Saat saya menulis catatan ini, baru saya sadari bahwa ingatan saya tentang apa yang terjadi dalam rentang waktu setelah 15 Mei dan sebelum 19 Mei begitu samar-samar. Bahkan untuk periode 19-20 Mei, ketika saya ada di tengah ratusan ribu mahasiswa lain di Senayan, saya tidak bisa menggali hingga detil apa saja yang saya lihat dan lakukan di
16-17 Mei. Saya tidak ingat rapat apa dan di mana saja yang saya hadiri dalam periode tiga hari itu. Sesekali saya koordinasi dengan
Senin, 18 Mei. Di kampus, saya mondar-mandir antara Posko KBUI dan FEUI. Rencana ke MPR/DPR dimatangkan, tapi dalam keadaan seperti masa itu, semua hal, semua keputusan, punya 50 persen kemungkinan untuk berubah. Saya tidak terlalu banyak menangani urusan logistik dan kendaraan. Fokus saya hari itu adalah menyusun dan mengantisipasi berbagai skenario yang mungkin terjadi kalau kita jadi ke Senayan, dan memastikan dari FEUI siapa yang akan bertugas sebagai apa.
Hari itu kami juga membuat pertemuan terbuka di Gedung A FEUI, mengabarkan soal rencana menduduki Senayan, dan bersiap untuk menginap di sana “selama beberapa hari.” Saya memberikan pengantar tentang apa tujuan mahasiswa ke Senayan – untuk mendesak MPR mencabut mandat Suharto sebagai presiden. Dan sedikit orasi soal perubahan, sejarah yang akan dibuat, dan sebagainya.
Sore hari, dikabarkan sejumlah kelompok mahasiswa sudah ada yang masuk ke MPR. Ini bukan hal yang baik, pikir saya dan rekan-rekan lain. Ada yang ingin lebih dulu mengklaim isu dan ‘kepemimpinan’ gerakan mahasiswa.
Selasa, 19 Mei. Teman-teman sudah siap sedia di kampus. Saya dan perangkat aksi FEUI mengumpulkan massa FEUI di Gedung A dan melakukan conditioning. Kembali saya memberikan pengantar soal tujuan pendudukan DPR, dan apa yang akan kita lakukan di sana. Walau sesungguhnya, saya pun tidak tahu nanti apa yang akan kami kerjakan di sana. Di akhir pengantar, saya ingat saya menutup dengan seruan, “Teman-teman, mari kita selesaikan ini semua sebelum Piala Dunia…”
Setelah itu, bergantian dengan Gus Mun, kami menyampaikan beberapa skenario penyelamatan diri ‘kalau sampai terjadi apa-apa.’ Gus Mun menggambarkan lay-out kasar kompleks MPR/DPR, dan di mana saja akses keluar/masuk. Skenario terburuk yang kami sampaikan adalah ‘total chaos.’ Dalam skenario itu, tidak ada lagi koordinasi, semua fokus pada menyelamatkan diri masing-masing.
Kalau sekarang saya mengingat kembali berbagai skenario itu, memang jadi terkesan berlebihan. Tapi memang hari itu, kami semua tidak tahu situasi seperti apa yang akan kami hadapi.
Selesai conditioning, saya menunggu aba-aba dari Posko KBUI untuk berangkat. Tapi hingga tengah hari, aba-aba itu tidak pernah datang. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi ada maju-mundur soal apakah kami bisa berangkat atau tidak. Beberapa teman mengatakan, kondisi tidak aman. Tapi Ben Hiroshi yang sudah ada di Senayan dengan Honda Tiger 2000-nya bolak-balik menelepon dan mengirim pesan pager ke saya, “Nggak ada apa-apa, pada nunggu apaan sih?”
Akhirnya setelah terkatung selama beberapa jam, keputusan untuk berangkat datang juga. Lewat jam makan siang, satu per satu bis dari Depok berangkat. Saya ikut salah satu bis, mobil Toyota Corolla saya dibawa oleh Paksi. Ternyata memang sepanjang perjalanan tidak ada hambatan.
Ketika sampai, MPR/DPR terrnyata sudah penuh oleh lautan mahasiswa. Turun dari bis, massa UI berkumpul di satu titik dekat kolam air mancur dan pintu masuk gedung kubah hijau. Wisnu Kucing memimpin orasi untuk mengonsolidasikan teman-teman. Beberapa teman yang diminta mencari ‘base camp’ melaporkan bahwa mereka sudah mendapatkan tempat di gedung baru di belakang.
Saya sempat berkeliling melihat-lihat lokasi. Ternyata kompleks MPR/DPR memang besar. Saya membayangkan, kalau sampai terjadi skenario total chaos dan teman-teman harus menyelamatkan diri masing-masing, jarak dari gedung dan lapangan parkir ke gerbang atau tembok samping yang berbatasan dengan Manggala Wanabhakti maupun Taman Ria Senayan cukup jauh. Tapi saya juga cukup optimis bahwa situasi akan cukup aman buat teman-teman. Setidaknya sejauh itu.
Ada satu atau dua pertemuan koordinasi dengan perangkat aksi KBUI. Saat itu praktis semua kendali perangkat aksi fakultas seperti keamanan, logistik, langsung ditangani koordinator sekretariat. Kiki, Andy, Paksi, dan juga akhirnya Gus Mun yang menangani keamanan, jadinya, langsung berkoordinasi dengan Fahri. Ada beberapa yang, untuk alasan jaga-jaga, koordinasinya tetap di tingkat fakultas. Misalnya kesehatan dan sebagian logistik. Tapi selebihnya, saya lebih menjadi ‘gembala’ teman-teman FEUI. Itu pun pada prakteknya tidak banyak juga yang perlu saya kerjakan. Pasokan logistik selama malam itu, dan keesokan harinya, juga tidak ada masalah.
Mikrofon dan panggung utama dipegang oleh teman-teman dari kesatuan aksi lain. Saya lupa apakah hanya FORKOT atau yang lainnya juga. Artinya, praktis kami dari KBUI – tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya – tidak terlalu punya andil dalam menentukan agenda. [1]
* * *
Sore itu beredar kabar bahwa Amien Rais merencanakan apel besar di Monas. Salah satu skenarionya adalah mahasiswa akan bergabung, jalan dari Senayan ke Monas. Saat itu status rencana itu masih samar-samar. Jadi belum ada kejelasan apakah mahasiswa di DPR akan menerima ajakan itu. Teman-teman presidium juga belum bisa memastikan apakah KBUI akan bergabung.
Malam hari, saya memutuskan untuk tidur, tidak begadang. Sebenarnya, saya tidak pernah mempertimbangkan untuk begadang. Jadi pilihan untuk tidur memang sudah saya tetapkan. Beberapa saat di antara terjaga dan tertidur, saya mendengar keributan. Samar-samar saya mendengar ada yang teriak, “Tentara… Tentara…!!” Sempat terjadi kepanikan sejenak di dalam gedung belakang. Saya ke luar untuk memastikan apa yang terjadi. Tidak berapa lama, beberapa teman dari arah parkiran datang untuk menenangkan situasi dan mengatakan bahwa tidak ada apa-apa. Kepanikan terjadi karena di Jalan Gatot Subroto sejumlah truk tentara lewat. Tapi tujuannya bukan untuk masuk ke MPR/DPR, apalagi menghalau mahasiswa.
Pagi hari tanggal 20 Mei. Kabar penting pertama yang datang adalah Amien Rais menyatakan apel besar di Monas dibatalkan. Versi yang saya dengar adalah petinggi militer, agaknya yang dimaksud Pangab Jendral Wiranto, tidak menjamin keselamatan massa dan mahasiswa jika apel itu tetap diadakan. Yang saya juga dengar, negosiasi yang terjadi adalah selama hanya di dalam MPR/DPR, mahasiswa tidak akan ‘diapa-apakan.’ Karena besarnya risiko yang dihadapi, Amien Rais akhirnya membatalkan rencana apel besar. Belakangan, dari berita dan foto-foto dokumentasi, saya baru menyadari betapa mencekamnya situasi Jakarta hari itu. Saya juga mendengar belakangan soal konflik di dalam tubuh militer yang menyebabkan ada dua kubu, Wiranto dan Prabowo. Di dalam memang saya samar-samar mendengar rumor ini. Tapi secara umum, di dalam MPR/DPR situasi relatif tenang dan cair.
Secara regular saya berusaha memastikan pada teman-teman presidium maupun perangkat aksi KBUI lain, apakah ada agenda khusus yang akan kami lakukan. Kesimpulannya adalah KBUI tidak punya agenda khusus, dan teman-teman UI dipersilahkan membaur dengan massa yang lain. Akhirnya, sepanjang hari itu praktis sebagai korfak tidak banyak yang saya lakukan. Selain tentunya memantau keadaan dan menjaga koordinasi dengan yang lain. Selebihnya, saya lebih banyak menjadi massa seperti yang lain.
Saya sebenarnya mulai merasa disorientasi dan jenuh. Satu sisi, saya senang karena pada akhirnya semua berjalan aman. Tidak ada yang perlu dikuatirkan soal keselamatan teman-teman. Dan teman-teman juga terlihat menikmati jadi bagian dari momen besar ini. Tapi di sisi lain, saya selalu bertanya-tanya, “Lalu apa?”
Siang menjelang sore, di gedung belakang tempat berkumpulnya teman-teman UI, beberapa anggota MPR, yang saya ingat alm. Ekki Sjachrudin (F-KP) datang menemui mahasiswa. Ekki sempat berorasi sebentar. Teman-teman menuntut MPR segera melengserkan Suharto. Ekki menjawab dengan diplomatis, bahwa mereka mendengar tuntutan mahasiswa. Sekaligus meminta mahasiswa untuk terus berjuang, tapi pertahankan energi. Artinya, sebenarnya mereka tidak bisa menjanjikan apa-apa. Satu hal yang sebenarnya sudah bisa kami tebak.
Meski demikian, saya cukup respek dengan almarhum untuk datang menemui mahasiswa. Dan kemampuannya untuk mengendalikan situasi – dalam tekanan sebagai anggota MPR di depan massa mahasiswa – juga harus saya akui bagus. Ketika teman-teman merspon orasinya dengan bernyanyi “Tujuh kali sampai mati…” Ekki menyahut, “Jangan… Sebelum dia mati dia harus turun dulu…!” Yang disambut tepuk tangan.
Sore menjelang malam. Dalam sebuah pertemuan koordinasi KBUI, disepakati kalau kami (KBUI) akan keluar dari Senayan. Ada beberapa versi alasan yang saya bisa ingat. Pertama, mengantisipasi rumor bahwa militer akan memaksa mahasiswa keluar dari DPR ‘dengan segala cara.’ Kedua, agenda pendudukan DPR makin tidak jelas ke mana arahnya, dan ada resistensi dari teman-teman kesatuan aksi lain untuk memberikan peran lebih banyak kepada UI.
Secara pribadi, saya tidak keberatan atas rencana ini. Mayoritas adrenalin saya agaknya sudah habis saat itu – yang tinggal adalah kelelahan fisik dan emosi. Saya mengomunikasikan ini kepada teman-teman, terutama dari FEUI. Beberapa teman, yang saya ingat Pardiyono ’95, bertanya, “Kenapa kita harus pulang? Kita harusnya ada di sana dengan mahasiswa yang lain…” Saya coba jelaskan beberapa alasan yang tadi diajukan dalam rapat koordinasi. Yono membalikkan argumen itu. “Justru kita, mahasiswa UI, harus ada di sini supaya teman-teman kembali ke agenda awal.”
Saya terharu. Kalau apa yang dikatakan Yono mewakili teman-teman yang lain, artinya justru teman-teman lain yang bukan perangkat aksi punya semangat dan militansi lebih besar dari saya yang sudah keleleahan. Tapi bagaimana saya menjelaskan, bahwa meski skenario itu terdengar ideal, sudah tidak mungkin lagi untuk KBUI mengendalikan agenda di DPR.
Ketika perdebatan ini belum selesai, tiba-tiba beberapa orang berlari dari arah parkiran dengan panik. Dengan mimik tegang, Fahri berseru, “Wah, ini bakal jadi Tiananmen ini… Segera evakuasi teman-teman….”
Tidak jelas buat saya apa yang terjadi. Tapi setidaknya itu membuat negosiasi dengan teman-teman untuk pulang ke Depok menjadi lancar. Dalam proses masuk ke bis, saya sempat mencari tahu apa yang terjadi. Fahri tidak bisa fokus menjawab pertanyaan saya, sementara penjelasan dari beberapa teman lain juga tidak membuat saya paham.
Setelah beberapa lama saya baru mendapat gambaran. Ada pergerakan yang membuka ruang di tengah-tengah lautan mahasiswa di halaman MPR/DPR, sehingga barisan terbagi dua dengan ruang kosong cukup lebar di antaranya. Setting ini yang dulu terjadi di Tiananmen sebelum tentara mulai menyerang mahasiswa. Ini rupanya yang membuat Fahri dan kawan-kawan panik.
Ternyata, memang betul ada pergerakan seperti itu, tapi bukan seperti yang dikuatirkan. (Tentara sendiri baru masuk dan mengevakuasi mahasiwa dari DPR keesokan hari, 21 Mei malam, setelah Suharto mundur).
Akhirnya, 20 Mei malam hari sekitar jam 8, selain beberapa teman yang tinggal, mayoritas massa KBUI keluar DPR/MPR menuju kampus Depok. Saya ikut ke kampus, memastikan semua yang ikut ke Depok sudah bubar, baru bersiap meninggalkan kamus. Lalu sempat ada isu bahwa aparat akan melakukan sweeping atas mahasiswa yang masih ada. Saat itu, isu sweeping adalah teror. Meski kalau diceritakan saat ini jadi terdengar berlebihan, saat itu kita tidak mau berjudi dengan nasib setiap mendengar kata ‘sweeping.’ Saya bergegas menghidupkan mobil dan keluar kampus. Setelah mengantar Juli pulang ke Depok, saya kembali ke Bintaro.
* * *
Kamis, 21 Mei. Sekitar jam 9 pagi, adik saya membangunkan, menyuruh saya menyalakan televisi. “Suharto mau turun,” katanya, memeruskan pesan dari ayah saya.
Tak lama memang Suharto tampil di layar, menyampaikan pidato pengunduran dirinya yang terkenal itu. Semua seolah berakhir antiklimaks. Setelah sekian bulan berjuang menuntut Suharto mundur, saya menyaksikan peristiwa ini dengan tanpa emosi, di kamar tidur saya di rumah.
Saya tidak tahu apakah waktu itu saya melihatnya tanpa emosi, atau justru berbagai emosi bercampur. Saya lega, karena akhirnya semua ini terjadi. Hal yang sampai malam sebelumnya saya masih pikir mustahil, ternyata bisa terjadi. Dia mundur. Di sisi lain, itu juga problemnya: Suharto memutuskan mundur. Dia bukan diturunkan. Itu adalah keputusannya, seperti redaksi pidatonya. Bahkan di saat-saat terakhir, dia tetap ingin dirinyalah yang membuat keputusan. Damn you, old man…!
Dan ini juga bukan skenario yang saya bayangkan. Suharto mundur, Habibie menggantikan. Tapi bukankah Habibie adalah bagian dari rezim Orde Baru? Yang dengan bangga mengatakan “Suharto adalah guru politik saya.”
Inilah klimaks, atau antiklimaks dari gerakan mahasiswa 1998, setidak dari perspektif saya. Gerakan mahasiswa memang memaksa Suharto mundur, tapi tidak berhasil menumbangkan rezim.
* * *
Siang itu saya kembali ke DPR. Bukan sebagai korfak, bukan sebagai perangkat aksi. Betul-betul sebagai pengunjung. Di sana saya bertemu dengan Gus Mun, Pramono, Kiki, Paksi, siapa lagi ya? Di sana kami betul-betul menikmati hadir sebagai massa biasa. Paginya di telepon, kata Gus Mun, “Gue mau berenang di kolam…” Entah kenapa dia tidak jadi melakukannya siang itu.
Seorang reporter televisi asing mendekati untuk mewawancarai kami. Dalam kondisi ‘normal’ teman-teman akan menyerahkan semua pada saya. Hari itu saya tidak berminat. Saya pura-pura menelepon, dan si reporter akhirnya menemukan narasumber lain: Pramono.
Sore hari saya kembali ke rumah, melewati sisa hari pertama setelah untuk pertama kalinya saya mengalami pergantian presiden. Malamnya, saya dengar militer meminta mahasiswa meninggalkan gedung MPR/DPR. Versi yang saya dengar, yang meminta adalah pasukan Wiranto, untuk mengantisipasi pasukan Prabowo masuk dan mengusir mahasiswa dengan paksa. Sejumlah mahasiswa mencoba bertahan, tidak mau keluar.
Esok harinya, seusai sholat Jumat, dua kelompok mahasiswa terlibat bentrok di MPR/DPR. Satu kubu adalah pendukung Habibie, berhadapan dengan penentang Habibie. Tidak perlu menunggu terlalu lama untuk konflik pertama di ‘era reformasi’ pecah.
Saya pun tidak mau kalah dengan Suharto. Saya memutusken mundur sebagai korfak. Kembali melanjutkan hal-hal yang tertinggal selama lima bulan terakhir.
Bersambung. Berikutnya: epilog
Catatan:
[1] Ini sebenarnya hanya menegaskan lagi peta pergerakan mahasiswa saat itu. Ada sejumlah kesatuan aksi, yang karena satu dan lain hal sulit untuk ‘melebur.’ Ada friksi dan sekat-sekat yang masih ada, dan terus ada hingga setelah itu. Di antara teman-teman non-UI, ada semacam resistensi untuk membiarkan UI menjadi pemimpin. Ini memang warisan sejarah. Angkatan ’66 jadi identik dengan UI. Dan, apa boleh buat, banyak tokoh Orde Baru adalah mantan aktifis mahasiswa dari UI.
Di sisi lain, kalau saya melihat ulang apa yang terjadi saat itu, harus saya akui bahwa memang saya dan teman-teman di KBUI ‘kalah set.’ Bahwa kami butuh beberapa jam sebelum akhirnya berangkat dari Depok ke Senayan dan panggung di sana – dan agenda acara – sudah dikuasai oleh kesatuan aksi lain, menjelaskan bahwa teman-teman KBUI memang kalah taktis. Dan equilibrium sejarah mengatakan, komando, panggung dan mikrofon di MPR/DPR bukan di tangan KBUI.
Tapi tentu penilaian bukan hanya soal apakah KBUI yang memegang komando atau bukan. Bahwa saat itu kami bisa ada di MPR/DPR, dalam 48 jam akan menjadi bagian dari sejarah besar Republik Indonesia, tetap menjadi sebuah hal yang besar dan penting.
No comments:
Post a Comment