Disclaimer: serial catatan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah karya akademik yang ketat. Apa yang ditulis di sini lebih merupakan kompilasi dari beberapa bacaan, diskusi dan seminar plus kontemplasi personal yang terpisah. Rujukan utama adalah buku karya Peter Lindert (2004), “Growing Public Vol. 1” (Cambridge University Press).
Dari sekian banyak kritik terhadap paham ekonomi pasar yang dilontarkan via kritik atas neoliberalisme, ada dua hal yang saya garis bawahi: 1) ekonom pasar cenderung ahistoris karena menganggap pasar adalah kondisi natural (the natural state), 2) ekonom pasar vis-à-vis neolib beranggapan bahwa peran negara harus minimal; implikasinya di bawah paham ini peran negara sebagai pelayan dan penjaga kesejahteraan warganya menjadi dibatasi.
Saya masih berusaha mencerna apa maksud ‘ekonom pasar adalah ahistoris.’ Tapi kalau saya coba sintesiskan dua kritik di atas, pemahaman saya adalah: 1) peran negara sebagai pelayan dan penjaga kesejahteraan warga adalah sebuah kondisi given (natural/kodrati), 2) paham ekonomi pasar yang beranggapan bahwa peran negara harus dibatasi adalah bertentangan dengan kondisi (1) ini. Mungkin saya salah, tapi namanya juga usaha. Terlepas dari itu, saya setuju bahwa pemahaman atas perspektif sejarah, atau aspek-aspek historis dari, misalnya, kebijakan pemerintah, adalah hal yang penting buat ekonom.
Belakangan ini saya tengah tertarik dengan perspektif historis atas peran pemerintah di bidang kesejahteraan sosial. Yang saya maksud adalah kebijakan seperti bantuan/transfer untuk kelompok miskin, kebijakan terkait pendidikan, kesehatan, jaminan sosial/pensiun atau tunjangan pengangguran. Di beberapa negara, kebijakan sosial juga mencakup subsidi perumahan dan berbagai skema subsidi lainnya.
Ketertarikan saya diawali oleh sebuah diskusi dengan mantan dosen saya di Harvard, Prof. Michael Woolcock (sekarang di Univ. of Manchester, sekedar catatan dia adalah seorang sosiolog). Ia bercerita tentang salah satu topik risetnya sekarang, yaitu sejarah institusi pendidikan umum. Saya baru paham kalau institusi pendidikan umum (sekolah) seperti yang kita kenal sekarang ini – dalam arti ‘universal education’ dan adanya proses belajar-mengajar dalam konteks ruang kelas/sekolah – adalah temuan yang relatif baru. Relatif baru, artinya hingga abad 18-19, mayoritas proses pendidikan dasar (belajar membaca, menulis), terjadi di rumah. Konsekuensinya, hanya mereka dari keluarga mampu yang punya akses. Sekolah atau universitas ada, tapi jumlahnya sangat terbatas, dengan jumlah murid atau mahasiswa yang juga terbatas. Dan inisiatifnya datang bukan dari negara; hampir semua lembaga pendidikan biasanya dimiliki oleh organisasi keagamaan (contoh anekdotal adalah universitas-universitas tertua di AS).
Lalu kapan pendidikan mulai menjadi sebuah norma umum? Kapan negara mulai berperan dalam menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan akses? Dan apa yang mendorong terlibatnya negara?
Pertanyaan pertama: kapan pendidikan mulai menjadi sebuah norma umum?Merujuk pada Lindert (2004:89-99), di Eropa dan Amerika Utara lonjakan tingkat partisipasi pendidikan dasar baru terjadi di pertengahan abad 19 (antara 1830-1850, di Prancis, Inggris, Italia dan banyak lainnya). Pengecualiannya adalah di Prussia (Jerman lama) dan Norwegian yang pada 1830 memiliki angka partisipasi SD sekitar 700 per 1000 anak usia sekolah (vs. 400 di Prancis dan kurang dari 300 di Inggris). Tapi tingkat partisipasi di Norwegia tutun setelah itu, dan baru mengalami trend meningkat di awal abad 20. Sementara di awal abad 20, AS memiliki angka partisipasi tertinggi, mengambil alih posisi Jerman (yang agaknya mengalami kemunduran di era Hitler).
Lindert tidak terlalu menjelaskan kenapa pendidikan mulai menjadi sebuah norma umum atau barang publik. Beberapa hipotesis yang terpikir oleh saya: 1) buah dari gerakan pencerahan (tapi mengapa ada rentang waktu yang cukup panjang?), 2) revolusi industri menyebabkan makin banyak kebutuhan atas SDM yang memiliki kemampuan membaca, menulis (masih perlu lebih banyak sumber dan rujukan).
Cerita menarik dari Prof. Woolcock adalah setidaknya di Inggris, ini terjadi karena ‘by product’ dari kebijakan pemerintah yang tengah antusias untuk memperbaiki catatan-catatan sipil, terutama terkait pernikahan. Warga Inggris yang menikah harus memiliki akta nikah. Karena itu ada kebutuhan bagi mereka untuk bisa membaca dan menulis (kalau tidak, maka mereka tidak bisa menikah!). Tapi peran negara secara langsung belum banyak, ini membawa kita pada pertanyaan berikutnya.
Pertanyaan kedua: kapan negara mulai berperan dalam menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan akses? Menurut Lindert lagi, pengeluaran pemerintah sebagai persen atas PDB di negara-negara Eropa dan Amerika Utara di pertengahan abad 19 sangat kecil. Angka ‘support ratio’ (pengeluaran pemerintah untuk setiap murid / GNP per orang dewasa) hanya kurang dari 2% (Jerman 1.5-2%, Prancis, AS 0.5%, Inggris bahkan hampir nol). Kenaikan angka support ratio yang signifikan di Prancis baru terjadi setelah 1850, di AS setelah 1880, dan di Inggris setelah 1870).
Ada dua hal dari temuan ini: 1) mengacu pada data historis negara-negara Eropa dan Amerika Utara, ‘peran negara’ yang signifikan dalam bidang pendidikan baru terjadi di paruh kedua abad 19, 2) saat negara mulai masuk dalam bidang ini, tingkat partisipasi pendidikan masyarakat sudah lebih dulu meningkat; bukan negara yang mendorong kenaikan partisipasi pendidikan, tapi kenaikan partisipasi pendidikan yang ‘mengundang’ negara untuk masuk dan berperan.
Pertanyaan ketiga: apa yang mendorong terlibatnya negara? Umumnya berbagai teori tentang meningkatnya peran negara di bidang kesejahteraan, termasuk pendidikan, mengaitkan fenomena ini dengan perluasan hak pilih (extended voting franchise). Di berbagai negara, awalnya yang punya hak pilih adalah ‘laki-laki dewasa yang memiliki tanah (dan dengan sendirinya bukan budak)’. Baru kemudian hak pilih diberikan pada kaum non-pemilik tanah, perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Karena kelompok marginal jadi punya hak suara, mereka punya kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan untuk memberikan keberpihakan pada mereka.
Di sisi lain, teori alternatif mengatakan bahwa perubahan ini justru didorong oleh kelompok elit lama. Memang secara teori, kelompok elit bisa punya kepentingan untuk makin banyak warga negara yang berpendidikan, atau sebaliknya. Di Amerika Latin, misalnya, kaum tuan tanah sekian lama tidak ingin tingkat pendidikan meningkat, karena ‘kelompok marginal yang tercerahkan adalah potensi besar bagi revolusi sosial.’ Tapi bisa juga sebaliknya. Kaum kapitalis perlu lebih banyak SDM terdidik untuk dalam era industrialisasi (dan pindah dari sektor pertanian di desa ke kota).
Teori ketiga adalah persaingan merebut pengaruh, karena negara berkompetisi dengan kelompok dominan lain seperti kelompok keagamaan.
Saya tidak bisa menyimpulkan teori mana yang paling menjelaskan. Mungkin saja tidak ada teori dominan. Tapi di sini, intinya adalah dalam sejarah, peran negara dalam pendidikan adalah hasil dari sebuah interaksi strategis antara berbagai kelompok kepentingan. Ini juga yang mungkin menjelaskan mengapa intensitas peran negara berbeda-beda di satu negara dan lainnya.
No comments:
Post a Comment