Tuesday, April 28, 2009

Mei, Sebelas Tahun Silam (1)

Bulan Mei adalah bulan emosional buat saya. Awalnya adalah sebelas tahun lalu. Ya, bulan Mei 1998, satu titik penting dalam sejarah Indonesia terjadi: Suharto, orang terkuat selama 32 tahun, mundur. Sebelum ia menyatakan mundur, selama tiga hari lebih puluhan ribu mahasiswa ‘camping’ di gedung MPR/DPR. Aksi mahasiswa itu adalah puncak dari gelombang aksi yang dimulai sejak akhir 1997 dan awal 1998. Ada banyak peristiwa yang berujung pada mundurnya Suharto, dan satu sama lain saling terkait. Tapi tidak bias dipungkiri, gelombang aksi mahasiswa adalah satu faktor pendorong yang sangat signifikan.

Yang membuat Mei jadi emosional adalah karena saya dulu jadi bagian dari gelombang aksi itu. Saya adalah satu noktah dari kolase 1998. Saya adalah salah satu aktor pemeran pembantu dari teater nyata yang terjadi. Peran saya sendiri tidak terlalu banyak. Yah, lebih banyak dari beberapa teman lain, tapi juga lebih sedikit dari banyak teman lain. Tapi faktanya adalah dalam aksi mahasiswa 1998, tidak ada yang bisa mengklaim punya peran yang secara signifikan lebih besar dari yang lain. Tahun 1998, sejarah terjadi minus ketokohan.

Tahun 1998, ibaratnya adalah kita semua sedang melukis di kanvas raksasa. Kanvas itu dibagi menjadi sejumlah daerah, dan masing-masing bekerja di daerah terbatas. Saya yang bekerja di pojok kanan bawah akan paham mengenai keadaan di pojok itu. Tapi saya kabur tentang apa yang terjadi di pojok kiri atas, dan sebaliknya. Yang saya ingat, kami belum selesai melukis di pojok masing-masing. Tahu-tahu semua harus pindah ke tengah, mengerjakan bagian tengah.

Anyway, saya tidak sedang membuat analisis tentang gerakan mahasiswa 1998. Saya tidak sedang membuat gugatan atau pledoi tentang apapun atau siapapun. Saya juga tidak sedang membuat tulisan politik tentang apa-apa yang belum selesai, meski saya juga mengingatkan lagi soal kasus penculikan dan penembakan yang hingga saat ini belum selesai. Saya hanya ingin mengais-ngais lagi memori tentang hari-hari di tahun 1998. Karena keterlibatan saya saat itu adalah sebuah momen besar, salah satu yang terbesar, dalam hidup dan proses pendewasaan saya. Dan, yang juga penting, itu adalah momen dimana saya bertemu dengan sejumlah kawan yang, sampai sekarang, terus membantu saya melihat dunia ini dari berbagai perspektif berbeda.

* * *

Saya tidak akan menyebut diri saya aktifis mahasiswa. Selama kuliah, saya memang aktif di organisasi. Saya dan teman-teman menerbitkan majalah, membuat kajian, diskusi, buat seminar, antar proposal dan sebagainya. Tapi bukan aktifis dalam konteks gerakan sosial. Jangan bicara juga demonstrasi, ingat ini adalah periode 1993-1997, Suharto benar-benar ada di puncak kekuatan.

Datang 1997. Krisis; harga-harga naik. Guncangan sosial mulai terjadi. Ada sejumlah demonstrasi di daerah (Jakarta belum), lalu berita tentang hilangnya sejumlah aktifis, termasuk penyair Wiji Thukul. Pemerintah masih berusaha menunjukkan bahwa mereka bias menangani situasi. Lagu ‘Badai Pasti Berlalu’ – salah satu karya seni terbesar yang pernah dibuat – dibajak, dijadikan theme song oleh Mbak Tutut.

Januari 1998. Waktu itu saya sudah menyelesaikan semua kuliah, tinggal skripsi dan beberapa paper yang masih hutang. Beberapa teman seangkatan sudah lulus. Yang belum lulus sudah jarang kelihatan di kampus. Sejak akhir 1997, saya mulai merasa aneh kalau ada di kampus. Interaksi saya sehari-hari adalah dengan teman-teman dari angkatan bawah. Saya selalu merasa pandangan mereka menusuk, menghakimi, bertanya, “Kapan selesai?” (Kampret!).

Suatu ketika saat muliah masih libur, saya merenung, keadaan akan memburuk. Perubahan pasti akan terjadi. Hal yang selama kuliah saya pikir mustahil, jadi punya kemungkinan. Suharto, satu-satunya presiden yang saya kenal sejak lahir, agaknya tidak akan bertahan. Tapi itu tidak akan terjadi tanpa ada yang mendorong. Lalu saya mulai beromantika. Saya ingin jadi bagian dari sejarah, bagian dari kekuatan yang mendorong perubahan terjadi. Tapi bagaimana? Saya tidak punya kenalan teman-teman yang aktif di gerakan. Baik di UI, apalagi di luar UI. Nggak mungkin dong saya tahu-tahu menarik teman di kampus mengajak demonstrasi?

Entah kenapa, berbagai kebetulan terjadi. Satu hari ketika datang ke kampus di hari libur, akhir Januari 1998, saya ketemu dengan seorang pemuda kurus berambut gondrong bernamaEman, mahasiswa metal. Maksudnya Teknik Metalurgi FTUI, tapi memang . Saya ketemu Eman ketika janjian dengan Juli, yang sekarang jadi istri saya, di Halte UI. Juli dan Eman sebelumnya sempat saling kenal di KUKSA UI. Dari pembicaraan yang terjadi antara Halte UI dan FISIP (atau FE ya?), ternyata Eman juga sudah ikut dalam sejumlah pertemuan dengan teman-teman lain di UI untuk merintis sebuah gerakan. Saya sampaikan pada Eman kalau saya ingin bergabung. Kebetulan, kata Eman, belum ada kawan dari Ekonomi. Pertemuan berikutnya di Pusgiwa Teknik. Saya lupa tanggalnya, yang jelas masih dalam waktu liburan.

Ternyata pertemuan di Pusgiwa Teknik juga melibatkan beberapa teman dari luar UI. Saya terus terang lupa saat itu dengan siapa saja saya bertemu dan kenalan. Intinya, saat itu disepakati untuk membangun sebuah gerakan yang berujung pada aksi massa. Fokusnya adalah di tiap kampus dulu.

Februari 1998. Menindaklanjuti pertemuan di Pusgiwa Teknik, beberapa teman dari UI kembali bertemu di FISIP (kalau nggak salah). Salah satu poinnya adalah perlu untuk membangun gerakan di luar organisasi formal seperti SMUI atau Senat Fakultas. Karena kalau lewat jalur formal, lebih mudah bagi pemerintah dan otoritas kampus untuk membungkam. Inilah cikal-bakal Keluarga Besar UI. Pertemuan itu diikuti oleh sejumlah pertemuan lain. Dari berbagai pertemuan itu saya kenal dengan Sammy Gultom, Jemi Tomato, Biji, Ikravany, Rival, Ifa, Bibip, Iwang, Chris Panggabean, Wisnu Kucing, Agus Gede, Papi, Sukma, Suma Mahali, Fahri, Anas Alamudi, Vivie, Donny Jawir, Rulas Carlos, Abe, Deddy, Agus Sastra, Kokom, Achmad Sukarsono. Siapa lagi ya? Sorry kalau memorinya sudah banyak yang hilang.

Intinya, wakil dari tiap fakultas diharap membentuk basis massa di tiap fakultas. Metodenya diserahkan ke masing-masing koordinator. Oh ya, saya lalu mendapat peran sebagai Koordinator Fakultas (Korfak) Ekonomi. Sebenernya saat itu nggak jelas sih deskripsi tugasnya seperti apa. Tapi kedengerannya cool. Seperti capo regime kalau dalam organisasi mafia.

Dalam periode yang sama juga, saya harus ke kampus untuk keperluan registrasi dan mengisi Kartu Rencana Studi (KRS). Semester: IX. Mata kuliah yang diambil: Skripsi, 6 SKS, satu dan hanya satu. Tapi saya tahu, selama beberapa bulan ke depan, saya belum akan menyentuh skripsi saya itu.

(Bersambung. Bagian berikutnya: membangun ‘kekuatan’ di FEUI).

No comments:

Post a Comment