Saya masih harus menunggu beberapa saat sebelum bisa membentuk basis di FEUI. Sebabnya, saat itu kampus masih libur. Beberapa teman yang bisa saya andalkan untuk memulai sebuah basis gerakan masih ada di kampung halaman. Ketua SM-FEUI Revindo, Ketua dan Sekum BO Economica Rizal dan Agus Munawar, juga kawan seangkatan yang saya tahu sudah punya jaringan dengan para aktifis UI, Padang Wicaksono, dan banyak lainnya.
Selama liburan itu saya sempat menemui Sekum SM-FEUI Daniel dan Mustaqim dari BPM FEUI. Kepada mereka saya menjelaskan kenapa anak-anak FEUI juga harus ikut dalam aksi. Sekaligus, saya juga ‘sowan’ pada mereka yang memang punya posisi di lembaga mahasiswa formal dan dipilih secara demokratis. Tapi waktu itu memang praktis tidak banyak yang bisa dilakukan. Dan saya juga paham bahwa mereka tidak bisa mengambil keputusan atas nama lembaga formal.
Di hari-hari pertama kuliah, segera menghubungi teman-teman yang sudah kembali ke kampus. Sebagai angkatan old crack dan tidak punya jabatan formal apapun, modal saya saat itu cuma satu: hubungan pertemanan. Dan saya pun tidak punya latar belakang aktifisme, terutama dalam hal mengumpulkan massa. Karena itu saya memulai dari beberapa kawan lingkaran terdekat saya. Dalam sebuah pertemuan kecil di selasar gedung A, saya kembali menjelaskan pemahaman saya tentang situasi ekonomi dan politik saat itu, bahwa kita sedang ada di ambang sebuah perubahan besar, dan penting bagi mahasiswa untuk berperan dalam perubahan.[1]
Sambutan teman-teman sangat positif. Dalam waktu relatif singkat, masih di minggu-minggu awal semester, kami berhasil membuat conditioning lewat penempelan poster ‘agitasi’ dan beberapa orasi di Gedung A. Tanpa terlalu banyak koordinasi, secara natural teman-teman saat itu berinisiatif, mulai dari menempel poster, meminjam sound system ke Birpen, mengajak mahasiswa lain datang orasi, menghubungi pembicara dan lainnya.
Dalam waktu tidak terlalu lama, masih di bulan Februari, kelihatannya kondisi di FEUI sudah cukup potensial sebagai massa. Artinya, ada cukup animo dari teman-teman mahasiswa FEUI untuk ikut terlibat. Yang diperlukan adalah beberapa orang yang mau menggerakkan. Itu semua makin mudah ketika kawan-kawan yang ada di ‘pengasingan’ (maksudnya kampung) sudah kembali ke Jakarta.
Di saat yang sama, KBUI juga tengah membenahi organisasi internal. Disepakati sebuah struktur yang terdiri dari Presidium, sekretariat dan koordinator-koordinator fakultas. Di tiap fakultas kemudian dibuat semacam organisasi sendiri. Padang Wicaksono, dan belakangan Dendi Ramdani, dipercaya untuk mewakili FEUI di Presidium (bersama Revi sebagai Ketua Senat). Tris Setiadi menawarkan diri untuk aktif di sekretariat – meski saat itu saya melihat motivasi dia lebih untuk bisa lebih sering mondar-mandir ke Sastra dan FISIP. Entah siapa yang dituju di sana. Agus Munawar alias Gus Mun mendampingi saya sebagai Wakil Korfak. Kiki, Andy, Barlev, Pramono, Ari FX, Paksi, kebagian tugas menggarap massa FEUI. Indra Mustang, Abin, Johnson, Iggi, Chauft, Yogi, Asmo, Deni, Ria Astri juga banyak membantu.
Rizal dan Juli, selain terlibat dalam aksi-aksi, juga harus menggawangi organisasi BO Economica (terutama setelah sang Sekum menjadi Wakil Korfak). BO Economica memang secara formal tidak punya kaitan dengan KBUI. Tapi dalam praktek, hampir semua aktifis KBUI asal FEUI adalah anggota BO Economica. Sebaliknya, hampir semua anggota BO Economica yang aktif - Dewa, Lucky, Detta, Renata, Pardiyono, Fathur, Fadlul, Rahmad, Budi, Made, Adam, Joko, Kiplik, punya andil besar dalam aksi-aksi KBUI. Sejumlah rapat awal dilakukan di BO Economica. Sampai kemudian disepakati, untuk menghindarkan asosiasi berlebihan antara BO Economica dengan gerakan, rapat-rapat sebaiknya pindah ke tempat lain.
Ke mana? Ke sebelah ruang BO Economica…
Rapat-rapat KBUI-FEUI terjadi di bawah adrenalin yang meningkat. Kami selalu was-was kalau intel ada di dekat kita, menguping dan mencatat apa yang kami katakan di kantin atau lorong kampus. Mungkin sih sebenarnya intel tidak memandang signifikan FEUI. Toh sudah ada Posko KBUI di depan FISIP. Tapi waktu itu rasanya seru aja membayangkan bahwa kita tengah dikuntit intel. Andy dan Kiki sampai mengusulkan untuk memiliki bahasa sandi di antara kami. Misalnya, “ada nyamuk” untuk “ada intel,” dan beberapa sandi lain untuk ‘aksi,’ ‘rapat,’ dan sebagainya. Masalahnya, setelah beberapa lama, kami malah kebingungan sendiri dengan bahasa sandi yang kami ciptakan. Akhirnya, pelan-pelan bahasa sandi itu nasibnya sama seperti kebudayaan Indian yang punah…
* * *
Balik ke KBUI. Kamis, 26 Februari 1998, teman-teman sepakat untuk melakukan test case: melakukan aksi. Sehari sebelumnya (25/2/98), ILUNI-UI mengadakan acara di Kampus Salemba. Puncak acara itu adalah aksi penutupan papan bertuliskan “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru” di halaman parkir FKUI.
Jangan bayangkan aksi ke jalan atau blokir jalan seperti aksi-aksi sekarang. Memutuskan untuk buat aksi di kampus sudah prestasi besar untuk ukuran 1998. Dalam test case ini, kami ingin melihat bagaimana animo teman-teman mahasiswa, seberapa solid massa, seberapa sulit menggerakkan massa dari satu titik ke titik lain, dan tentunya seberapa siap perangkat aksi dalam menggerakkan demonstrasi.
Sekitar jam 10, kami melakukan conditioning di gedung A FEUI lewat sebuah diskusi terbuka menghadirkan Faisal Basri. Menjelang jam 11, massa berkumpul di parkiran, menunggu rombongan dari Teknik, yang di-‘gembala’ oleh Eman, sang Korfak. Dari FEUI, massa bergerak ke parkiran FISIP, di mana massa dari FISIP, Sastra, Psikologi dan Hukum sudah menunggu.
Ketika perangkat aksi tengah melakukan conditioning dan mengatur massa, entah bagaimana Tris dan Fathur – dua orang yang belakangan bersaing dalam Pemilu SM-FEUI – naik ke panggung, membakar banner kertas bertuliskan ‘ORDE BARU.’ Mungkin karena adrenalin dan melihat massa jaket kuning yang antusias. Adegan ini sempat tertangkap kamera salah satu stasiun televisi, dan gambar mereka juga sempat muncul di salah satu media. Sekarang, adegan itu tidak ada apa-apanya. Tapi tahun 1997, jelas itu sempat membuat Tris dan Fatur ketakutan selama beberapa hari.
Wisnu kucing (FSUI), di aksi 26/2/98
Adrenalin dan dorongan berada di depan massa juga membuat salah satu orator hari itu, Tirta (F.Psi) kelewat semangat. Di luar skenario, Tirta bertanya pada massa, “Krisis ini karena siapa…?” Tentu saja massa spontan menjawab, “Suharto…!” Tirta makin semangat, “Ya.. SU-HAR-TOOOO…!!!” Setelah turun panggung baru Tirta sadar, wajahnya jelas terekspos kamera wartawan dan intel. Menurut kabar, Tirta betul-betul panik selama beberapa minggu.[2]
Di KBUI, kami menganggap aksi itu berhasil. Kami pun mulai memikirkan menggelar aksi-aksi berikutnya. Sementara aksi besar belum bisa diadakan, posko KBUI di depan FISIP dan tiap fakultas membuat sejumlah acara seperti diskusi, pertujukan (salah satunya, malam Valentine di FISIP, show Oppie Andaresta di tenda KBUI, diskusi atau pemutaran film).
Sementara itu, eskalasi politik makin tinggi. MPR hampir pasti akan memilih kembali Suharto sebagai presiden. Awal Maret 1998 (tanggal 9?), KBUI kembali menggelar aksi. Temanya adalah menolak SU MPR 1998. Kali ini kami mencoba ‘mengetes’ aparat dengan menggelar aksi di jalan keluar kampus UI, dekat markas Menwa. Massa juga diuji dengan membuat rute berjalan keliling kampus UI dulu (melewati station dan MIPA) sebelum ke arah gerbang. Teman sekelas saya, Padang Wicaksono, menjadi koordinator lapangan. Aksi ini juga cukup berhasil, dalam arti jumlah massa yang ikut, dan liputan media keesokan harinya.
Tanggal 11 Maret 1998, seperti diduga, Sidang Umum MPR mengesahkan Suharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya (melahirkan yel yang akan sering dipakai mahasiswa, “Tu-juh kali sam-pai maa-tiiii…”). Habibie menjadi wakil presiden. Seolah menantang berbagai aksi anti-KKN, Suharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan VII yang berisi Tutut (Mensos) dan Bob Hasan (Menperindag).
Sejak SU MPR 1998, kondisi sudah mengerucut. Tujuan aksi menjadi jelas: Suharto turun, sebagai prasyarat buat reformasi. Tidak ada dialog, tidak ada negosiasi. Suharto memang berusaha mengooptasi mahasiswa dengan mengundang sejumlah mahasiswa untuk ‘berdialog’, sekitar akhir Maret 1998. Tapi kami tidak terjebak.
Masalahnya, saat itu kami tidak punya gambaran, berapa lama ini semua akan berlangsung. Bagaimana akhir dari ini semua – Tiananmen atau Manila di era Marcos? Bagaimana kami harus memainkan strategi? Tetap moderat atau menjadi radikal?
Dan, seperti dikatakan Kiki sebelum ini, meski kami merasa begitu heroik, sesungguhnya setiap saat kami dihantui sebuah pertanyaan besar. Setiap kali kami melangkah pulang, apakah kami akan pernah sampai rumah?
Bersambung. Bagian berikutnya: konflik, demoralisasi, dan semangat baru
Catatan:
[1]. Di tengah-tengah pertemuan, kami sempat grogi karena Ika, putri Jendral Wiranto yang kuliah di FEUI angkatan ’97, kebetulan sedang ada di dekat kami. Dan semester itu saya ditugaskan menjadi asisten dosen makro ekonomi untuk kelas dia. Saya sebenarnya simpati pada Ika. Sepanjang periode aksi mahasiswa dia harus berkali-kali mendengar ayahnya dicaci-maki. Di bulan April 1998, teman-teman FEUI mengadakan diskusi menghadirkan Hermawan ‘Kikiek’ Sulistyo dan alm. Dono Warkop. Di tengah diskusi, Kikiek sempat berujar bagaimana sebagai mantan ajudan, Wiranto tak lebih hanya kacung Suharto. Ika ada dalam diskusi itu, dan beberapa kegiatan lainnya, satu hal dimana saya salut padanya.
[2]. Adrenalin juga membuat saya lupa makan. Akibatnya, sakit tukak lambung saya kambuh. Sore setelah demonstrasi, setelah kembali ke FEUI, saya muntah-muntah. Hingga malam hari, saya terkapar di ruang BO Economica. Masalahnya ketika saya sudah mulai pulih, Padang dan beberapa kawan lain mendengar isu aparat melakukan sweeping mahasiswa dari arah kampus UI. Akhirnya beberapa kawan memutuskan untuk bermalam di kampus. Manisnya, sejak saya terkapar hingga esok harinya, Juli terus menemani saya. Setidaknya ada cerita manis yang bisa kami kisahkan ke Rara suatu hari nanti…
No comments:
Post a Comment