memang tidak siap untuk setting bentrok. Yang lebih ironis, aksi yang kacau ini juga tidak berhasil merebut simpati masyarakat. Sudah begitu, luput pula dari publikasi. Sejumlah supir bis dan angkot jelas-jelas marah pada mahasiswa karena menutup jalan Kelapa Dua yang sempit itu.
Rapat evaluasi KBUI malamnya diwarnai dengan kecurigaan dan konflik. Ada kecurigaan bahwa bentrok itu memang disetting oleh ‘grup radikal.’ Ada yang mempertanyakan sebenarnya ini semua ide siapa, siapa yang bertanggung jawab untuk mengatakan KBUI akan terlibat dalam aksi itu. Rapat ini diwarnai juga oleh aksi ‘walk out’ (baca: ngambek) Annas Alamudi setelah terlibat sebuah argument dengan Fahri.
* * *
Memasuki Mei, ada semangat baru yang datang. Saya lupa bagaimana itu terjadi. Mungkin karena kami mulai bisa mengantisipasi bahwa perjuangan ini akan memakan waktu lama. Di sisi lain, opini publik secara umum, meski tidak eksplisit, juga makin menginginkan Suharto jatuh.
Sementara itu, ada perkembangan baru dalam orientasi aksi. Teman-teman sepakat bahwa gerakan mahasiswa harus bisa mengalami transformasi menjadi gerakan rakyat. Perlahan-lahan, sekat antara ‘mahasiswa’ dan ‘masyarakat umum’ harus hilang. Dan ketika situasi makin matang, aksi di jalan akan terjadi bukan oleh mahasiswa berjaket, melainkan gabungan antara mahasiswa yang menanggalkan jaketnya, serta rakyat.[3]
Test case-nya adalah sebuah aksi di Kampus Salemba, akhir April 1998, sebagai ‘pemanasan’ untuk aksi lebih besar tanggal 2 Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.[4] Dalam aksi tanggal 2 Mei, selain massa dari beberapa kampus lain, sejumlah elemen masyarakat juga diundang. Sementara itu, beberapa wakil mahasiswa UI akan berjalan dari kampus ABA-ABI Matraman, sebagai uji coba ‘turun’ ke jalan, dan sebagian massa mahasiswa di Salemba juga mencoba menembus barikade aparat keluar kampus. Saat itu tujuannya memang bukan betulan mendobrak barikade dan turun ke jalan, tapi lebih sebagai ‘uji tanding.’
Tapi kelompok yang mencoba keluar dari ABA-ABI betulan digebuk aparat. Salah satu korbannya adalah Tata Mustasya, FEUI ’97. Kepalanya bocor kena gebuk, bercak darahnya ada di jaket kuning yang dikenakan. Itulah darah pertama yang menetes di jaket kuning. Tapi yang lebih heorik adalah Pramono. Bersama seorang lagi, ia membopong Tata masuk ke ruang rawat di dalam FKUI. Sambil mengacungkan tangan, ia berteriak-teriak, “Aparat biadab…! Lihat ini jaket kuning berdarah…!” Foto ini sempat diabadikan oleh seorang jurnalis asing, dan dimuat di sebuah media luar negeri. Entah bagaimana, ibunda Pramono di Solo sempat melihat gambar ini, dikirim oleh seorang kerabat atau kenalan keluarganya. Kabarnya, sang ibu menangis melihat gambar ini. [5]
Aksi awal Mei itu membawa semangat dan ekspektasi baru. Kami sudah bersiap untuk menghadapi gelombang aksi yang akan cukup lama. Sambil memikirkan strategi untuk bertransformasi dari aksi mahasiswa menjadi aksi rakyat.
Ternyata, perhitungan itu salah. Suhu politik meningkat, dan perubahan terjadi begitu cepat. Lebih cepat dari yang kami duga. Dua minggu setelah aksi di Salemba, di Grogol empat mahasiswa Trisakti tidak pernah pulang ke rumah orangtua mereka…
Bersambung. Berikutnya: Trisakti.
Catatan
[1] Di tengah periode aksi, saya sebenarnya mendapat pekerjaan sebagai asisten peneliti di CSIS. Tapi saya baru mulai bekerja bulan Juni 1998. Bu Mari Pangestu, saat ini Menteri Perdagangan, dengan penuh pengertian mengijinkan saya untuk ‘menyelesaikan yang harus saya selesaikan dulu.’
[2] Dalam bukunya, “Lawan!” Kikiek mengakui dia tetap shock ketika akhirnya korban yang jatuh adalah mahasiswa Trisakti.
[3] Di sela-sela menggalang aksi, salah satu yang coba kami lakukan saat itu adalah mencoba mengkomunikasikan aksi mahasiswa ke masyarakat di luar kampus. Beberapa teman melakukannya ke basis-basis buruh, hingga anak SMA. Saya mencoba menggunakan jalur alumni sebagai akses ke kalangan profesional. Tapi ujian terberat saya ada di rumah saya sendiri: menjelaskan pada orang tua, khususnya ayah saya. Ayah saya masih berpendapat, tidak usah demonstrasi. Justru beri kesempatan pada Suharto untuk memperbaiki keadaan. Lagipula, kalau mahasiswa demonstrasi, solusi apa yang ditawarkan? Perdebatan ini tidak pernah selesai. Saya tetap meneruskan demonstrasi, dan ayah saya, meski berbeda pendapat, tidak pernah melarang saya. Ia hanya bisa meminta saya untuk hati-hati. Dan saya yakin, dalam hati ia tahu bahwa saya melakukan sesuatu yang benar.
[4] Saya agak lupa urutannya. Kalau tidak salah, di aksi akhir April saya untuk pertama kali menjadi koordinator lapangan dan orator. Secara pribadi, ini adalah pengalaman yang tak terlupakan buat saya, meski seandainya Simon Cowell melihat aksi saya, saya yakin dia akan b erkomentar, "it was a horrible performance." Di aksi tanggal 2 Mei, saya menjadi jendral lapangan -- semacam sutradara dan yang menentukan dinamika massa. Tugas ini membuat saya secara konstan harus mondar-mandir keliling lokasi demo, bahkan sambil berlari. Baru tiga putaran, saya tidak kuat lagi lari.
[5] Yang sangat disayangkan, ketika aksi tanggal 2 Mei itu, beredar selebaran di kampus FK, Fakultas Keperawatan dan FKG. Isinya, Senat Mahasiswa di tiga fakultas Salemba tidak mengakui aksi itu sebagai aksi mahasiswa UI, karena bukan diadakan oleh SMUI. Sebagai perbandingan, beberapa minggu sebelumnya, dalam sebuah aksi yang digagas oleh SMUI di halaman Balairung, kawan-kawan KBUI ikut membantu menggerakkan massa. Saya ingat, karena di FEUI saya dan teman-teman ikut melakukan conditioning sebelumnya.
No comments:
Post a Comment