Part 1 – The Memory Remains
Apa yang tersisa dari konser
Metallica, 25 Agustus 2013 lalu? Leher dan punggung yang pegal, suara yang
serak, telinga yang pekak, itu pasti. Tapi itu semua adalah harga yang pantas
untuk mendapatkan apa yang dicari: sebuah nostalgia.
Nostalgia, selain musik, memang
menjadi hadiah dari Metallica kepada penonton. Meski masih terus menghasilkan
lagu-lagu baru, 90 persen musik yang mereka mainkan di pertunjukan live berasal dari lima album pertama.
Ini adalah strategi bisnis. Album baru bertujuan untuk tetap membuat mereka
eksis di dunia musik dan merangkul basis penggemar baru, yang hidup di era
musik digital serta YouTube. Sementara pertunjukan live – cara band-band era sekarang tetap memiliki pendapatan yang
signifikan – untuk menjaga basis penggemar setia.
Semangat nostalgia langsung
diberikan sejak lagu pertama. Tanpa basa-basi, mereka membuka konser dengan Hit the Lights. Ini adalah lagu pertama
dari album pertama mereka, Kill ‘Em All.
Di album pertama ini, corak music Metallica masih sangat raw – intinya adalah
cepat dan bising. Energi dan ekspresi yang keluar ketika Hetfield dkk di awal
usia 20-an.
Masih belum selesai dari kaget,
mereka langsung menggebrak dengan Master
of Puppets – lagu kebangsaan mereka, dan anthem anak metal ‘80an. Penonton
tak diberi waktu bernafas. Hetfield langung lanjut dengan intro lagu
berikutnya, Fuel dari album ReLoad. “Gimme fuel, gimme fire, gimme that which I desire!” Sejujurnya,
ini lagu dari era ‘90an dimana saya sudah tidak terlalu mengikuti musik
Metallica.
Setelah itu mereka berhenti
sejenak untuk menyapa penonton – baru setelah
tiga lagu baru mereka berhenti untuk menyapa. Tapi penonton masih belum
diberi waktu istirahat karena lagu berikutnya adalah Ride the Lightning, yang juga menjadi judul album kedua mereka. Really, flash before my eyes!
Lagu demi lagu berikut –
termasuk One, Blackened, Sad But True,
Metallica benar-benar memuaskan kerinduan fans mereka di Indonesia. Susah untuk
menemukan cela di penampilan mereka, padahal usia sudah memasuki kepala lima.
James Hetfield terlihat segar dan muda. Sangat mengagumkan, meski di awal
2000an ia sempat masuk rehab karena kecanduan alkohol. Kirk Hammet seperti
biasa berpenampilan kalem, fokus pada jari-jarinya yang menari di atas
fret-fret gitar. Lars Ulrich – ah, dia seolah tak rela hanya duduk manis di
belakang drum. Di setiap akhir lagu dia selalu bangkit dari kursi, menabuh drum
sambil berdiri.
Penampilan anggota terbaru,
Robert Trujillo, juga memukau. Ia sadar bahwa penampilan live Metallica adalah pesta reuni antara fans dengan arwah Cliff
Burton, serta semangat Jason Newsted yang tidak pernah hilang. Tapi ia tetap
bisa menikmati pesta dengan cara dan gayanya. Ya, gaya memetik bas seperti
kera, yang mengingatkan kita pada lagu Feed
the Monkey ketika ia masih di band lamanya, Infectious Groove. Gaya ini
menjadi aksi atraksi sendiri, mengimbangi gaya Hetfield dan Hammet yang fokus
pada suara dan alat musik mereka.
Pesta nyaris mencapai klimaks
ketika mereka memainkan Enter Sandman
tepat sebelum encore. Trik klasik
pura-pura turun panggung tidak pernah usang. Seek and Destroy menjadi lagu penutup pesta. Seperti lagu pembuka,
ini adalah lagu dari album pertama. Meski garang, lagu ini cukup melodius
dibanding lagu-lagu lainnya di album Kill
‘Em All. Sebuah set list yang nyaris sempurna. Sayang lagu Battery dan …And Justice For All yang dibawakan di Singapura sehari sebelumnya
tidak mereka bawakan. Tapi setelah penampilan itu, masihkah kita bisa mengeluh?
Ketika pesta usai, apa yang tersisa?
Sebuah perasaan puas, serta memory that
remains…
Part 2 – Now, Everything Else Matters
Nostalgia membawa sebagian besar
penonton ke duapuluh tahun lalu, saat Metallica pertama kali datang ke Jakarta
tahun 1993. James Hetfield sangat tahu soal ini. “Jakarta…. Can’t believe it’s been twenty years…!” katanya ketika
menyapa penonton. Dua dekade bukanlah waktu yang singkat. Itu adalah era ketika
belum ada media sosial (bahkan internet masih menjadi konsumsi sangat
terbatas), dan telepon selular. Era ketika The Simpsons, Seinfeld dan Friends
masih menjadi ikon budaya pop. Dalam dua dekade, dunia mengalami sejumlah
krisis dan resesi, sekian banyak revolusi dan pemerintahan yang tumbang (termasuk
Suharto di Indonesia).
Dua dekade adalah periode yang
saya lewati untuk meninggalkan masa remaja menjadi dewasa. Duapuluh tahun lalu
saya pamit ke orang tua saya untuk menonton konser Metallica di Lebak Bulus.
Untungnya mereka baru paham kalau konser itu rusuh ketika saya sudah kembali ke
rumah dengan selamat, jadi mereka tidak perlu panik selama saya belum pulang.
Di tahun 2013 ini saya sudah menjadi orang tua – dari metal head menjadi metal dad.
Putri saya berusia 7 tahun, sudah kelas satu SD, dan belum saatnya pergi
menonton konser sendiri. Saya tahu, suatu ketika masa itu akan datang. Entah
saya akan menjadi orang tua yang santai atau nervous.
Di tahun 1993 lalu saya hanya
perlu memikirkan diri saya sendiri ketika pergi bersama teman-teman. Nothing else matters for me. Tahun ini,
saya (dan Juli, istri saya yang memutuskan ikut nonton karena setengah dipaksa)
harus memikirkan banyak hal. Putri kami, Rara, esok harinya harus sekolah dan
ulangan. Jadi kami harus memastikan dia sudah belajar dan membereskan tas. Lalu
kami harus atur untuk menitipkan Rara ke tantenya, memastikan dia tidur tidak
terlalu malam, dan menjemputnya kembali di malam hari. Di antara itu kami harus
belanja bulanan dulu. Everything else
matter so much, it turns out…
Part 3 – Sad But True
Metallica juga membawa saya
bernostalgia lebih jauh dari dua puluh tahun lalu. Tepatnya ke periode sekitar
tahun 1988-89. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP. Itu adalah era dimana
music heavymetal (dalam arti luas)
sedang populer-populernya. Popularitas musik metal memang dibantu oleh
grup-grup hairmetal seperti Bon Jovi,
Poison, Guns N’ Roses atau Skid Row. Mereka bisa menarik basis penggemar yang
cukup luas sehingga cukup komersil untuk masuk ke MTV atau Billboard Top 10.
Tapi sebagian audiens yang kenal metal via hairmetal
(seperti saya) kemudian lebih jauh mencari musik yang lebih keras.
Itulah awal perkenalan saya
dengan Metallica. Teman sekelas saya yang mengenalkan grup ini pada saya, lewat
album pertama mereka Kill ‘em All. Seketika saya langsung suka. Masalahnya,
saat itu sulit mendapatkan kaset Metallica. Industri rekaman di Indonesia baru
berubah besar-besaran. Sebelum 1987, kaset barat yang beredar di Indonesia
adalah kaset ‘bajakan’ karena perusahaan rekaman di Indonesia tidak membayar
royalti kepada artis. Ini baru berubah ketika Bob Geldof marah-marah karena
kaset bajakan ini termasuk album Live Aid, yang tujuannya adalah mencari dana
mengatasi kelaparan di Ethiopia.
Jadi sekitar 1987-88, sempat ada
periode dimana tidak ada kaset barat sama sekali di pasar dalam negeri. Baru
setelah beberapa lama kaset barat kembali tersedia, dengan harga lebih mahal
(mahal artinya Rp5000 per kaset, saat itu setara dengan uang jajan anak SMP di
Jakarta selama 10 bulan). Itu pun bertahap, dan album Metallica bukan termasuk
yang langsung tersedia.
Jadilah saya dan teman-teman
perlu ‘gerilya’ untuk bisa mendengar lagu-lagu Metallica. Salah satu sumbernya
adalah teman yang punya kaset terbitan luar negeri (kebanyakan dari Singapura
atau Malaysia). Tahun 1988, seorang teman memberi saya album … And Justice For All terbitan luar
negeri yang baru dirilis. Teman lain meminjamkan mini-album Garage Days Re-Revisited. Lalu teman yang satu lagi ternyata punya video dokumentasi Cliff ‘Em All yang memuat footage Metallica saat masih bersama
almarhum Cliff Burton. Setelah beberapa lama, akhirnya album kedua dan ketiga, Ride the Lightning dan Master of Puppets yang legedaris
tersedia di toko kaset.
Di saat yang sama saya mulai belajar
gitar. Seperti banyak orang lain, saya pun bermimpi bisa punya band, memainkan
lagu-lagu Metallica (dan Bon Jovi dan lainnya). Sambil mendengar kaset
Metallica, saya selalu membayangkan diri sebagai Kirk Hammet, memainkan solo
gitar di atas panggung. Setiap pulang sekolah saya mengambil gitar akustik,
coba memainkan riff dari Seek and Destroy, belajar solo Master of Puppets bagian pertama, atau mencari nada-nada intro One. Ketika punya kesempatan ketemu drum set saya juga coba memainkan
ketukan …And Justice for All.
Setelah berkali-kali mencoba, saya
tidak pernah bisa lebih jauh dari dua bar. Saya pun menemukan, di usia yang
muda, bahwa saya tidak akan pernah bisa jadi pemain gitar, pemain drum (dan
dari usia enam tahun saya sudah tahu saya tidak akan pernah bisa jadi
penyanyi). Intinya, cita-cita untuk jadi anak band hanya berhenti di tataran
ide dan mimpi. Itulah kontribusi Metallica bagi saya: menyadarkan apa yang
tidak bisa saya lakukan. Sad, but true…
Part 4 – Off to Never Never Land
Konser usai. Saya harus pulang.
Terlebih dulu menjemput putri kami yang sudah tertidur di rumah tantenya. Saya
menggendongnya, dan meletakkannya kembali ke tempat tidur. Perlahan, agar ia
tidak terbangun. Hush little baby, don’t
say a word. Never mind the noise you heard. Ayahmu baru saja kembali dari
Neverland. Bersama Metallica, kembali ke masa remajanya.
nice... :-)
ReplyDelete