Saturday, June 20, 2009

Washington Consensus: sebuah ‘kecelakaan’ terminologi

Istilah ‘neoliberalisme’ sering dikaitkan, bahkan dalam banyak kasus dipakai bergantian’ dengan satu istilah lain: Konsensus Washington (The Washington Consensus). Konsensus Washington (KW) mengacu pada sepuluh kebijakan reformasi ekonomi:

  1. Disiplin anggaran, maksudnya memperkecil defisit anggaran
  2. Penyusunan prioritas belanja pemerintah
  3. Reformasi perpajakan
  4. Liberalisasi suku bunga, maksudnya menyerahkan penetapan tingak bunga sebagian atau seluruhnya pada mekanisme pasar
  5. Rejim nilai tukar yang kompetitif
  6. Liberalisasi perdagangan
  7. Liberalisasi investasi
  8. Privatisasi
  9. Deregulasi, maksudnya penghapusan sejumlah hambatan perdagangan internasional dan domestik
  10. Hak kepemilikan, terutama untuk sektor informal
Sekarang ini, KW memiliki konotasi sebagai ‘seperangkat agenda kebijakan ekonomi yang disusun oleh negara maju (AS – mengacu pada ‘Washington’) pada negara-negara berkembang, dengan maksud menguasai ekonomi negara-negara itu.’ Kebenaran dari konotasi ini bisa diperdebatkan. Tapi yang saya ingin bahas dalam catatan ini adalah bagaimana makna terminologi KW mengalami pergeseran dari makna asli ketika istilah ini masuk dalam diskursus ekonomi dan politik internasional.

* * *

Istilah KW diperkenalkan oleh John Williamson, ekonom dari The Institute of International Economics, sebuah think-tank di Washington, DC. Publikasi aslinya ada di Chapter 2 buku “Latin American Adjustment: How Much Has Happened?” (April 1990), dimana Willamson menjadi editornya.

Menurut Williamson dalam artikel itu, kesepuluh kebijakan di atas tak lain adalah ‘kesepakatan minimal’ yang terjadi di Washington tentang standar program reformasi ekonomi seperti apa yang sebaiknya diambil untuk mengatasi problem krisis hutang di Amerika Latin. Washington di sini mengacu pada para teknokrat di dalam pemerintah AS, parlemen, lembaga keuangan internasional dan think-tank. Dan perhatikan juga, artikel itu spesifik mengacu pada problem di Amerika Latin di dekade ‘80an. Jadi, sesungguhnya istilah KW adalah spesifik secara waktu dan wilayah.

Williamson menggunakan istilah ‘konsensus’ karena sebenarnya ada variasi pendapat yang cukup besar di dalam ‘Washington.’ Sebagai contoh, ia menuliskan, semua sepakat bahwa penerimaan pajak harus ditingkatkan. Tapi ada berbagai pendapat berbeda tentang bagaimana melakukan itu. Atau, dalam hal liberalisasi perdagangan, juga terdapat pandangan yang beragam tentang seberapa cepat proses liberalisasi harus dilakukan, dan instrument proteksi seperti apa yang masih boleh dipertahankan.

Dalam artikel itu sebenarnya Williamson sekaligus melontarkan sejumlah kritik pada ‘Washington.’ Kritik pertama adalah, dalam frasenya, “Washington does not always practice what it preaches” (misalnya dalam hal antikorupsi). Kedua, ia uga mengritik bagaimana sejumlah literatur klasik dalam ekonomi pembangunan seperti teori ‘big push,’ balance growh model, two-gap model dan ekonomi dua sektor serta surplus tenaga kerja dirujuk dalam formulasi kebijakan ‘Washington.’

* * *

Yang terjadi kemudian adalah istilah KW bergeser maknanya menjadi seperti yang dipahami sekarang ini (sinonim dengan neoliberal, fundamentalis pasar, anti-negara, neo-imperialisme dan sebagainya). Williamson mengakui, ia tidak menyangka bahwa terminologi yang ia perkenalkan bisa menjadi begitu populer, berpengaruh, meski dalam cara yang tidak ia inginkan. Ia sempat menuliskan komentarnya di artikel “What Should the World Bank Think about the Washington Consensus?” (1999).

Tentang pergeseran makna ini, pendapat Williamson adalah ‘ya sudah, mau bagaimana lagi?’ Maksudnya, perubahan makna atas sebuah terminologi adalah sebuah kenyataan yang bisa terjadi, dan seringkali tidak terhindarkan. Tapi karena tidak ada yang memiliki hak paten atas istilah KW, tidak ada yang bisa menentukan ke arah mana perkembangan makna itu berjalan. Menurut Williamson, yang lebih produktif adalah memikirkan ‘orientasi reformasi ekonomi pasca-Konsensus Washington.’

Pelajaran lain, tambah Williamson, adalah

all serious economists should abandon the game of attacking abstract undefined concepts that are interpreted to mean whatever the author momentarily decides they mean, and instead cite those being criticized and debate policies on the basis of their merits


dan

reject the hopeless quest to identify a consensus where there is none, and instead engage in debate on what policy changes are needed to achieve a rounded set of objectives encompassing at least the level, growth, and distribution of income, as well as preservation of a decent environment.


Dalam sebuah artikel lanjutan, “Did the Washington Consensus Fail?” (2002), Williamson membahas soal apakah KW berhasil atau gagal. Jawabannya adalah ‘tergantung definisi atau konotasi mana yang digunakan.’ Jika yang digunakan adalah konotasi dalam artikel awal, di satu sisi sejak 1990an ‘konsensus’ ini mendapat lebih banyak ‘pengikut’ (termasuk, misalnya, Lula da Silva di Brazil). Di sisi lain, kita tetap melihat adanya keragaman orientasi kebijakan yang dianut oleh ‘Washington,’ misalnya antara Bank Dunia (di era James Wolfensohn) dan IMF. Buat para pengritik neoliberalisme, fakta ini mungkin tidak penting, karena buat mereka, IMF dan Bank Dunia adalah satu entitas. Tapi dalam kenyataan, hal-hal spesifik seperti ini tetap penting dimengerti untuk memahami bahwa apa yang mereka kritik itu memiliki variasi yang cukup besar.

Dani Rodrik (2006) sempat menulis bagaimana sepuluh poin awal KW mengalami ‘perluasan,’ mencakup juga kebijakan redistribusi dan pasar kerja. Sekedar catatan, meski Rodrik mengakui adanya perubahan dalam apa yang dicakup dalam konsensus, ia tetap berpendapat bahwa kebijakan reformasi ekonomi haruslah spesifik di tiap negara.

Tapi Williamson juga mengakui, sepuluh poin awal dalam KW tidak serta-merta membawa hasil positif dalam hal pengentasan kemiskinan dan redistribusi. Dan itulah perlunya diskusi yang lebih spesifik – di luar retorika ideologis – mengenai kebijakan apa yang berhasil, apa yang tidak berhasil dan mengapa. Seperti Williamson menulis:

Of course it is important to analyze why growth and employment and poverty reduction were disappointing in countries that attempted to implement the sort of policies that I intended to cover under the term, but that takes us into a more subtle debate…

No comments:

Post a Comment