Menarik untuk menyimak berbagai reaksi seputar penganugerahan Nobel Ekonomi 2009 untuk Ostrom dan Williamson. Sejumlah orang kurang lebih mengartikannya sebagai ‘kritik terhadap paradigma baku ilmu ekonomi,’ bahkan ‘jawaban terhadap krisis ekonomi global.’ Reaksi ini terlontar dari sejumlah status Facebook, hingga artikel di sebuah harian terkemuka Indonesia.
Betul bahwa Ostrom dan Williamson berangkat dari pendekatan yang berbeda dengan, misalnya, ekspektasi rasional atau pasar yang efisien. Tapi menganggap bahwa Nobel untuk keduanya menunjukkan semacam intellectual U-turn dalam ekonomi adalah pandangan yang kurang paham dengan perkembangan disiplin ilmu ekonomi.
Ingat bahwa Nobel Ekonomi diberikan pada studi-studi yang dianggap sangat berpengaruh. Salah satu kriteria ‘berpengaruh’ adalah seberapa banyak ia dirujuk dan menginspirasikan studi-studi selanjutnya. Biasanya proses untuk menjadi ‘berpengaruh’ memakan waktu sekitar 2-3 dekade. Artinya, hadiah Nobel umumnya diberikan pada studi yang sudah berusia 2-3 dekade. Sepanjang itu pula proses evolusi pemikiran terjadi, dan studi-studi lain dilahirkan.
Ambil contoh pemikiran tentang proses transaksi, alokasi sumber daya dan koordinasi antarpelaku ekonomi di tataran komunitas – yang menjadi fokus studi Ostrom. Dari beberapa komentar pascapengumuman Nobel, ada kesan bahwa ilmu ekonomi (dan ekonom) mengabaikan isu ini dan menganggap semuanya bisa diselesaikan oleh pasar.
Ini adalah kesan yang keliru. Sudah banyak studi ekonomi yang coba melihat bagaimana pelaku ekonomi di tataran komunitas lokal berinteraksi di luar pasar, atau di dalam pasar yang tidak bekerja sempurna – baik yang langsung dipengaruhi oleh Ostrom maupun tidak. Beberapa studi sempa saya ringkas di catatan ini.
Meski demikian, sejumlah studi juga menunjukkan keterbatasan peran komunitas dalam menghasilkan dan menerapkan ‘aturan main’ seperti digambarkan oleh Ostrom. Dua studi oleh Ben Olken (sekarang di MIT) bisa jadi rujukan. Jadi menarik buat kita karena studi-studi itu ia lakukan menggunakan data empiris di Indonesia. Dalam studi ini, Ben menunjukkan, dengan data survey tingkat desa di Jawa, semakin tingginyacivic participation tidak membuat korupsi di tingkat desa (dilihat dari ‘anggaran yang hilang’ dalam proyek infrastruktur). Sementara itu studinya yang lain menunjukkan bahwa pengawasan eksternal (misalnya lewat audit badan pemerintah) lebih efektif untuk mengurangi tingkat korupsi lokal dibandingkan pengawasan internal yang berbasiskan partisipasi masyarakat. (Bukan berarti pengawasan berbasis partisipasi masyarakat lantas tidak berarti; tapi untuk konteks ini ia menemukan bahwa untuk konteks atau tingkat tertentu ada keterbatasan dari kekuatan partisipasi masyarakat).
Ben juga baru saja menyelesaikan sebuah studi lain , masih terkait soal partisipasi masyarakat lokal di Indonesia. Saya belum sempat membaca dengan seksama, jadi belum bisa memberi ringkasan yang komprehensif. Tapi singkatnya, ia dan para penulis lain ingin melihat apakah jika identifikasi penduduk miskin yang berhak menerima bantuan pemerintah dilakukan dengan melibatkan partisipasi pemerintah hasilnya akan lebih akurat jika dibandingkan metode proxy means test selama ini dilakukan dan sifatnya sentralistik). Dari kedua metode (partisipatif vs. sentralistik), tidak ada yang lebih dominan. Tapi hasil yang lebih akurat dicapai jika ada perpaduan antara partisipasi dan sentralisasi.
Penghargaan Nobel Ekonomi untuk Ostrom memang, moga-moga, membuat studi-studi tentang peran komunitas lokal makin mendapat apresiasi. Tapi tiga studi di atas, dan juga banyak studi lain yang tidak saya rujuk di sini, juga mengingatkan kita untuk menyadari limitasi dari peran komunitas dalam menyelesaikan problem alokasi dan koordinasi. Selain soal keterbatasan ruang lingkup yang bisa diselesaikan, komunitas juga menghadapi ‘bahaya’ seperti elite capture dan lain-lain.
Yang juga penting adalah jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan heroik dan memandang studi-studi seperti Ostrom ini adalah ‘jawaban dari krisis kapitalisme global dan teori ekonomi konvensional.’ (Kalau kata orang Jawa, ojo gumunan).
jadi bahasa sederhananya menambal panci bocor pake lem remah nasi ya mas? heheh
ReplyDelete