Friday, April 02, 2010

Ekonomi korupsi (2) beberapa perspektif tentang biaya ekonomi

Korupsi sebagai sumber daya yang hilang

Argumen paling sederhana untuk menujukkan biaya ekonomi dari korupsi adalah mengaitkan korupsi dengan sumber daya yang terbuang. Kondisi ini bisa digambarkan melalui kurva ‘batas kemungkinan produksi’ (production possibility frontier) berikut.

Anggap di dalam sebuah ekonomi hanya ada dua barang yang diproduksi, X dan Y. Kurva ‘batas kemungkinan produksi’ menunjukkan kombinasi produksi X dan Y yang bisa dihasilkan jika seluruh sumber daya digunakan dalam kapasitas penuh. Dalam gambar 1 di atas, situasi ini digambarkan oleh titik-titik A dan B. Perhatikan karena sumber daya terbatas, maka penduduk di negara tersebut harus memilih antara memproduksi lebih banyak X (titik B) atau Y (titik A). Jika kondisi awal adalah titik A, maka untuk memproduksi lebih banyak X, produksi Y harus dikurangi, dan sebaliknya. Sumber daya yang terbatas juga mengimplikasikan bahwa titik C tidak bisa dicapai karena berada di luar batas kemungkinan produksi (kecuali jika ekonomi negara yang bersangkutan mengalami pertumbuhan, atau sumber daya yang dimiliki tiba-tiba bertambah).

Titik D adalah kondisi dimana kegiatan ekonomi tidak berada dalam kapasitas maksimal, atau semua sumber daya yang dimiliki tidak selurunnya terpakai. Ada banyak sebab mengapa sebuah ekonomi berada di titik D, dan bukan di A atau B: keterbatasan modal, sumber daya manusia, teknologi adalah beberapa penyebab. Korupsi bisa jadi penyebab lain. Pemerintah harus membayar 2 kali lipat untuk pengadaan barang atau jasa; pelaku usaha harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan ijin usaha; konsumen mendapatkan barang atau jasa dengan kualitas lebih rendah, dan sebagainya.

Meski secara umum benar, pendekatan ini terlalu simplistik dan mengandung sejumlah kelemahan. Dalam sejumlah kasus, korupsi adalah murni transfer dari satu pihak ke lainnya dalam sebuah ekonomi. Korupsi menciptakan kerugian bagi satu pihak (negara, perusahaan). Tapi sumber daya yang ada tidak hilang, akan kembali lagi ke dalam ekonomi. Koruptor akan menggunakan hasil korupsinya untuk konsumsi atau investasi pribadi. Bagi ekonomi secara keseluruhan, tidak jadi masalah siapa yang membelanjakan sumber daya itu.

Dalam kasus yang lebih ekstrem, korupsi mungkin justru membuat kegiatan ekonomi berjalan lebih efisien. Ada baiknya kita menganalisis perspektif ‘korupsi yang efisien’ ini sebelum kita menemukan argumen yang lebih kuat untuk mengatakan bahwa korupsi itu adalah biaya.

Korupsi dan efisiensi

Argumen bahwa korupsi bisa saja menghasilkan kondisi yang efisien sudah dilontarkan sejak 1960an. Secara terpisah, Nathaniel Leff[1] dan Samuel Huntington[2] pernah menulis bahwa korupsi justru bisa membuat aktifitas ekonomi berjalan lebih lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat. Menurut argumen ini, jika aktifitas bisnis bisa diibaratkan sebagai roda bagi perekonomian, maka korupsi bahkan bisa menjadi ‘minyak pelumas’ bagi roda itu.[3] Di banyak negara berkembang, dan juga negara maju, prosedur birokrasi untuk memperoleh perijian bisa memakan waktu lama. Terutama bila struktur insentif yang ada tidak menyediakan motivasi yang cukup bagi pegawai publik untuk bekerja lebih keras dan efektif untuk mempercepat proses. Artinya, korupsi justru menjadi sebuah mekanisme yang membuat pasar berfungsi.

Penjelasan kedua adalah implikasi dari analisis Andrei Schleifer dan Robert Vishny.[4] Menurut Schleifer dan Vishny, Banyak layanan atau barang publik masih dimonopoli oleh pemerintah. Karena memiliki kekuatan monopoli, pemerintah bisa (sering) menetapkan harga atau tarif di atas biaya marginal. Tapi adakalanya kita bisa mendapatkan barang atau layanan publik itu di bawah harga resmi, jika ada aparat pemerintah yang menjualnya di pasar gelap (tentu secara ilegal). Si oknum aparat tentunya mengambil seluruh pembayaran untuk dirinya sendiri. Negara kehilangan pemasukan, tapi konsumen membayar lebih murah dari harga resmi sehingga pada akhirnya yang terjadi adalah realokasi keuntungan dari negara ke konsumen. Meski demikian, secara total terjadi keuntungan bersih bagi perekonomian, karena roda ekonomi tetap bergerak.[5]


Kemunginan ketiga, secara hipotetis korupsi bisa menjadi mekanisme seleksi pengusaha yang efisien. Misalkan terjadi tindakan korupsi dalam bentuk pungutan siluman yang ditarik oleh aparat birokrasi dari pengusaha. Pengusaha yang membayar ‘pajak’ akan memperoleh imbalan berupa sejumlah fasilitas atau perlakuan khusus. Misalkan ada dua jenis pengusaha: yang efisien-profitabel serta yang tidak efisien-tidak profitabel. Mana yang lebih bersedia membayar ‘pajak’ ini?
Kita akan berpikir bahwa yang pengusaha yang tidak efisien akan bersedia membayar pungutan, dengan harapan fasilitas yang mereka terima bisa meningkatkan keuntungannya. Masalahnya, kalaupun mau belum tentu pengusaha yang tidak efisien ini mampu membayar. Sebaliknya, karena profitabel, pengusaha yang efisien lebih mampu membayar pungutan. Mereka juga bersedia untuk membayar dengan pertimbangan mereka akan lebih diuntungkan dibandingkan para pesaingnya. Dalam kasus ini korupsi justru menjadi mekanisme seleksi untuk memisahkan pengusaha yang efisien dari yang tidak. Dengan kata lain, korupsi adalah ‘kaki gaib’ (invisible foot) yang mendendang mereka yang tidak efisien dari pasar.[6]

Ada banyak cara untuk menunjukkan kelemahan hipotesis ‘korupsi yang efisien’ ini. Pertama, argumen bahwa korupsi membuat transaksi ekonomi terjadi adalah kondisi second-best. Maksudnya, korupsi mungkin menjadi jalan keluar bagi ekonomi yang stagnan karena birokrasi yang lembam atau adanya berbagai distorsi. Tapi korupsi itu sendiri bukanlah solusi bagi kondisi ini. Dari kacamata kebijakan publik, solusi utamanya adalah menghilangkan distorsi yang ada.[7]

Kedua, argumen di atas tidak mengindahkan kemungkinan (kenyataan) bahwa korupsi adalah endogen. Berbagai distorsi dan kegagalan institusi yang mendorong terjadinya transaksi bawah tangan mungkin memang sengaja diciptakan untuk membuka ruang terjadinya korupsi. Dan upaya untuk memperbaikinya akan mengalami perlawanan dari pihak-pihak yang selama ini menikmati rente ekonomi. Dengan kata lain, korupsi selalu berusaha menemukan cara untuk bertahan hidup.

Ketiga, biaya dan inefisiensi yang dihasilkan oleh korupsi bukan hanya yang bersifat langsung (uang atau sumber daya yang hilang). Ada dampak tidak langsung yang dihasilkan, dan biaya sosialnya bisa lebih tinggi. Ini yang akan dibahas dalam bagian berikut.

Korupsi dan misalokasi sumber daya

Sebelum ini kita membahas argumen tentang korupsi sebagai sumber daya yang hilang. Kita juga membahas bahwa argumen itu tidak cukup kuat karena korupsi pada dasarnya adalah transfer sumber daya dari satu pelaku ekonomi ke lainnya. Lalu bagaimana merekonsiliasi kelemahan argumen ini dengan kenyataan bahwa korupsi memang biaya bagi perekonomian? Caranya adalah dengan melihat korupsi sebagai proses misalokasi sumber daya. Artinya, korupsi menyebabkan sumber daya berpindah dari kegiatan yang produktif dan memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan yang sebaliknya (tidak produktif atau menciptakan biaya sosial).

Schleifer dan Vishny[8] menunjukkan bagaimana korupsi di negara berkembang membuat alokasi dana pembangunan berpindah dari kegiatan yang punya manfaat sosial besar. Mereka mencontohkan sebuah kasus tentang industri pembuatan botol milik pemerintah di Mozambique. Tahun 1991, ada kebutuhan untuk membeli mesin dengan teknologi baru yang membuat proses pelabelan berjalan lebih cepat. Alternatif pertama adalah membeli mesin baru seharga $10.000, menggunakan dana dari pinjaman asing, yang bisa didapatkan hampir dari banyak negara. Tapi karena mesin ini relatif tersedia, lembaga donor menyaratkan adanya tender yang kompetitif.

Tapi sang manajer pabrik botol menginginkan mesin lain yang lebih canggih dan modern sekaligus jauh mahal, $100.000. Mesin yang mahal ini hanya tersedia di satu penyalur di sebuah negara maju. Karena alasan ini, ada celah dalam aturan donor yang memungkinkan pembelian tidak melalui tender kompetitif. Karena tidak perlu melalui tender kompetitif, ada peluang bagi si manajer untuk memanipulasi dokumen pembayaran untuk kepentingan pribadinya. Pada akhirnya, Mozambique harus membayar $100.000 plus sejumlah mark-up untuk sesuatu yang nilai sosialnya hanya $10,000. Tapi kerugian yang terjadi bukan hanya itu. Pembelian ini didanai oleh uang pinjaman; artinya ada sejumlah besar uang pinjaman yang sebenarnya bisa digunakan untuk membiayai sektor kesehatan dan pendidikan digunakan untuk membeli mesin pencetak label botol.

Contoh lain diangkat dari sebuah studi eksperimen acak tentang praktek korupsi dalam proses pembuatan Surat Ijin Mengemudi di India.[9] Temuan dari studi ini adalah korupsi –dalam hal ini praktek suap-menyuap untuk mendapatkan SIM – menyebabkan diterbitkannya SIM bagi banyak pendaftar yang tidak bisa mengemudi. Dalam contoh ini, praktek suap-menyuap tidak membuat hilangnya sumber daya. Ada pendapatan negara yang masuk ke kantong pribadi, tapi transaksi itu pun sebenarnya tidak akan terjadi dalam kondisi yang ideal.

Biaya sosial yang timbul adalah meningkatnya risiko kecelakaan lalu-lintas. Ada banyak pengemudi yang tidak layak ada di jalan, dan mereka punya lebih tinggi untuk kemungkinan menyebabkan kecelakaan. Untuk setiap kecelakaan, bayangkan produktifitas yang hilang karena waktu yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kegiatan produktif beralih ke waktu perawatan dan penyembuhan. Di sini, biaya sosial korupsi adalah ia “merusak fungsi utama pemberian SIM, yakni memastikan hanya pengemudi yang mampulah yang ada di jalan raya.”[10]

Satu kasus yang cukup memprihatinkan adalah korupsi dalam pengadaan vaksin HIV/AIDS di Kenya, yang diangkat dalam sebuah laporan Transparency International.[11] Kombinasi antara sistem pengadaan yang tidak transparan, penyalahgunaan dana serta praktek ‘biaya informal’ menyebabkan program layanan kesehatan bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) tidak berjalan maksimal. Pasien tetap harus mengeluarkan biaya yang cukup signifikan untuk mendapatkan vaksin, meski jutaan dolar bantuan asing sudah dikeluarkan, dan fakta bahwa vaksin sudah tersedia di pasar yang cukup kompetitif. Untuk sebuah negara dimana HIV/AIDS adalah satu faktor paling besar dalam rendahnya produktifitas dan keterbelakangan, korupsi membuat sesuatu yang harusnya menjadi solusi (bantuan asing) justru menjadi sumber masalah baru.

Banyak contoh lain yang bisa diberikan. Tapi intinya, argumen ‘korupsi sebagai misalokasi sumber daya’ memberikan substansi tambahan untuk argumen sebelum ini. Dengan demikian, analisis yang ditunjukkan oleh Gambar 1 di atas tetap sahih. Tapi kita bisa memberikan penjelasan atas mekanisme apa yang terjadi yang menyebabkan sebuah perekonomian berada di titik D, bukan di A atau B.


Referensi

[1] Nathaniel Leff, “Economic Development through Bureaucratic Corruption,” American Behavioral Scientist, 1964, hal. 8-14.

[2] Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies. New Haven, CT: Yale University Press, 1968.

[3] Istilah ‘minyak pelumas’ atau beneficial grease digunakan oleh Shang-Jin Wei, “Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle?” Policy Research Working Paper 2048. Washington, DC: World Bank, 1999. Dalam artikelnya, Wei menunjukkan bahwa teori minyak pelumas tidak terbukti secara empiris.

[4] Schleifer dan Vishny, ibid.

[5] Perlu dicatat bahwa seperti halnya Wei, kesimpulan Schleifer dan Vishny adalah korupsi tetap merupakan biaya bagi perekonomian.

[6] Ari Perdana,“Mungkinkah Korupsi Optimal?” Kompas, 19 Oktober 2006. Sejauh ini, argumen invisible foot belum pernah teruji lewat penelitian empiris yang solid. Tapi argumen ini tetap menarik untuk diangkat sebagai salah satu hipotesis.

[7] Aidt, ibid. Juga Susan Rose-Ackerman, Corruption and government: causes, consequences and reform, Cambridge: Cambridge University Press, 1999, serta Johann Graf Lambsdorff, The institutional economics of corruption and reform: theory, evidence, and policy, Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

[8] Ibid, hal. 613-4.

[9] Marianne Bertrand, et. al, “Does Corruption Produce Unsafe Drivers?” NBER Working Paper 12274, Mei 2006.

[10] Seperti dirangkum oleh Arya Gaduh dalam tulisan di blognya, http://nalarekonomi.blogspot.com/2006/07/mengapa-korupsi-tidak-efisien-bagian-2.html. Ada kemungkinan pelamar SIM tidak berniat mengemudi, tapi menggunakan SIM sebagai bukti identitas. Jika demikian, biaya sosial yang terjadi adalah tindakan-tindakan ilegal yang akan muncul dari penggunaan identitas palsu.

[11] Liz Tayler dan Clare Dickinson. “The link between corruption and HIV/AIDS,” dalam Transparency International, Global Corruption Report 2006, London: Pluto Press, 2006, hal. 103-15.

No comments:

Post a Comment