Tuesday, July 14, 2009

Institusi, insentif dan ekonomi (1)

Catatan ini dimotivasi oleh dua catatan Ulil, ‘Akhlak Kita di Jalan Raya,’ serta ‘Masyarakat Intim dan Masyarakat Anonim. Dua catatan itu merupakan refleksi mendalam yang didasarkan atas dua kasus yang begitu spesifik tapi begitu sering kita jumpai: perilaku di jalan raya serta perbandingan antara bagaimana interaksi antarindividu terjadi dalam komunitas yang akrab dan cair.

Narasi dan analisis Ulil sedikit banyak ada kaitannya dengan salah satu isu dalam ekonomi, yaitu bagaimana faktor institusi atau kelembagaan berperan. Apa yang akan saya tulis di sini sebagian besar merupakan pengulangan dari apa yang sudah ditulis Ulil, hanya dari sudut pandang serta kerangka analisis yang sedikit berbeda.


* * *

Dalam membuat analisis, ekonom – setidaknya yang bisa dikategorikan sebagai ‘mainstream’ berangkat dari pemahaman tentang bagaimana mekanisme pasar bekerja. Tapi di saat yang sama, ekonom juga menyadari bahwa pasar tidak selalu eksis. Kalaupun eksis, pasar tidak selalu bekerja sempurna. Ada saja kondisi dimana salah satu asumsi pasar yang sempurna tidak terpenuhi. Apakah itu adanya eksternalitas, barang publik, skala ekonomi, informasi yang tidak sempurna atau simetris, problem koordinasi hingga ke perilaku strategis. Ini yang mendorong berbagai perkembangan kontemporer dalam teori ekonomi seperti analisis informasi dan ketidakpastian, game theory dan ekonomi kelembagaan.

Apa konsekuensi dari pasar yang tidak sempurna? Satu kemungkinan, keputusan yang diambil individu bukanlah yang optimal (yang memaksimalkan kepuasan, atau keuntungan, atau apapun ‘fungsi tujuan’ yang kita bicarakan). Dalam contoh informasi yang tidak simetris, misalnya, kita sering membayar terlalu mahal untuk mobil bekas atau komputer.

Kemungkinan lain, apa yang optimal secara individu, belum tentu optimal secara sosial (buat seluruh individu). Saya akan ilustrasikan ini dalam sebuah kondisi hipotesis, yang banyak dikenal sebagai kondisi prisonners’ dilemma.

Anggaplah ada dua pelaku di pasar: penjual dan pembeli. Masing-masing punya dua pilihan, ‘jujur’ dan ‘curang.’ (Silahkan pakai imajinasi anda untuk membayangkan apa yang jujur dan curang untuk tiap konteks). Anggap juga nilai barang atau jasa yang dipertukarkan adalah 10. Jika keduanya ‘jujur’, maka semua pihak mendapatkan keuntungan senilai 10 dari transaksi yang terjadi. Jika penjual ‘curang’ sementara pembeli ‘jujur’, penjual mendapatkan 15, sementara pembeli, katakanlah, 0. Sebaliknya, kalau pembeli ‘curang’ sementara penjual ‘jujur’, pembeli akan mendapatkan 15 dan penjual 0. Jika keduanya ‘curang’, maka keduanya akan mendapatkan nol.

Dalam kondisi ini, jika semua pihak ‘jujur’ maka ‘keuntungan sosial’ akan sama dengan 10 + 10 = 20. Jika salah satu pihak ‘curang’, ‘keuntungan sosial’ hanya 15, dan nol jika keduanya curang. Dalam kondisi ideal, semua orang seharusnya bertindak ‘jujur.’ Tapi selalu ada insentif untuk berbuat ‘curang’ – kalau orang lain ‘jujur’ maka saya akan mendapatkan keuntungan personal lebih besar (15 dibandingkan 10) kalau saya ‘curang.’ Dalam jargon akademik, ‘insentif individu tidak sama dengan insentif sosial.’ Dan kalau semua orang mengikuti insentif individu, dalam ilustrasi di atas, keuntungan sosial akan sama dengan nol.

Ilustrasi di atas tentu hanya penyederhanaan. Angka-angka yang saya tampilkan di atas saya rancang sedemikian rupa sehingga hasilnya sesuai dengan apa yang ingin saya katakana. Tentu kondisinya akan berbeda jika angka-angka itu kita ganti. Tapi bagi saya, penyederhanaan itu masih tetap realistis untuk menggambarkan kenyataan. Dan kita juga akan dapat cerita serta kesimpulan yang tidak jauh berbeda jika ‘penjual vs. pembeli’ kita ganti dengan ‘pegawai vs. majikan,’ ‘politisi vs. rakyat,’ ‘investor vs. pemerintah,’ ‘artis vs. pembajak,’ ‘pemerintah vs. IMF’ dan sebagainya.

* * *

Pertanyaannya adalah bagaimana memastikan agar kondisi yang optimal secara sosial bisa terjadi? Atau, dalam jargon lain, memastikan agar insentif individu sejalan dengan insentif sosial?

Ada dua hal: 1) bagaimana menjamin agar kedua pihak memilih ‘jujur’, dan 2) bagaimana menjamin agar kondisi ‘jujur-jujur’ bisa stabil bukan hanya untuk satu kali transaksi, tapi seterusnya?

Kembali ke prisonners’ dilemma di atas, sederhananya, solusi untuk (1) adalah ‘menghukum’ pihak yang ‘curang’ sehingga keuntungan yang akan ia hadapi tidak sebanding dengan ‘hukuman’ yang ia terima. Dan besarnya nilai ‘hukuman’ itu harus cukup besar, untuk menjamin bahwa kondisi (2) juga terpenuhi. Misalnya, besar ‘hukuman’ adalah 80. Jadi kalau penjual atau pembeli memilih ‘curang’, keuntungan bersihnya adalah 15 – 80 = –55.

Pertanyaan selanjutnya adalah: apa dan bagimana mekanisme ‘hukuman’ itu dijalankan? Di sinilah titik awal pembahasan mengenai peran institusi dalam ekonomi.

Pengertian institusi
Ada beberapa definisi institusi dalam literatur ekonomi, yang sebenarnya cukup konsisten satu sama lain. Saya kutip dua di antaranya. Yang pertama mendefinisikan institusi secara cukup luas:

The rules of the game in a society (Douglass North).


Dan yang kedua lebih spesifik:

A set of humanly devised behavioral rules that govern and shape the interactions of human beings, in part by helping them to form expectations of what other people will do. (Lin and Nugent 1995).


Ada dua hal penting dalam definisi yang kedua ini: 1) insitusi akan membentuk bagaimana interaksi antarindividu terjadi, dan 2) institusi penting terutama dalam menciptakan kepastian dan ekspektasi yang konsisten tentang apa yang akan dilakukan orang lain.

Di sini institusi diartikan lebih luas dari sekedar organisasi (lembaga). Organisasi, seperti halnya individu, adalah salah satu pelaku dalam interaksi, yang memiliki tujuan serta strategi. Fungsi institusi adalah memberikan batas-batas bagi strategi individu seperti apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan dalam mencapai tujuan.

Dalam analogi permainan sepakbola, setiap tim punya tujuan: mencetak gol dan mencegah kebobolan. Untuk mencapai tujuan itu, ada beberapa pilihan strategi (pola permainan) yang ada. Apapun strateginya, ada aturan bahwa bola tidak boleh disentuh menggunakan tangan, tackle dua kaki atau dari belakang adalah pelanggaran, dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment