Friday, February 12, 2010

Mafia Berkeley, sekali lagi (2)

Selain Harrod dan Domar, literatur lain yang cukup berpengaruh di periode itu adalah karya Walt Rostow, Stages of Growth: a Non-Communist Manifesto yang terbit di tahun 1960, menjelang Widjojo menyelesaikan studi. Rostow menulis, ada lima tahapan modernisasi, dari masyarakat tradisional, persiapan tinggal landas, periode tinggal landas, tahap menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Akumulasi investasi adalah kunci bagi sebuah negara untuk bisa pindah dari satu tahap ke tahap lainnya.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. hanya membaca Keynes, Harrod-Domar dan Rostow. Poin saya adalah pemikiran dan implementasi kebijakan ekonomi Widjojo dkk. tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Spesifiknya, seperti apa perkembangan dan dinamika ilmu ekonomi di waktu dan lingkungan saat itu.

Saya juga tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. adalah antipasar. Sebaliknya, sebagai ekonom yang taat pada pemikiran rasionalitas, buat Widjojo dkk. proses pembangunan ekonomi dan alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar atau perencanaan adalah semata-mata pilihan. Seperti Widjojo menuliskan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963), dan dimuat ulang dalam buku ‘Pengalaman Pembangunan Indonesia’ halaman 10:

Suatu masyarakat yang sedang membangun dapat mengambil keputusan tersebut secara implisit dengan menyerahkannya kepada berbagai kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang bersangkutan dapat pula mengadakan pilihan secara sadar dan berencana. Dalam hal yang akhir ini terdapatlah suatu usaha pembangunan berencana yang salah satu aktivitas pokoknya berbentuk perencanaan pembangunan. Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal: yang pertama ialah penentuhan pilihan secara sadar mengenai berbagai tujuan konkret yang hendak dicapai … dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai berbagai tujuan tersebut.


Implementasi dari perencanaan pembangunan versi Widjojo dkk. terlihat dari berbagai hal: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita – yang melewati usia sekolah di era Orde Baru tentu bisa melihat kemiripan antara tahap-tahap yang dikemukakan Rostow dan tujuan tiap Repelita serta Pembangunan Jangka Panjang), serta adanya institusi seperti Bappenas atau Bulog, serta program Keluarga Berencana (Widjojo juga seorang demografer, disertasinya tentang tren populasi Indonesia).

Di mana peran mekanisme pasar? Mengutip istilah Prof. Emil Salim, kebijakan ekonomi yang mereka jalankan bisa disebut sebagai planning through market. Artinya, sebagai perencana, pemerintah menetapkan sejumlah tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Pemerintah bisa menetapkan tujuan, dan dalam beberapa hal bisa secara aktif memastikan agar tujuan-tujuan itu bisa tercapai. Contohnya, target inflasi adalah sekian persen. Pemerintah bisa mengusahakan agar tujuan itu tercapai dengan, misalnya, mengontrol harga pangan lewat Bulog (kelompok pangan, terutama beras, adalah penyumbang utama inflasi). Tapi harga beras tetap merupakan hasil dari interaksi permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengontrol permintaan (konsumen) dan penawaran (petani, pemilik beras yang diproduksi). Pemerintah memang bisa memberikan insentif buat petani untuk meningkatkan produksi. Namun usaha pemerintah tetap tunduk pada hukum penawaran dan permintaan.

Saya sendiri melihatnya sebagai market through planning. Teori ekonomi mengajarkan bahwa alokasi sumber daya yang terjadi lewat mekanisme pasar adalah kondisi ideal. Tapi kondisi itu menyaratkan sejumlah hal, terutama bahwa pasar eksis dan bekerja sempurna. Di akhir ‘60an dan awal ‘70an, jangankan berkerja sempurna – banyak pasar bahkan tidak eksis (pasar saham dan surat berharga adalah satu contoh). Sejumlah institusi dan infrastruktur yang menjadi prasyarat bagi mekanisme pasar harus dibentuk dulu.

Ini menjadikan hubungan antara frase ‘Mafia Berkeley’ dan ‘ekonomi pasar’ adalah sesuatu yang kompleks. Kita perlu memahami sejumlah konteks – mulai dari spektrum yang ada dalam ilmu ekonomi soal pasar dan peran pemerintah, hingga kebijakan seperti apa yang dijalankan oleh tim ekonomi yang digawangi oleh Widjojo dkk, termasuk kondisi seperti apa yang melatarbelakangi kebijakan itu diambil. Satu hal, Widjojo dkk. berangkat dari tradisi ilmu ekonomi yang berbeda dengan aliran Chicago. Pemahaman ini jadi penting karena di masa sekarang, banyak yang menempatkan frase ‘neoliberalisme’ dengan ‘Milton Friedman’ dan ‘Mafia Berkeley’ dalam satu paragraf, bahkan kalimat, yang sama. Ini menunjukkan betapa seringnya jargon neoliberalisme digunakan tanpa kredibilitas. Tapi, buat saya, apa yang dilakukan Widjojo dkk. adalah meletakkan fondasi bagi mekanisme pasar untuk bisa eksis dan bekerja dalam ekonomi Indonesia.

Terlepas dari soal mekanisme pasar, ada satu hal lebih mendasar yang diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro dalam konteks kebijakan ekonomi di Indonesia: logika ekonomi. Kalimat di atas mungkin terkesan lucu. Tapi itulah kondisi yang terjadi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Persoalan ekonomi “dibiarkan terbengkalai, dianggap soal kecil ataupun bukan soal.” Sementara itu, “prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada pikiran rasional diangap tidak perlu” (hal. 47-48, aslinya merupakan uraian Widjojo sebagai moderator bidang ekonomi pada Simposium ‘Menjelajah Tracee Baru’ di UI, 6-9 Mei 1966).


Bagian III: Logika ekonomi

Dalam tulisannya yang jadi pengantar buku ‘Pengalaman Pembangunan Indonesia,
Emil Salim menulis lebih dalam soal dikesampingkannya logika ekonomi dalam pengambilan kebijakan di periode itu. Di paruh pertama dekade ‘60an, 45 persen APBN dialokasikan untuk pengeluaran militer. Ini tidak lepas dari keputusan politik untuk merebut kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Selain militer, APBN terserap untuk sejumlah proyek mercu suar. Ini semua dibiayai lewat, terutama, mencetak uang. Akibatnya, volume uang beredar jadi tidak terkendali. Teori ekonomi mengajarkan, ada hubungan positif antara uang beredar dan inflasi. Ini yang menjebabkan inflasi terbang ke angka 100 persen antara 1962-64, dan 650 persen dari Desember 1964-Desember 1965. Selain inflasi, neraca perdangangan juga mengalami defisit parah, dan cadangan devisa turun dari 326,4 juta dolar AS (1960) menjadi hanya 8,6 juta dolar AS (1965). Hutang luar negeri saat itu berjumlah 2,4 milyar dolar AS; hampir separuhnya digunakan untuk pos militer (hal ix-x). Kebijakan ini mungkin punya hal positif bagi pembagunan karakter bangsa dan semangat nasionalisme. Tapi tidak bagi kesejahteraan.

Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-71), setelah Widjojo dkk. menggawangi pos kebijakan ekonomi, stabilisasi harga adalah prioritas utama. Salah satunya adalah mendisiplinkan pengeluaran pemerintah. Hasilnya, inflasi berhasil diturunkan. Karena inflasi turun, pendapatan riil penduduk, terutama buruh/karyawan di perkotaan, naik secara signifikan. Dampaknya terhadap kesejahteraan terlihat dari turunnya jumlah penduduk miskin serta tingkat ketimpangan (lihat Anne Booth dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, April 2000).

Hubungan antara defisit anggaran, uang beredar dan inflasi adalah satu contoh sederhana dari logika ekonomi yang dilupakan oleh pemerintahan Sukarno, sekaligus salah satu instrumen awal yang digunakan Widjojo dkk. dalam membenahi warisan problem ekonomi. Contoh lain – juga diceritakan ulang oleh Emil Salim – adalah hubungan antara permintaan, penawaran dan harga. Dalam menghitung volume produksi beras, pemerintah pusat menerima laporan dari pejabat di daerah dan Biro Pusat Statistik. Tentu banyak error, bias dan inkonsistensi dari angka yang dilaporkan. Bisa karena murni kesalahan statistik, bisa juga karena kecenderungan pejabat daerah melaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

Namun hukum penawaran mengatakan, kalau penawaran sedikit, harga akan naik. Kalau laporan mengatakan jumlah produksi berlimpah tapi harga beras tidak turun, bahkan naik, tentu ada masalah dalam angka-angka yang dilaporkan. Sebagai Ketua Bappenas, Widjojo menginstruksikan bawahannya untuk menggunakan ‘harga beras pada musim panen’ sebagai indikator tinggi-rendahnya produksi beras, bukan perkiraan pejabat daerah (hal. xix-xx).

Pidato pengukuhan Widjojo sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963) memuat pemikiran yang lebih detail tentang penggunaan economic inner logic untuk keperluan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan. Widjojo membahas dengan baik sekali, dan dengan bahasa yang sederhana, tentang kegunaan analisis ekonomi:

Yang diusahakan oleh analisa ekonomi bukanlah diperolehnya pengertian yang serba lengkap mengenai keseluruhan yang serba kompleks tersebut, melainkan … berbagai hubungan umum yang terdapat di antara gejala-gejala ekonomi tertentu (hal 12).


Widjojo kemudian membahas mengenai penuangan analisis ekonomi dalam bentuk persamaan matematika. Di dalam persamaan matematika, ada variabel, ada parameter (yang besarannya konstan). Variabel bisa dibedakan sebagai variabel eksogen dan endogen; dan mana yang dikuasai oleh pengambil keputusan (variabel kebijakan atau instrumen), dan mana yang harus diterima sebagai given. Formulasi matematis dalam analisis ekonomi memiliki sejumlah kelebuhan: penajaman perumusan pengertian dan hubungan antara variabel, pernyataan asumsi secara eksplisit, konsistensi logis antara asumsi dan kesimpulan bisa diuji, interdepenensi antara berbagai gejala ekonomi bisa lebih mudah ditunjukkan dan dikaji lebih jauh, dan langkah selanjutnya yaitu pengukuran dan pengujian empiris bisa dilakukan (hal. 15).

Model ekonomi, dengan demikian:

… dapat membantu pengambil keputusan mengambil tindakan secara rasional, dalam arti bahwa pengambil keputusan telah memperhitungkan serta membanding-bandingkan akibat berbagai tindakan alternatif yang dapat ia ambil (hal 15).


Bukan berarti Widjojo memproklamasikan supremasi pendekatan ekonomi-kuantitatif atas disiplin ilmu atau pendakatan lainnya. Di pidato yang sama, ia juga membahas soal kelemahan pendekatan ini. Pertama, pada dasarnya penggunaan matematika dalam analisis ekonomi adalah reduksi dan simplifikasi atas masalah yang kompleks dan seringkali nonlinier. Widjojo menegaskan bahwa matematika adalah perangkat untuk mempertajam perumusan. Penelaahan secara institusional dan perumusan konsep secara kualitatif tetap tidak bisa ditinggalkan (hal. 14).

Kedua, Widjojo menggarisbawahi bahwa masalah produksi dan pertumbuhan ekonomi bukanlah semata-mata gejala ekonomi. Kerjasama antara disiplin ekonomi dan ilmu sosial lain akan sangat berguna dalam memahami sebuah masalah. Menariknya, di paragraf yang sama ia juga menuliskan bahwa “kerjasama antara berbagai ilmu pengetahuan tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan dan mungkin mengandung hal-hal yang mengecewakan (hal. 27).” Sayang ia tidak membahas lebih lanjut tentang hal ini, jadi saya tidak bisa menangkap konteks dan maksud dari adanya pernyataan yang terdengar paradoks itu.

Jika pidato pengukuhan Guru Besar itu adalah ringkasan dari pemikiran ekonomi Widjojo, maka pidato itu bisa dilihat sebagai dasar dari sintesis antara pemikiran akademis dan kebijakan publik. Sebuah proses pengambilan kebijakan yang didasarkan atas pendekatan ilmiah, dalam hal ini teori ekonomi yang diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Artinya, teori (ekonomi) bukan hanya berhenti sebagai sebuah produk ilmiah, tapi menjadi landasan bagi kebijakan. Sebaliknya, pengambilan kebijakan juga tidak semata-mata didasarkan pada retorika yang heroik atau deal politik, melainkan punya pijakan pada landasan ilmiah.

Sintesis antara akademik dan kebijakan publik ini (kemudian) dikenal dengan istilah teknokrasi. Pengambil kebijakan yang berasal dari kalangan akademis-profesional dikenal sebagai teknokrat. Widjojo dkk. kemudian menjadi sebuah model atas sebuah kelompok teknokrat yang menggawangi kebijakan publik (ekonomi) di sebuah negara. Tidak semua melihat model ini sebagai ideal. Tidak sedikit yang bahkan menganggap teknokrasi ala ‘Mafia Berkeley’ sebagai anti-demokrasi, bahkan ‘kecelakaan sejarah.’

No comments:

Post a Comment