Wednesday, July 15, 2009

Institusi, insentif dan ekonomi (2)

Institusi apa?
Institusi adalah nomenklatur yang generik. Hukum dan aturan legal – yang dikatakan Ulil sebagai kunci untuk menegakkan aturan dalam masyarakat anonim – adalah satu bentuk spesifik. Aturan legal sendiri bisa punya banyak bentuk – konstitusi, undang-undang, statute, dekrit dan sebagainya adalah produk yang melibatkan ‘negara’ dalam membuat, menegakkan dan memberikan sanksi.

Kadang-kadang aturan legal tidak harus melibatkan negara. Kesepatakan yang melibatkan dua pihak, dituangkan dalam bentuk kontrak, untuk lingkup tertentu tidak selalu melibatkan negara, termasuk jika terjadi perselisihan. Adakalanya perselisihan memang harus melibatkan negara, tapi itu tidak selalu harus terjadi.

Produk legal dan kontrak resmi adalah contoh produk institusi formal. Tapi institusi juga bisa bersifat informal. Batasan antara institusi formal dan informal memang bisa kabur; hukum adat, misalnya, bisa kita anggap formal atau informal. Saya tidak bermaksud menawarkan batasan yang tegas antara keduanya. Poin yang ingin saya sampaikan adalah adanya variasi dari apa yang disebut institusi, dan semua bisa menjadi alternatif untuk menyelesaikan problem koordinasi dan insentif.

Untuk bisa berfungsi dengan baik, institusi informal memerlukan tiga hal (ketiganya saling mempengaruhi): 1) keterkaitan antara individu, misalnya karena hubungan keluarga, etnis, kedekatan lokasi dan sebagainya, 2) kepercayaan, dan 3) interaksi yang intensif dan berulang.

Kombinasi dari tiga elemen ini, hingga derajat tertentu, bisa memecahkan problem koordinasi, misalnya dalam kasus penjual dan pembeli di atas. Insentif untuk berbuat curang akan makin kecil jika keduanya memiliki hubungan yang cukup dekat, relatif saling percaya, dan keduanya masih akan terlibat transaksi di kemudian hari. Ini terjadi karena adanya potensi ‘hukuman sosial’ yang akan ditimpakan pada pihak yang berbuat curang (bandingkan dengan, misalnya, transaksi antara kedua orang asing).

Selain berfungsi dalam memberikan ‘hukuman potensial,’ institusi informal juga berperan dalam memberikan insentif yang lebih positif. Misalnya, dalam pembagian dan alokasi sumber daya (lihat Rao …, juga studi tentang lembaga lumbung padi di desa, atau Subak di Bali), distribusi informasi (peran jejaring sosial dalam mendapatkan pekerjaan dan migrasi – lihat, antara lain, Munshi …), manajemen risiko (konsep pernikahan patrilocal exogamy di India, lihat Rozensweig dan Stark …) hingga mitigasi konflik (misalnya, pernikahan antar keluarga dekat di masyarakat Batak).

Formal vs. informal
Hingga derajat tertentu, institusi informal memang bisa menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Sekali lagi, hingga derajat tertentu. Karena institusi informal bisa befungsi optimal dalam lingkup yang terbatas (baik dalam hal jumlah individu yang diatur maupun lingkup geografis), statis (adanya perubahan demografis atau aspek sosial-politik akan membuat institusi informal yang ada tidak lagi efektif), dan untuk permasalahan yang relatif tidak kompleks (menyelesaikan perselisihan antara dua tetangga relatif sederhana, tapi antara dua perusahaan multinasional jelas lebih kompleks).

Di sinilah timbul kebtuhan akan institusi formal. Ini juga yang menjelaskan mengapa kemajuan peradaban manusia juga ditandai oleh perkembangan dan inovasi dalam bentuk-bentuk institusi yang ada. Baik itu institusi sosial, politik, legal, maupun ekonomi.

Menggunakan bahasa ekonomi, institusi informal memiliki fixed cost yang kecil, tapi marginal cost yang besar. Artinya, ia mudah dibentuk, tapi ‘biaya’ yang diperlukan untuk membuatnya berjalan akan makin besar ketika tantangan yang dihadapi makin kompleks. ‘Biaya’ ini datang dari ketidakpastian dan ambiguitas solusi yang diberikan (contoh: penyelesaian perselisihan antar dua tetangga secara ‘kekeluargaan’). Sebaliknya, institusi formal memiliki fixed cost yang besar – untuk membangunnya diperlukan usaha yang besar, tapi setelah terbentuk, marginal cost-nya kecil.

Hernando de Soto pernah memberikan ilustrasi yang menarik tentang bagaimana kepercayaan (trust) dalam bentuk informal dan formal. Jika saya bertandang ke rumah kawan baik saya, saya tidak perlu menujukkan dokumen apapun supaya diijinkan masuk. Tapi beda halnya jika saya masuk ke negara lain lewat petugas imigrasi. Saya bisa cerita panjang lebar siapa saya, apa pekerjaan saya dan keluarga saya. Tapi yang mereka butuhkan hanya satu dokumen yang menunjukkan bahwa saya adalah warga negara yang legal: paspor. Di sana, semua cerita menarik tentang diri saya jadi tidak penting. Tidak sepenting sebuah dokumen yang ukurannya muat di kantong saya.

Buat beberapa orang, bahwa peradaban manusia bergeser dari interaksi yang personal-informal ke impersonal-formal mungkin merisaukan, bahkan menyedihkan. Tapi perlu diingat, perubahan ini adalah konsekuensi dari berkembangnya populasi manusia, yang membawa tantangan yang berbeda. Dan berkembangnya populasi tentu tidak terlepas dari meningkatnya kesejahteraan manusia dari waktu ke waktu. (Dalam berbagai diskusi, sebagian akan menyalahkan … neoliberalisme! Tapi, sudahlah…).

* * *

Kembali ke catatan Ulil. Ulil menyimpulkan:

Saya kira, hanya ada satu jalan saja untuk menegakkan keteratursan sosial dalam masyarakat anonim, yakni melalui hukum. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum (rule of law) adalah elemen yang sangat penting dan mendasar dalam masyarakat modern yang umumnya dicirikan oleh keanoniman dan impersonalitas. Dalam masyarakat modern, biasanya unsur ikatan tradisi dan etika sosial cenderung merosot. Pengganti yang efisien tentu adalah ikatan lain yang lebih "rasional", yakni hukum.

Yang patut kita pertimbangkan, perubahan dari model masyarakat intim ke masyarakat anonim bukanlah proses yang melulu bersifat ojektif sahaja, yakni proses yang berlangsung secara faktual dalam masyarakat. Perubahan itu juga mestinya dibarengi dengan perubahan pada level mental atau subjektivitas masyarakat.


Saya kurang lebih sepakat dengan kesimpulan ini. Berbagai literatur ekonomi juga menunjukkan, kemampuan sebuah negara dalam membangun institusi yang lebih baik (tidak terbatas pada hukum, tapi mencakup juga politik, birokrasi, ekonomi) adalah salah satu yang menjelaskan mengapa satu negara bisa punya kinerja ekonomi lebih baik dari yang lain.

Tapi, perubahan kelembagaan itu sendiri adalah sebuah proses. Dan bagaimana proses itu dilalui adalah kunci. Di beberapa kasus, institusi informal masih menjadi hambatan bagi proses perubahan kelembagaan (kasta hingga sekarang masih eksis di India, dan itu yang menjelaskan mengapa disparitas pendidikan masih besar di sana; ‘ewuh pakewuh’ yang Ulil sebut masih ada; atau masih pentingnyta senioritas dalam hal promosi jabatan di Indonesia).

Di sisi lain, perubahan kelembagaan juga tidak harus mematikan beberapa jenis institusi informal. Di banyak negara berkembang, seperti disimpulkan oleh – lagi-lagi – berbagai literatur ekonomi, institusi informal tetap memainkan peran penting ketika akses pada institusi formal, termasuk negara, masih terbatas. ***

Catatan kaki:
Melalui catatan ini saya berharap bahwa sejumlah pandangan stereotip dan simplistik yang dianut oleh banyak teman bisa sedikit-sedikit berubah. Intinya, ada heterodoksitas yang lebih luas dalam pemikiran ekonomi kontemporer – termasuk di kalangan yang disebut ‘mainstream’ – dari persepsi yang sering saya temukan. Apa yang saya diskusikan dalam catatan ini sebenarnya sudah menjadi topik bahasan yang umum dalam diskursus ekonomi. Dan ini hanya mewakili sebagian kecil dari keberagaman diskusrus yang ada.

1 comment:

  1. Saya memiliki skor kredit yang sangat rendah sehingga upaya saya untuk meminjam dari Bank ditolak. Saya merasa bangkrut sampai-sampai saya tidak mampu membeli tiga kali sehari, dan saya benar-benar bangkrut karena nama saya identik dengan kemiskinan. saya berhutang baik dari teman-teman saya dan juga dari rentenir hidup saya di bawah ancaman saya harus melarikan diri dari rumah dan saya membawa anak-anak saya untuk bertemu ibu mertua saya karena sifat ancaman yang saya terima dari mereka yang meminjamkan saya uang Jadi saya harus mencari cara cepat dan mendesak untuk membayar kembali uang itu dan juga memulai bisnis baru usaha pertama saya sangat mengerikan karena saya ditipu sebesar Rp5.390.020,00 saya harus pindah juga dua minggu kemudian saya kehilangan Rp300.500,00 kepada pemberi pinjaman yang curang jadi saya turun secara finansial dan emosional karena ini yang paling tidak saya harapkan sehingga seorang teman saya memberi tahu saya untuk menghubungi email ini: :( iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com) bahwa saya harus meminta jumlah berapa pun berharap agar Bunda Iskandar selalu menjadi kembali untuk memberikan bantuan keuangan kepada siapa pun yang membutuhkan sehingga saya meminta untuk jumlah Rp850.000.000,00 dalam waktu 24 jam cerita saya berubah untuk selamanya saya membayar semua hutang saya dan saya juga memiliki cukup uang untuk membiayai sendiri bisnis semua terima kasih kepada teman saya yang memperkenalkan saya kepada ibu khususnya dan juga kepada Ibu Iskandar pada umumnya untuk mengubah rasa malu saya menjadi terkenal
    Atas perkenan: ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY
    Email: (iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)

    ReplyDelete