Saturday, February 13, 2010

Mafia Berkeley, sekali lagi (3)

Bagian IV: Kritik

Tulisan dan pandangan kritis terhadap Mafia Berkeley sudah tidak terhitung. Tentu kebijakan ekonomi Widjojo dkk, dan bagaimana proses pengambilan kebijakan dilakukan, bukan hal yang bebas kritik. Tapi kita juga tidak bisa melepaskan apa dan bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil saat itu dengan kondisi obyektif yang saat itu. Ekonomi Indonesia dalam keadaan kacau, negara nyaris bangkrut (bahkan tidak punya uang untuk membetulkan pagar Istana Negara). Sementara itu stok akademisi yang punya latar belakang ekonomi tidak banyak. Widjojo dkk. sendiri pergi ke Berkeley untuk mengisi kebutuhan staf pengajar FEUI yang hingga akhir 1950an kebanyakan punya latar belakang ilmu hukum, bukan ekonomi. Dengan kata lain, ketika melontarkan kritik kita juga perlu bertanya beberapa hal: apa pilihan yang tersedia saat itu, dan seberapa feasible? Apa trade-off kalau yang diambil adalah pilihan alternatif yang tersedia itu? Apa counterfactual yang akan terjadi?

Secara umum, ada dua hal besar yang jadi sasaran kritik: 1) paradigma dan esensi kebijakan ekonomi yang dianut oleh Widjojo dkk., dan 2) adanya dominasi sebuah kelompok teknokrat atas pengambilan kebijakan publik.

Kritik jenis pertama kebanyakan mempermasalahkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada sistem ekonomi pasar, pro-Barat, bertumpu pada hutang luar negeri, dan semacamnya. Saya justru menganggap Widjojo dkk. kurang propasar. Buat saya, kebijakan ekonomi Widjojo dkk. yang bersifat dirigista justru memberikan ruang yang terlalu besar buat negara dalam kegiatan ekonomi. Negara (pemerintah pusat) menjadi institusi yang terlalu besar, kuat dan berkuasa. Implikasinya, ini memberikan legitimasi yang begitu besar pada negara ketika kemajuan ekonomi bisa dicapai. Legitimasi dari kondisi ekonomi ini memberikan insentif bagi Orde Baru untuk bertindak tidak demokratis.

Tapi kemudian posisi kritik ini menjadi dilematis. Apakah jadinya Widjojo dkk. bersalah karena memberikan legitimasi pada Suharto lewat kemajuan ekonomi, dan legitimasi itu digunakan Suharto untuk bertindak tidak demokratis? Karena kalau ya, sama saja dengan mengatakan harusnya Widjojo dkk. tidak membuat kebijakan yang membawa perbaikan ekonomi. Tentu kondisi yang ideal adalah kalau kemajuan ekonomi bisa terjadi tanpa memberikan legitimasi yang besar bagi Suharto. Ini bisa terjadi jika dari awal perekonomian lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Masalahnya, kondisi objektif saat itu memang tidak memberikan banyak pilihan. Pemerintah mau tidak mau harus berperan besar di sebuah negara dimana fondasi dan infratruktur yang kokoh untuk ekonomi pasar belum tersedia, warisan dari orientasi kebijakan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai panglima. Ini membuat kritik saya bahwa Widjojo dkk. sebagai kurang propasar menjadi tidak kontekstual.

Saya kira Widjojo dkk. saat itu punya gambaran bahwa ketika landasan kelembagaan sudah lebih kuat, perlahan-lahan dominasi negara akan dikurangi, dan mekanisme pasar akan lebih berperan sebagai mekanisme alokasi sumber daya lewat serangkaian deregulasi dan liberalisasi. Liberalisasi tahap pertama adalah liberalisasi neraca modal, sebagai bagian dari stabilisasi ekonomi antara 1966-1971. Intinya, tujuan kebijakan ini adalah membuka capital account Indonesia supaya modal asing, baik dalam bentuk PMA atau pinjaman punya insentif untuk masuk. Ini adalah sebuah langkah yang sampai sekarang banyak dikritik. Satu kubu pengritik mengatakan, kebijakan ini sama dengan menjual bangsa Indonesia kepada modal asing.

Masalahnya, lagi-lagi ini persoalan pragmatis, bukan ideologis, sekaligus persoalan kontekstual. Banyak yang lupa, di tahun 1966-67, negara dalam keadaan nyaris bangkrut, dan inflasi meroket. Sumber penerimaan domestik nyaris tidak ada, jangan dulu bicara penerimaan pajak. Tidak mungkin membiayain anggaran dengan mencetak uang. Selama ini pemerintahan Sukarno mengandalkan hutang dari negara blok Komunis, yang setelah 1966 tidak lagi mau memberikan pinjaman. Sementara negara tetap perlu uang untuk membiayai pembangunan. Saya tidak tahu, jika mereka yang mengritik kebijakan liberalisasi neraca modal dengan argumen nasionalisme dari kacamata sekarang berada dalam posisi Widjojo dkk. saat itu, kira-kira langkah apa yang akan mereka ambil. Dan persoalannya juga bukan berhutang atau tidak, karena kenyataannya pemerintahan Sukarno juga berhutang, dan hutangnya terus naik.

Saya pun pernah punya kritik terhadap kebijakan ini. Merujuk pada buku MacKinnon (1971), tahapan liberalisasi yang ideal adalah dimulai dari liberalisasi sektor riil, kemudian perdagangan, baru modal dan investasi. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tapi, pada akhirnya ini adalah masalah apa yang ideal dalam buku teks dengan kenyataan. Bahwa liberalisasi di Indonesia dimulai dari neraca modal terjadi karena dorongan keadaan. Sekali lagi kritik saya pada Widjojo dkk. jadi kehilangan konteks sejarah.

* * *

Gagasan tentang liberalisasi ekonomi juga tidak serta-merta bisa diterapkan dalam bentuk kebijakan, meski Widjojo dkk. ada di posisi pengambil kebijakan. Di tahun ’70an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan signifikan atas penerimaan pemerintah, negara punya sumber daya lebih besar untuk tidak tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi pasar. Di periode itu dibangun banyak proyek industri padat modal seperti petrokimia, yang antara lain didorong oleh uang dari rejeki minyak. Ini bertentangan dengan economic inner logic karena kebijakan industri yang demikian tidak sejalan dengan teori keunggulan komparatif. Sebagai negara dengan banyak penduduk, keunggulan komparatif Indonesia adalah industri-industri padat karya. Dan tujuan pembangunan lima tahun di periode awal adalah membangun industri yang menghasilkan barang jadi. ’Tanda tangan’ Mafia Berkeley tidak terlihat dalam orientasi kebijakan seperti ini. Widjojo tetap berusaha agar rejeki minyak bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Salah satunya adalah program SD Inpres, yang menjadi salah satu program pembangunan infrastruktur pendidikan dengan skala terbesar dalam sejarah pembangunan ekonomi negara-negara di dunia.

Liberalisasi tahap berikutnya baru bisa terjadi di awal dan pertengahan ‘80an. Itu pun karena dorongan keadaan: jatuhnya harga minyak. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan penerimaan minyak untuk membiayai pembangunan. Maka pembangunan ekonomi sekarang harus bertumpu pada pelaku swasta (non-pemerintah). Caranya adalah mendorong ekspor non-migas, terutama dari sektor industri padat karya. Sumber pendanaan investasi dari dalam negeri juga harus didorong.

Di sini pun terlihat bahwa meski jatuhnya harga minyak memaksa negara untuk mengurangi dominasinya dalam kegiatan ekonomi, tetap ada batas-batas bagi gagasan liberalisasi untuk dijalankan. Liberalisasi ekonomi akan mengancam penerimaan rente yang selama ini dinikmati oleh kelompok kepentingan, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan Widjojo dkk., meski banyak orang mengira mereka begitu berkuasa, tetap tidak bisa menembus ruang-ruang ini.

Itulah mengapa liberalisasi di periode ‘80an terjadi di sektor keuangan dan perbankan (lewat kebijakan deregulasi yang dikenal dengan PAKTO dan PAKNO). Memang ada alasan objektif untuk meliberalisasi sektor keuangan. Iklim finansial yang represif tidak akan mendukung tujuan untuk mengembangkan industri dan meningkatkan ekspor non-migas. Tapi ada juga alasan ekonomi-politik: pemain di sektor perbankan saat itu belum banyak. Tekanan dari para kroni dan kelompok kepentingan juga lebih kecil dibanding meliberalisasi, misalnya, terigu atau kelapa sawit. Deregulasi perbankan di periode ‘80an membuat krisis akibat jatuhnya harga minyak tahun ’82 bisa dilewati. Bahkan setelah itu Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Widjojo sendiri sejak 1983 tidak lagi masuk di kabinet. Masih ada Subroto, Emil Salim, Ali Wardhana, JB Sumarlin, lalu Arifin Siregar, Radius Prawiro, Rahmat Saleh, lalu belakangan SB Joedono.

* * *

Kelompok kritik yang kedua mempermasalahkan dominasi kelompok teknokrat seperti Mafia Berkeley dalam kebijakan publik. Selain itu, banyak kebijakan yang diambil tidak transparan dan melalui sebuah perdebatan publik. Dengan kata lain, adanya Mafia Berkeley mencederai demokrasi. Saya bukan ahli politik, dan saya akui saya tidak punya cukup argumen akademis untuk membahas soal ini. Tapi ada dua tanggapan umum.

Pertama, soal transparansi pengambilan kebijakan. Saya kira, problemnya ada pada keseluruhan proses pengambilan kebijakan di era Suharto. Tidak salah jika dikatakan proses pengambilan kebijakan ekonomi saat itu tidak transparan. Demikian halnya kebijakan hukum, politik (ingat lima UU politik), sensor buku, media dan film, hingga berbagai keputusan terkait IPTN, mobil nasional dan sebagainya. Lalu apa yang membuat Mafia Berkeley dan kebijakan ekonomi jadi lebih tidak demokratis dibanding lainnya?

Kedua, soal dominasi Mafia Berkeley dalam kebijakan. Hal ini sesungguhnya masih sangat diperdebatkan. Benarkah Mafia Berkeley demikian berkuasanya menentukan arah kebijakan? Pada akhirnya Widjojo dkk. tetap hanya salah satu dari sejumlah ‘aktor’ yang berkompetisi atas pengaruh. Bahkan dalam bidang ekonomi, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa peran Widjojo dkk. tetap terbatas. Meski menggunakan ekonomi sebagai fondasi untuk mendapatkan legitimasi, negara Orde Baru punya logika sendiri. Dan ini justru menunjukkan bahwa dominasi Widjojo dkk. dalam mempengaruhi kebijakan Suharto tidak sebesar dan sedominan yang banyak digambarkan.

Ada ruang-ruang dimana Widjojo dkk. tetap tidak bisa mempengaruhi Suharto. Contohnya adalah mismanajemen penggunaan penerimaan negara dari rejeki minyak tahun yang berujung pada krisis Pertamina tahun ‘70an. Uang yang berlimpah mendorong Pertamina melakukan ekspansi berlebihan ke kegiatan yang ada di luar bisnis intinya, seperti membangun hotel, perusahaan penerbangan dan sebagainya. Pertamina saat itu adalah sebuah ‘negara di dalam negara’ yang dikuasai oleh klik di luar Mafia Berkeley. Contoh lain adalah proteksi terhadap industri terigu yang diberikan hingga bertahun-tahun adalah contoh lain. Pemegang monopoli terigu adalah kelompok usaha Salim yang dekat dengan Suharto. Beberapa kali Widjojo dkk. meminta Suharto untuk menghapus monopoli terigu, karena konsumen yang kebanyakan penduduk miskin akan diuntungkan dengan harga terigu yang lebih murah. Tapi usaha ini selalu kandas, bahkan hingga era ’90an saat SB Joedono menjabat Menteri Perdagangan.

Peran kelompok Widjojo dkk. juga makin turun memasuki ‘90an, ketika percaturan politik-ekonomi juga berubah. Di sisi bisnis, liberalisasi membuat posisi kelompok pengusaha relatif terhadap penguasa makin besar. Selain itu banyak juga kelompok-kelompok bisnis baru – termasuk putra-putri Suharto yang sudah beranjak dewasa – dengan kepentingan yang beragam. Dan seringkali kepentingan mereka tidak sejalan dengan gagasan liberalisasi ekonomi. Jadi ironis karena liberalisasi tahap awal memberi ruang buat swasta untuk lebih berperan. Tapi ketika mereka mendapat tempat, mereka melobi kekuasaan untuk mengurangi liberalisasi ekonomi.

Di sisi politik, pola patron-clientship makin kompleks dan dinamis. Banyak kelompok baru yang berkompetisi untuk mendapatkan akses ke Suharto. Termasuk kelompok teknolog yang mengusung ide tentang kebijakan ekonomi yang lebih ‘nasionalis’ (baca: inward-looking dan proteksionis). Meski posisi kunci bidang ekonomi masih dipegang oleh Mafia Berkeley (dalam arti lebih luas), pengaruh mereka secara umum makin turun. Di saat yang sama, Suharto juga merasa perlu merangkul aliansi dengan kelompok teknolog serta Islam. Peran kapitalis kroni juga makin besar, terutama yang melibatkan putra-putri Suharto.

Hasilnya adalah periode ‘90an yang ambivalen. Liberalisasi ekonomi tetap berlanjut, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO dan APEC serta sejumlah deregulasi investasi. Di saat yang sama kita juga melihat berbagai kebijakan yang proteksionis dan inward-looking seperti subsidi untuk IPTN yang diambil bukan hanya dari APBN tapi dari dana non-budgeter, tata niaga cengkeh dan jeruk (yang diberikan pada Tommy Suharto dan Tutut), serta proyek mobil nasional (lagi-lagi Tommy).


Bagian V: Penutup

Terlalu banyak yang bisa ditulis tentang Widjojo Nitisastro dan Mafia Berkeley. Tapi di bagian penutup ini saya hanya ingin mengangkat tiga hal.

Pertama, apakah keberadaan Mafia Berkeley dalam sejarah politik-ekonomi di Indonesia adalah sesuatu yang by design? Saya selalu punya masalah dengan pandangan serba konspiratif yang melihat bahwa segala sesuatu adalah hasil dari sebuah desain besar, dan semua individu adalah instrumen dari sebuah kepentingan. Tidak ada ruang bagi independensi individu dalam kerangka berpikir demikian. Tidakkah dunia jadi menjemukan kalau begitu?

Tentu kita tidak bisa menampik bahwa pemerintah AS punya kepentingan dengan membiayai sejumlah akademisi Indonesia untuk belajar di negeri mereka. Pemerintah Uni Soviet juga memberikan beasiswa untuk banyak pelajar Indonesia ke Moskow dan Jerman Timur di periode yang kurang lebih sama. Semua pihak di era perang dingin punya kepentingan, dan saling bertarung untuk merebut pengaruh di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Semata-mata demi argumen – jika benar Mafia Berkeley adalah bagian dari proyek AS di era perang dingin, mengapa AS berhasil, sementara Uni Soviet atau RRC gagal? Jika Sukarno begitu dicintai, mengapa ia tidak berhasil membuat seluruh rakyat berpihak padanya di sekitar 1966? Jika ide-ide besar komunisme (PKI) begitu menarik, kenapa itu tidak cukup? Jawaban yang saya ajukan adalah karena ide-ide besar itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi yang baik. Bahkan, cara Sukarno merealisasikan ide-ide besarnya membuat situasi ekonomi lebih buruk.

Dengan kata lain, Mafia Berkeley adalah salah satu dari beberapa multiple equilibrium. Benar, ada kepentingan di sana. Tapi kepentingan saja tidak akan cukup jika kondisi ekonomi dalam negeri saat itu masih cukup baik. Kepentingan dan krisis ekonomi saja tidak cukup jika Widjojo dkk. tidak punya visi, gagasan tentang perbaikan ekonomi serta kemampuan untuk menjalankan gagasan itu.

Kedua, seberapa besar dominasi Mafia Berkeley dalam menentukan keputusan akhir kebijakan ekonomi di Indonesia? Dari uraian di atas, saya menunjukkan bahwa Widjojo dkk. bukanlah kelompok teknokrat yang punya cek kosong atas semua kebijakan pemerintah. Dalam sejumlah hal, Widjojo dkk. memang bisa meyakinkan Suharto untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gagasan mereka (lihat kisah waktu Widjojo meyakinkan Suharto untuk mendevaluasi Rupiah di tahun 1986, padahal setahun sebelumnya Suharto baru mengumumkan bahwa tidak akan ada lagi devaluasi di bab 17). Tapi ada ruang-ruang dimana Suharto tidak mau menegosiasikan posisinya pada Widjojo dkk. Ketika ini terjadi, keputusan akhir tetap ada pada Suharto.

Dalam jargon akademis, ini menunjukkan bahwa hipotesis ’negara teknokratis’ dan ’negara komprador’ (Robison 1986) tidak sepenuhnya terbukti. Orde Baru lebih menunjukkan pola ’negara patrimonial’ (Anderson 1983), dimana Suharto memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Di akhir ’80-an dan ’90an, lansekap politik-ekonomi menunjukkan pola ’pluralisme terbatas’ (Liddle 1991, senada dengan MacIntyre 1990 meski istilah pluralisme terbatas dicetuskan oleh Liddle).

Ketiga, bagaimana melihat relevansi model Mafia Berkeley dalam konteks sekarang?
Banyak yang berpendapat, kebijakan publik sebaiknya tidak diserahkan pada satu kelompok teknokrat. Saya tentu lebih suka jika pengambilan kebijkan ekonomi lebih ditentukan oleh sistem ketimbang individu atau kelompok. Tapi secara pribadi saya merasa Indonesia beruntung mendapatkan Widjojo dkk. di tahun 1967 hingga akhir ‘90an, meski pengaruh mereka makin lama makin kecil. Saya juga merasa beruntung masih ada jejak Widjojo dkk. di pemerintahan sekarang lewat Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Armida Alisjahbana, juga Chatib Basri, Anggito Abimanyu atau Raden Pardede. Masalahnya tidak ada jaminan bahwa kita akan selalu mendapatkan orang-orang seperti mereka. Sehingga saya setuju bahwa kita perlu untuk membangun lansekap kebijakan publik di atas sistem yang kokoh.

Di sisi lain, mereplikasi model Mafia Berkeley juga tidak mudah. Stok ekonom generasi sekarang datang dari universitas yang beragam. Bahkan yang punya latar belakang sama, misalnya lulusan FEUI (karena hanya itu yang bisa saya jadikan contoh), ada perspektif yang cukup plural dalam memandang kebijakan ekonomi seperti apa yang harus diambil, dan bagaimana. Ada lowest common denominator yang dipercaya bersama. Tapi lowest common denominator ini pun makin kecil.

Meski demikian, pengalaman Widjojo dkk. menunjukkan bahwa – sekali lagi – kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust di antara pembuat kebijakan adalah variabel penting dalam pengambilan kebijakan. Itu yang selalu saya ingat ketika istilah ‘Mafia Berkeley’ ada dalam benak saya. Selesai.

Ucapan terima kasih: Arianto Patunru, Firman Witoelar, Rizal Shidiq dan Sjamsu Rahardja memberi sejumlah masukan dan atas draft awal seri tulisan ini. Philip Vermonte, editor Jakartabeat.net, mengoreksi beberapa kesalahan, memutuskan bagaimana artikel panjang ini dipecah, dan tentunya memberi ijin. M. Chatib Basri memang tidak memberi masukan secara langsung, dan tidak pernah membaca daft awal yang saya tulis. Tapi sejumlah argumen di tulisan ini saya pinjam dari pemikiran Dede, lewat berbagai kesempatan diskusi dan interaksi dalam berbagai bentuk selama sekitar 15 tahun terakhir. Dan tentunya saya belajar banyak dari berbagai komentar yang disampaikan.

1 comment:

  1. kebanyakan para pengritik memang memakai pisau bedah marx a.k.a sosiologi mungkin, jadi memang susah ketemunya...

    ReplyDelete