Argumen paling sederhana untuk menujukkan biaya ekonomi dari korupsi adalah mengaitkan korupsi dengan sumber daya yang terbuang. Kondisi ini bisa digambarkan melalui kurva ‘batas kemungkinan produksi’ (production possibility frontier) berikut.
Titik D adalah kondisi dimana kegiatan ekonomi tidak berada dalam kapasitas maksimal, atau semua sumber daya yang dimiliki tidak selurunnya terpakai.
Meski secara umum benar, pendekatan ini terlalu simplistik dan mengandung sejumlah kelemahan. Dalam sejumlah kasus, korupsi adalah murni transfer dari satu pihak ke lainnya dalam sebuah ekonomi. Korupsi menciptakan kerugian bagi satu pihak (negara, perusahaan). Tapi sumber daya yang ada tidak hilang, akan kembali lagi ke dalam ekonomi. Koruptor akan menggunakan hasil korupsinya untuk konsumsi atau investasi pribadi. Bagi ekonomi secara keseluruhan, tidak jadi masalah siapa yang membelanjakan sumber daya itu.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, korupsi mungkin justru membuat kegiatan ekonomi berjalan lebih efisien.
Korupsi dan efisiensi
Argumen bahwa korupsi bisa saja menghasilkan kondisi yang efisien sudah dilontarkan sejak 1960an. Secara terpisah, Nathaniel Leff[1] dan Samuel Huntington[2] pernah menulis bahwa korupsi justru bisa membuat aktifitas ekonomi berjalan lebih lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat. Menurut argumen ini, jika aktifitas bisnis bisa diibaratkan sebagai roda bagi perekonomian, maka korupsi bahkan bisa menjadi ‘minyak pelumas’ bagi roda itu.[3] Di banyak negara berkembang, dan juga negara maju, prosedur birokrasi untuk memperoleh perijian bisa memakan waktu lama. Terutama bila struktur insentif yang ada tidak menyediakan motivasi yang cukup bagi pegawai publik untuk bekerja lebih keras dan efektif untuk mempercepat proses. Artinya, korupsi justru menjadi sebuah mekanisme yang membuat pasar berfungsi.
Penjelasan kedua adalah implikasi dari analisis Andrei Schleifer dan Robert Vishny.[4] Menurut Schleifer dan Vishny, Banyak layanan atau barang publik masih dimonopoli oleh pemerintah. Karena memiliki kekuatan monopoli, pemerintah bisa (sering) menetapkan harga atau tarif di atas biaya marginal. Tapi adakalanya kita bisa mendapatkan barang atau layanan publik itu di bawah harga resmi, jika ada aparat pemerintah yang menjualnya di pasar gelap (tentu secara ilegal). Si oknum aparat tentunya mengambil seluruh pembayaran untuk dirinya sendiri. Negara kehilangan pemasukan, tapi konsumen membayar lebih murah dari harga resmi sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah realokasi keuntungan dari negara ke konsumen. Meski demikian, secara total terjadi keuntungan bersih bagi perekonomian, karena roda ekonomi tetap bergerak.[5]
Kemunginan ketiga, secara hipotetis korupsi bisa menjadi mekanisme seleksi pengusaha yang efisien. Misalkan terjadi tindakan korupsi dalam bentuk pungutan siluman yang ditarik oleh aparat birokrasi dari pengusaha. Pengusaha yang membayar ‘pajak’ akan memperoleh imbalan berupa sejumlah fasilitas atau perlakuan khusus. Misalkan ada dua jenis pengusaha: yang efisien-profitabel serta yang tidak efisien-tidak profitabel. Mana yang lebih bersedia membayar ‘pajak’ ini? Kita akan berpikir bahwa yang pengusaha yang tidak efisien akan bersedia membayar pungutan, dengan harapan fasilitas yang mereka terima bisa meningkatkan keuntungannya. Masalahnya, kalaupun mau belum tentu pengusaha yang tidak efisien ini mampu membayar. Sebaliknya, karena profitabel, pengusaha yang efisien lebih mampu membayar pungutan. Mereka juga bersedia untuk membayar dengan pertimbangan mereka akan lebih diuntungkan dibandingkan para pesaingnya. Dalam kasus ini korupsi justru menjadi mekanisme seleksi untuk memisahkan pengusaha yang efisien dari yang tidak. Dengan kata lain, korupsi adalah ‘kaki gaib’ (invisible foot) yang mendendang mereka yang tidak efisien dari pasar.[6]
Kedua, argumen di atas tidak mengindahkan kemungkinan (kenyataan) bahwa korupsi adalah endogen. Berbagai distorsi dan kegagalan institusi yang mendorong terjadinya transaksi bawah tangan mungkin memang sengaja diciptakan untuk membuka ruang terjadinya korupsi. Dan upaya untuk memperbaikinya akan mengalami perlawanan dari pihak-pihak yang selama ini menikmati rente ekonomi. Dengan kata lain, korupsi selalu berusaha menemukan cara untuk bertahan hidup.
Ketiga, biaya dan inefisiensi yang dihasilkan oleh korupsi bukan hanya yang bersifat langsung (uang atau sumber daya yang hilang).
Korupsi dan misalokasi sumber daya
Sebelum ini kita membahas argumen tentang korupsi sebagai sumber daya yang hilang. Kita juga membahas bahwa argumen itu tidak cukup kuat karena korupsi pada dasarnya adalah transfer sumber daya dari satu pelaku ekonomi ke lainnya. Lalu bagaimana merekonsiliasi kelemahan argumen ini dengan kenyataan bahwa korupsi memang biaya bagi perekonomian? Caranya adalah dengan melihat korupsi sebagai proses misalokasi sumber daya. Artinya, korupsi menyebabkan sumber daya berpindah dari kegiatan yang produktif dan memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan yang sebaliknya (tidak produktif atau menciptakan biaya sosial).
Schleifer dan Vishny[8] menunjukkan bagaimana korupsi di negara berkembang membuat alokasi dana pembangunan berpindah dari kegiatan yang punya manfaat sosial besar. Mereka mencontohkan sebuah kasus tentang industri pembuatan botol milik pemerintah di
Tapi sang manajer pabrik botol menginginkan mesin lain yang lebih canggih dan modern sekaligus jauh mahal, $100.000. Mesin yang mahal ini hanya tersedia di satu penyalur di sebuah negara maju. Karena alasan ini, ada celah dalam aturan donor yang memungkinkan pembelian tidak melalui tender kompetitif. Karena tidak perlu melalui tender kompetitif, ada peluang bagi si manajer untuk memanipulasi dokumen pembayaran untuk kepentingan pribadinya. Pada akhirnya,
Contoh lain diangkat dari sebuah studi eksperimen acak tentang praktek korupsi dalam proses pembuatan Surat Ijin Mengemudi di India.[9] Temuan dari studi ini adalah korupsi –dalam hal ini praktek suap-menyuap untuk mendapatkan SIM – menyebabkan diterbitkannya SIM bagi banyak pendaftar yang tidak bisa mengemudi. Dalam contoh ini, praktek suap-menyuap tidak membuat hilangnya sumber daya.
Biaya sosial yang timbul adalah meningkatnya risiko kecelakaan lalu-lintas.
Satu kasus yang cukup memprihatinkan adalah korupsi dalam pengadaan vaksin HIV/AIDS di Kenya, yang diangkat dalam sebuah laporan Transparency International.[11] Kombinasi antara sistem pengadaan yang tidak transparan, penyalahgunaan dana serta praktek ‘biaya informal’ menyebabkan program layanan kesehatan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak berjalan maksimal. Pasien tetap harus mengeluarkan biaya yang cukup signifikan untuk mendapatkan vaksin, meski jutaan dolar bantuan asing sudah dikeluarkan, dan fakta bahwa vaksin sudah tersedia di pasar yang cukup kompetitif. Untuk sebuah negara dimana HIV/AIDS adalah satu faktor paling besar dalam rendahnya produktifitas dan keterbelakangan, korupsi membuat sesuatu yang harusnya menjadi solusi (bantuan asing) justru menjadi sumber masalah baru.
Banyak contoh lain yang bisa diberikan. Tapi intinya, argumen ‘korupsi sebagai misalokasi sumber daya’ memberikan substansi tambahan untuk argumen sebelum ini. Dengan demikian, analisis yang ditunjukkan oleh Gambar 1 di atas tetap sahih. Tapi kita bisa memberikan penjelasan atas mekanisme apa yang terjadi yang menyebabkan sebuah perekonomian berada di titik D, bukan di A atau B.
[1] Nathaniel Leff, “Economic Development through Bureaucratic Corruption,” American Behavioral Scientist, 1964, hal. 8-14.
[2] Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies.
[3] Istilah ‘minyak pelumas’ atau beneficial grease digunakan oleh Shang-Jin Wei, “Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle?” Policy Research Working Paper 2048.
[4] Schleifer dan Vishny, ibid.
[5] Perlu dicatat bahwa seperti halnya Wei, kesimpulan Schleifer dan Vishny adalah korupsi tetap merupakan biaya bagi perekonomian.
[6] Ari Perdana,“Mungkinkah Korupsi Optimal?” Kompas, 19 Oktober 2006. Sejauh ini, argumen invisible foot belum pernah teruji lewat penelitian empiris yang solid. Tapi argumen ini tetap menarik untuk diangkat sebagai salah satu hipotesis.
[7] Aidt, ibid. Juga Susan Rose-Ackerman, Corruption and government: causes, consequences and reform,
[8] Ibid, hal. 613-4.
[9] Marianne Bertrand, et. al, “Does Corruption Produce Unsafe Drivers?” NBER Working Paper 12274, Mei 2006.
[10] Seperti dirangkum oleh Arya Gaduh dalam tulisan di blognya, http://nalarekonomi.blogspot.com/2006/07/mengapa-korupsi-tidak-efisien-bagian-2.html.
[11] Liz Tayler dan Clare Dickinson. “The link between corruption and HIV/AIDS,” dalam Transparency International, Global Corruption Report 2006,
No comments:
Post a Comment