Monday, August 26, 2013

Eye of the Beholder: Diary of Metal Dad

Part 1 – The Memory Remains
Apa yang tersisa dari konser Metallica, 25 Agustus 2013 lalu? Leher dan punggung yang pegal, suara yang serak, telinga yang pekak, itu pasti. Tapi itu semua adalah harga yang pantas untuk mendapatkan apa yang dicari: sebuah nostalgia.
Nostalgia, selain musik, memang menjadi hadiah dari Metallica kepada penonton. Meski masih terus menghasilkan lagu-lagu baru, 90 persen musik yang mereka mainkan di pertunjukan live berasal dari lima album pertama. Ini adalah strategi bisnis. Album baru bertujuan untuk tetap membuat mereka eksis di dunia musik dan merangkul basis penggemar baru, yang hidup di era musik digital serta YouTube. Sementara pertunjukan live – cara band-band era sekarang tetap memiliki pendapatan yang signifikan – untuk menjaga basis penggemar setia.
Semangat nostalgia langsung diberikan sejak lagu pertama. Tanpa basa-basi, mereka membuka konser dengan Hit the Lights. Ini adalah lagu pertama dari album pertama mereka, Kill ‘Em All. Di album pertama ini, corak music Metallica masih sangat raw – intinya adalah cepat dan bising. Energi dan ekspresi yang keluar ketika Hetfield dkk di awal usia 20-an.
Masih belum selesai dari kaget, mereka langsung menggebrak dengan Master of Puppets – lagu kebangsaan mereka, dan anthem anak metal ‘80an. Penonton tak diberi waktu bernafas. Hetfield langung lanjut dengan intro lagu berikutnya, Fuel dari album ReLoad. “Gimme fuel, gimme fire, gimme that which I desire!” Sejujurnya, ini lagu dari era ‘90an dimana saya sudah tidak terlalu mengikuti musik Metallica.
Setelah itu mereka berhenti sejenak untuk menyapa penonton – baru setelah  tiga lagu baru mereka berhenti untuk menyapa. Tapi penonton masih belum diberi waktu istirahat karena lagu berikutnya adalah Ride the Lightning, yang juga menjadi judul album kedua mereka. Really, flash before my eyes!
Lagu demi lagu berikut – termasuk One, Blackened, Sad But True, Metallica benar-benar memuaskan kerinduan fans mereka di Indonesia. Susah untuk menemukan cela di penampilan mereka, padahal usia sudah memasuki kepala lima. James Hetfield terlihat segar dan muda. Sangat mengagumkan, meski di awal 2000an ia sempat masuk rehab karena kecanduan alkohol. Kirk Hammet seperti biasa berpenampilan kalem, fokus pada jari-jarinya yang menari di atas fret-fret gitar. Lars Ulrich – ah, dia seolah tak rela hanya duduk manis di belakang drum. Di setiap akhir lagu dia selalu bangkit dari kursi, menabuh drum sambil berdiri.
Penampilan anggota terbaru, Robert Trujillo, juga memukau. Ia sadar bahwa penampilan live Metallica adalah pesta reuni antara fans dengan arwah Cliff Burton, serta semangat Jason Newsted yang tidak pernah hilang. Tapi ia tetap bisa menikmati pesta dengan cara dan gayanya. Ya, gaya memetik bas seperti kera, yang mengingatkan kita pada lagu Feed the Monkey ketika ia masih di band lamanya, Infectious Groove. Gaya ini menjadi aksi atraksi sendiri, mengimbangi gaya Hetfield dan Hammet yang fokus pada suara dan alat musik mereka.
Pesta nyaris mencapai klimaks ketika mereka memainkan Enter Sandman tepat sebelum encore. Trik klasik pura-pura turun panggung tidak pernah usang. Seek and Destroy menjadi lagu penutup pesta. Seperti lagu pembuka, ini adalah lagu dari album pertama. Meski garang, lagu ini cukup melodius dibanding lagu-lagu lainnya di album Kill ‘Em All. Sebuah set list yang nyaris sempurna. Sayang lagu Battery dan …And Justice For All yang dibawakan di Singapura sehari sebelumnya tidak mereka bawakan. Tapi setelah penampilan itu, masihkah kita bisa mengeluh?
Ketika pesta usai, apa yang tersisa? Sebuah perasaan puas, serta memory that remains…

Part 2 – Now, Everything Else Matters
Nostalgia membawa sebagian besar penonton ke duapuluh tahun lalu, saat Metallica pertama kali datang ke Jakarta tahun 1993. James Hetfield sangat tahu soal ini. “Jakarta…. Can’t believe it’s been twenty years…!” katanya ketika menyapa penonton. Dua dekade bukanlah waktu yang singkat. Itu adalah era ketika belum ada media sosial (bahkan internet masih menjadi konsumsi sangat terbatas), dan telepon selular. Era ketika The Simpsons, Seinfeld dan Friends masih menjadi ikon budaya pop. Dalam dua dekade, dunia mengalami sejumlah krisis dan resesi, sekian banyak revolusi dan pemerintahan yang tumbang (termasuk Suharto di Indonesia).
Dua dekade adalah periode yang saya lewati untuk meninggalkan masa remaja menjadi dewasa. Duapuluh tahun lalu saya pamit ke orang tua saya untuk menonton konser Metallica di Lebak Bulus. Untungnya mereka baru paham kalau konser itu rusuh ketika saya sudah kembali ke rumah dengan selamat, jadi mereka tidak perlu panik selama saya belum pulang. Di tahun 2013 ini saya sudah menjadi orang tua – dari metal head menjadi metal dad. Putri saya berusia 7 tahun, sudah kelas satu SD, dan belum saatnya pergi menonton konser sendiri. Saya tahu, suatu ketika masa itu akan datang. Entah saya akan menjadi orang tua yang santai atau nervous.
Di tahun 1993 lalu saya hanya perlu memikirkan diri saya sendiri ketika pergi bersama teman-teman. Nothing else matters for me. Tahun ini, saya (dan Juli, istri saya yang memutuskan ikut nonton karena setengah dipaksa) harus memikirkan banyak hal. Putri kami, Rara, esok harinya harus sekolah dan ulangan. Jadi kami harus memastikan dia sudah belajar dan membereskan tas. Lalu kami harus atur untuk menitipkan Rara ke tantenya, memastikan dia tidur tidak terlalu malam, dan menjemputnya kembali di malam hari. Di antara itu kami harus belanja bulanan dulu. Everything else matter so much, it turns out…

Part 3 – Sad But True
Metallica juga membawa saya bernostalgia lebih jauh dari dua puluh tahun lalu. Tepatnya ke periode sekitar tahun 1988-89. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP. Itu adalah era dimana music heavymetal (dalam arti luas) sedang populer-populernya. Popularitas musik metal memang dibantu oleh grup-grup hairmetal seperti Bon Jovi, Poison, Guns N’ Roses atau Skid Row. Mereka bisa menarik basis penggemar yang cukup luas sehingga cukup komersil untuk masuk ke MTV atau Billboard Top 10. Tapi sebagian audiens yang kenal metal via hairmetal (seperti saya) kemudian lebih jauh mencari musik yang lebih keras.
Itulah awal perkenalan saya dengan Metallica. Teman sekelas saya yang mengenalkan grup ini pada saya, lewat album pertama mereka Kill ‘em All. Seketika saya langsung suka. Masalahnya, saat itu sulit mendapatkan kaset Metallica. Industri rekaman di Indonesia baru berubah besar-besaran. Sebelum 1987, kaset barat yang beredar di Indonesia adalah kaset ‘bajakan’ karena perusahaan rekaman di Indonesia tidak membayar royalti kepada artis. Ini baru berubah ketika Bob Geldof marah-marah karena kaset bajakan ini termasuk album Live Aid, yang tujuannya adalah mencari dana mengatasi kelaparan di Ethiopia.
Jadi sekitar 1987-88, sempat ada periode dimana tidak ada kaset barat sama sekali di pasar dalam negeri. Baru setelah beberapa lama kaset barat kembali tersedia, dengan harga lebih mahal (mahal artinya Rp5000 per kaset, saat itu setara dengan uang jajan anak SMP di Jakarta selama 10 bulan). Itu pun bertahap, dan album Metallica bukan termasuk yang langsung tersedia.
Jadilah saya dan teman-teman perlu ‘gerilya’ untuk bisa mendengar lagu-lagu Metallica. Salah satu sumbernya adalah teman yang punya kaset terbitan luar negeri (kebanyakan dari Singapura atau Malaysia). Tahun 1988, seorang teman memberi saya album … And Justice For All terbitan luar negeri yang baru dirilis. Teman lain meminjamkan mini-album Garage Days Re-Revisited. Lalu teman yang satu lagi ternyata punya video dokumentasi Cliff ‘Em All yang memuat footage Metallica saat masih bersama almarhum Cliff Burton. Setelah beberapa lama, akhirnya album kedua dan ketiga, Ride the Lightning dan Master of Puppets yang legedaris tersedia di toko kaset.
Di saat yang sama saya mulai belajar gitar. Seperti banyak orang lain, saya pun bermimpi bisa punya band, memainkan lagu-lagu Metallica (dan Bon Jovi dan lainnya). Sambil mendengar kaset Metallica, saya selalu membayangkan diri sebagai Kirk Hammet, memainkan solo gitar di atas panggung. Setiap pulang sekolah saya mengambil gitar akustik, coba memainkan riff dari Seek and Destroy, belajar solo Master of Puppets bagian pertama, atau mencari nada-nada intro One. Ketika punya kesempatan ketemu drum set saya juga coba memainkan ketukan …And Justice for All.
Setelah berkali-kali mencoba, saya tidak pernah bisa lebih jauh dari dua bar. Saya pun menemukan, di usia yang muda, bahwa saya tidak akan pernah bisa jadi pemain gitar, pemain drum (dan dari usia enam tahun saya sudah tahu saya tidak akan pernah bisa jadi penyanyi). Intinya, cita-cita untuk jadi anak band hanya berhenti di tataran ide dan mimpi. Itulah kontribusi Metallica bagi saya: menyadarkan apa yang tidak bisa saya lakukan. Sad, but true…

Part 4 – Off to Never Never Land

Konser usai. Saya harus pulang. Terlebih dulu menjemput putri kami yang sudah tertidur di rumah tantenya. Saya menggendongnya, dan meletakkannya kembali ke tempat tidur. Perlahan, agar ia tidak terbangun. Hush little baby, don’t say a word. Never mind the noise you heard. Ayahmu baru saja kembali dari Neverland. Bersama Metallica, kembali ke masa remajanya. 


1 comment: