Kabar baiknya, data tentan perbandingan tingkat korupsi antarnegara sudah relatif tersedia. Ini membuat ruang untuk melakukan analisis empiris semakin besar. Indikator-indikator itu kebanyakan disusun dari hasil survey atas persepsi pelaku ekonomi tentang adanya korupsi di negara tempat mereka melakukan aktifitas. Dua survey yang paling populer adalah:
- Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index), disusun oleh Johann Graf Lambsdorff, dipublikasikan oleh Transparency International,[1] selanjutnya kita sebut sebagai ‘Indeks TI.’ Indeks ini memiliki skala 0-10, dengan skor lebih tinggi mencerminkan tingkat korupsi yang lebih rendah.
- Indeks Kontrol atas Korupsi (Control of Corruption), disusun oleh Daniel Kaufmann dan lainnya, bagian dari Indikator-indikator pemerintahan global terbitan Bank Dunia,[2] selanjutnya kita sebut sebagai ‘Indeks Kaufmann.’ Indeks ini memiliki skala -2 hingga +2, semakin besar nilai menunjukkan tingkat korupsi yang lebih rendah.
Selain dua indikator ini, ada sejumlah survei lain yang ada, seperti Business International atau beberapa survey untuk kawasan yang terbatas. Tapi kedua indikator di atas adalah yang paling banyak dirujuk, karena cakupan negara yang disurvei, dan ketersediaan data untuk konsumsi publik. Atas alasan itu juga, studi dalam Bab ini akan fokus pada kedua indikator di atas. Distribusi skor kedua indeks ditampilkan dalam di lampiran 1 dan 2.
Sebelum melakukan analisis menggunakan data-data itu, ada beberapa hal yang perlu kita pahami. Pertama, indeks-indeks itu adalah indikator ‘subyektif’ – diperoleh dari sejumlah survey tentang ‘persepsi.’ Artinya, kualitas data akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana responden memahami dan menjawab pertanyaan serta seberapa jauh pemahaman responden tentang realitas lapangan.
Kedua, kita juga harus hati-hati dalam melakukan analisis menggunakan data antarnegara. Variasi dalam kualitas data akan sangat dipengaruhi oleh perbedaan standar dan definisi korupsi di tiap negara, teknik dan metode survey (beberapa negara lebih bebas dari yang lain untuk membicarakan korupsi di pemerintahan). Selain itu, dengan negara sebagai unit analsis, artinya kita mencoba melakukan generalisasi dari satu keranjang yang di berisi data dari negara Amerika Serikat atau Inggris dalam satu keranjang yang sama dengan
Meski kedua hal di atas harus menjadi catatan serius, kenyataan bahwa kita memiliki data yang tidak sempurna tetap lebih baik dari tidak ada sama sekali.
Korupsi dan tingkat PDB per kapita
Analisis pertama yang bisa kita lakukan adalah melihat hubungan antara tingkat korupsi dan PDB per kapita. PDB per kapita masih menjadi indikator paling umum untuk menggambarkan tingkat kemakmuran suatu negara dalam jangka panjang Gambar 3 dan 4 menunjukkan hubungan antara PDB per kapita (dalam logaritmik) tahun 1996, dan kedua indikator korupsi.
Kedua, sangat mungkin tingkat korupsi dan PDB per kapita dipengaruhi oleh variabel ketiga (jumlahnya bisa banyak) secara bersamaan. Misalnya, kualitas institusi, sistem legal, tingkat pendidikan, sejarah kolonialisme dan sebagainya. Ini terlihat dari variasi data antarnegara cukup besar, terutama di kelompok negara-negara terkorup. Contohnya, di antara negara-negara yang memiliki skor antara 2-3 dalam skala TI, di sana ada negara yang sangat miskin seperti Republik Demokratik Kongo, dan negara yang cukup makmur seperti Argentina atau Venezuela. Variasi antarnegara terlihat lebih kecil di negara-negara yang tingkat korupsinya menengah dan kecil, tetapi masih cukup signifikan. Beberapa rezim yang korup bisa memiliki kinerja ekonomi yang lebih baik disbanding rezim korup lainnya.
Kedua problem ini bisa diperkecil, meski tidak berarti hilang sepenuhnya, dengan menggunakan metode regresi multivariat untuk sedikit mengoreksi kedua problem ini. Dengan regresi multivariat, kita bisa mengukur tingkat korelasi antara korupsi dan PDB per kapita antarnegara di dunia dengan mengandaikan sejumlah variabel yang menjelaskan perbedaan karakteristik negara-negara itu tetap. Perhatikan bahwa dengan teknik regresi standard yang dilakukan dalam studi ini, kita masih belum bisa menyimpulkan soal kausalitas. Tapi setidaknya kita bisa mendapatkan sebuah parameter dengan bias yang lebih kecil.
Sejumlah variabel yang ‘dikontrol’ dalam studi ini adalah:
- Pendapatan per kapita di tahun 1970, sebagai kontrol untuk perbedaan tingkat kemakmuran yang sudah terjadi.
- Jumlah penduduk di tahun 1970, sebagai kontrol untuk perbedaan ukuran ekonomi. Selain itu, negara dengan penduduk lebih banyak akan memiliki masalah kelembagaan dan ekonomi yang lebih kompleks.
- Modal, baik fisik (rata-rata tingkat investasi sebagai persen dari PDB sejak 1970) dan manusia (rata-rata tingkat partisipasi pendidikan primer dan sekunder).
- Fraksionalisasi etnis, bahasa dan budaya.[4] Negara yang lebih heterogen akan menghadapi tantangan kelembagaan yang lebih besar. Selain itu, fraksionalisasi juga akan mendorong korupsi yang lebih besar karena tiap kelompok akan berusaha untuk menggunakan akses mereka di pemerintahan untuk mendistorsi sumber daya condong ke arah kelompok mereka.
- Letak negara yang bersangkutan secara geografis (ada di kawasan apa). Ini untuk mengontrol heterogenitas budaya di tiap negara atau kawasan yang bisa mempengaruhi standar atas praktek korupsi.
- Negara yang pernah menjajah (kalau ada). Variabel ini disertakan karena kualitas kelembagaan sebuah negara akan mempengaruhi persepsi (dan kenyataan) atas korupsi. Sementara kualitas kelembagaan sebuah negara sangat dipengaruhi oleh kekuatan kolonial mana yang pernah menjajah negara yang bersangkutan.
Data yang digunakan berasal dari berbagai sumber terpisah, dikompilasi oleh Pippa Norris dari
Hasil regresi ditampilkan di Tabel 1, kolom 1 dan 2.[6] Koefisien regresi untuk variabel log PDB per kapita tahun 2006 adalah positif bagi kedua indikator korupsi (untuk mempermudah pembaca, koefisien untuk variabel-variabel kontrol lainnya tidak ditampilkan). Keduanya juga signifikan secara statistik dalam tingkat signifikansi 10 persen (Indeks TI) dan 5 persen (Kaufmann). Butuh sedikit kehati-hatian dalam menerjemahkan angka yang dihasilkan. Angka 0.123 dalam kolom pertama berarti “satu unit kenaikan skor indeks korupsi berkorelasi dengan PDB per kapita yang lebih tinggi sebesar 12,3 persen” (atau 30,5 persen untuk regresi menggunakan indeks Kaufmann). Tapi ‘satu unit kenaikan’ di sini tidak punya arti ekonomi yang jelas, karena kedua indeks bukanlah variabel yang punya unit pengukuran seperti dolar atau juta jiwa.
Kita bisa memperdebatkan apakah menggunakan indeks korupsi hanya pada satu tahun (2005) untuk memprediksi PDB per kapita tahun 2006 adalah metode yang tepat. Mungkin saja di tahun 2005, sebuah negara baru melakukan reformasi kelembagaan.[7] Itu akan terlihat dari indeks korupsi yang membaik, tapi bukan indikator yang tepat atas kinerja kelembagaan negara tersebut untuk periode yang lebih panjang. Ini bisa kita siasati dengan melakukan regresi yang sama menggunakan rata-rata indeks korupsi dalam satu kurun waktu. Karena ketersediaan data, batas periode yang bisa kita lakukan adalah sejak 1996. Hasil regresi pembanding ini ditampilkan dalam Tabel 1, kolom 3 dan 4. Terlihat bahwa metode ini tidak mengubah hasil secara signifikan. Memang terjadi kenaikan yang cukup berarti untuk Indeks TI, tapi di saat yang sama kita juga kehilangan banyak observasi karena banyak negara belum tercakup dalam Indeks tahun 1996.
Jika kita artikan PDB per kapita sebagai kapasitas ekonomi dimiliki oleh suatu negara, maka hasil regresi antarnegara ini menunjukkan ‘hilangnya’ potensi ekonomi jangka panjang. Sebagai ilustrasi, kenaikan satu standard deviasi dari indeks korupsi adalah apabila dalam semalam, tingkat korupsi di
Korupsi dan pertumbuhan ekonomi
Variasi dalam tingkat PDB per kapita bisa menggambarkan kapasitas atau potensi ekonomi suatu negara di jangka panjang. Bagaimana kita bisa melihat kinerja ekonomi sebuah negara dalam periode yang lebih pendek? Kita bisa melihatnya dari laju pertumbuhan PDB per kapita tiap tahun – sederhananya, seberapa besar PDB per kapita berubah dari tahun ke tahun.
Korelasi sederhana antara indeks korupsi dan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan antara 1975-2004 ditampilkan dalam Gambar 5 dan 6.[9] Terlihat bahwa korelasi antara keduanya lemah, bahkan negative untuk Indeks TI. Ini bisa dijelaskan oleh beberapa hal. Pertama, tidak seperti variasi tingkat PDB per kapita, variasi dalam pertumbuhan ekonomi tahunan dipengaruhi oleh lebih banyak faktor, baik yang bisa diukur maupun tidak. Kedua, variasi data yang kita miliki sangat dipengaruhi oleh outliers – dalam hal ini negara-negara yang mencatat laju pertumbuhan sangat tinggi seperti
Dari Tabel 2, terlihat bahwa koefisien regresi untuk indeks korupsi cukup konsisten, positif dan signifikan meski hanya dalam tingkat 10 persen. Tapi meski signifikan secara statistik, secara ekonomi nilai koefisien yang dihasilkan cenderung tidak signifikan. Setiap kenaikan satu standar deviasi berkorelasi dengan 0,04-0,06 poin persen[10] kenaikan laju pertumbuhan ekonomi per tahun. Artinya, jika PDB per kapita sebuah negara tumbuh sebanyak 5,1 persen antara 1975-2004, laju pertumbuhan per kapita hanya akan meningkat menjadi 5,13-5,14 persen per tahun jika tingkat korupsi bisa diturunkan hingga mendekati kondisi di Yunani.[11]
Kedua, seperti disimpulkan oleh berbagai pertumbuhan ekonomi per tahun sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang tidak terukur. Itu alasan mengapa kita menemukan negara-negara Asia Timur yang relatif korup bisa mengalami pertumbuhan tinggi, bahkan menjadi ‘keajaiban’ pertumbuhan. Seperti disinggung dalam pembahasan teoretis sebelum ini, korupsi akan merugikan ekonomi secara umum. Tapi beberapa rezim yang korup bisa memiliki kinerja ekonomi yang baik dibandingkan rezim korup lainnya.
Ketiga, di sisi lain, angka 0,03-0,04 poin persen itu adalah pengaruh langsung dari korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tapi banyak pengaruh tidak langsung dari pengurangan tingkat korupsi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja ekonomi, tapi tidak terlihat dari hasil regresi dengan metode sederhana. Dalam pembahasan mengenai korupsi dan misalokasi sumber daya sebelum ini, cotohnya, pengurangan tingkat korupsi bisa jadi tidak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara langsung, tapi akan membuat tingkat pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Pengaruh dari perbaikan indikator kesehatan dan pendidikan ini yang nantinya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Argumen ini juga bisa menjelaskan mengapa ada perbedaan besar dari hasil regresi atas pertumbuhan tahunan dengan tingkat PDB per kapita sebelum ini. Dengan kata lain, ‘dividen antikorupsi’ (anti-corruption divident) tidak terlihat dari laju pertumbuhan tahunan yang lebih tinggi, tapi dari meningkatnya kapasitas potensial ekonomi di jangka panjang.
Sebaliknya, kerugian dari korupsi juga belum tentu terlihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Sebelum krisis ekonomi akhir 1990an,
Korupsi dan komposisi pengeluaran pemerintah
Sebagai tambahan analisis, kita bisa melihat apakah ada hubungan antara tingkat korupsi suatu negara dengan komposisi pengeluaran pemerintah. Sebelum ini kita sempat membahas bagaimana korupsi menyebabkan alokasi sumber daya yang lebih kecil untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya, berbagai anekdot menunjukkan bagaimana rezim-rezim korup di Afrika dan Amerika Latin cenderung membelanjakan anggaran lebih banyak untuk sektor militer.
Gambar 7 dan 8 menunjukkan ada korelasi yang cukup kuat antara Indeks Kaufmann dengan porsi pengeluaran pendidikan dan kesehatan terhadap PDB suatu negara.[12] Negara-negara yang lebih bersih cenderung membelanjakan lebih banyak untuk kedua sektor ini. Sementara itu, di Gambar 9 kita melihat tidak ada korelasi yang jelas antara indeks korupsi dan porsi anggaran militer dalam PDB. Koefisien korelasi adalah negatif, tapi sangat kecil dan mendekati nol. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kualitas data untuk anggaran militer yang tersedia bisa dipertanyakan. Dan kita punya alsan untuk percaya bahwa sebagian besar pengeluaran militer di rezim-rezim korup tidak tercemin dari anggaran resmi.
Secara umum, dari data yang tersedia, kita akhirnya tidak bisa menarik kesimpulan yang tegas mengenai pengaruh korupsi terhadap komposisi pengeluaran pemerintah. Ini memang hal yang umum terjadi dalam analisis empiris dengan data antarnegara.
Referensi
[1] Lihat http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi
[2] Lihat http://info.worldbank.org/governance/wgi/index.asp
[3] Meski skala penilaian kedua indikator berbeda, 0-10 untuk Indeks TI dan -2 hingga +2 untuk Indeks Kaufmann, keduanya relatif konsisten. Nilai R2 untuk keduanya adalah 0.9.
[4] Dari Alberto Alesina, et al. "Fractionalization," Journal of Economic Growth, Springer, vol. 8(2), pages 155-94, Juni 2003.
[5] Data tersedia untuk publik, bisa diakses di http://pippanorris.com.
[6] Teknik yang digunakan adalah Ordinary Least Square sederhana.
[7] Secara umum, kita bisa berpendapat bahwa kalaupun sebuah negara melakukan reformasi kelembagaan, hasilnya tidak akan terlihat dalam waktu singkat. Artinya, skor indeks persepsi korupsi tidak akan banyak berfluktuasi dalam periode yang pendek. Untuk mengecek hal itu, saya melakukan regresi atas kedua indeks korupsi tahun 2005 dengan indeks yang sama tahun 1996. Mengacu pada angka R2, 95-97 persen variasi indeks antarnegara di tahun 2005 bisa dijelaskan dengan variasi indeks di tahun 1996.
[8] Menurut kedua indikator, skor
[9] Periode 1970-2004 dipilih karena faktor ketersediaan data. Banyak negara tidak punya data PDB per kapita yang tersedia dalam periode relatif panjang. Sementara itu, kalau kita mengompromikan dengan periode yang lebih pendek, variasi data akan lebih sensitif terhadap anomali seperti krisis atau boom.
[10] Perhatikan bahwa angka ini adalah dalam poin persen. Karena masalah skala dalam data mentah, maka hasil perhitungan harus dikalikan 10 untuk mendapat angka riil.
[11] Dalam regresi terpisah tanpa mengikutsertakan Cina (yang tidak ditunjukkan di sini), ternyata koefisien regresi tidak banyak berubah.
[12] Analisis menggunakan Indeks TI tidak disampaikan di sini karena cakupan negara dalam survey sebelum tahun 2000 lebih sedikit dari Indeks Kaufmann.
[13] http://www.freedomhouse.org.
No comments:
Post a Comment