Menjelang pengumuman susunan kabinet SBY-Boediono, banyak pertanyaan seputar komposisi tim ekonomi. Pertanyaan yang cukup banyak terlontar adalah apakah SBY-Boed akan mempercayakan kebijakan ekonomi pada ekonom pembela pasar. Saya tidak tahu apa masalah dengan menjadi pembela pasar. Tepatnya, saya tidak tahu apakah pasar memang perlu dibela (dari apa?). Amartya Sen dalam Development as Freedom (2000) pernah menulis,
“To be generically against markets would be almost as odd as being generically against conversations between people. . . The freedom to exchange words, or goods, or gifts does not need defensive justification in terms of their favorable but distant effects.”
Artinya, kita semua harusnya secara intrinsik membela pasar. Tapi supaya tidak terlalu bingung, saya coba menuliskan apa yang dimaksud dengan ‘pasar’ dalam teori ekonomi, dan bagaimana (mayoritas) ekonom percaya (membela) pasar.
* * *
‘Pasar’ tak lebih adalah sebuah mekanisme alokasi dan koordinasi. Alokasi atas sumber daya yang terbatas; koordinasi untuk interaksi yang terjadi antara sekian banyak individu dengan kepentingan berbeda terkait dengan sumber daya yang terbatas itu, dan semua ingin memaksimalkan ‘keuntungan’ pribadi dari interaksi.
Pasar bukan satu-satunya mekanisme. Alokasi dan koordinasi bisa dijalankan dalam sistem ekonomi komando atau perencanaan terpusat. Peradaban-peradaban besar di masa lalu, atau Uni Soviet di era modern menunjukkan hal itu. Alternatifnya, manusia bisa memilih bertransaksi di luar pasar. Contoh paling jelas adalah bagaimana anggota keluarga, komunitas atau bahkan perusahaan menyelesaikan problem alokasi dan koordinasi tanpa melalui mekanisme pasar.
Lalu, mengapa pasar? Karena ia menawarkan dua hal: skala sekaligus efisiensi.
Transaksi nonpasar bisa berjalan efektif dalam skala yang kecil. Ekonomi komando atau perencanaan terpusat, di sisi lain, memerlukan sumber daya yang besar untuk bisa bertahan. Tentunya selain problem mendasar bahwa sistem ini membatasi, bahkan meniadakan, kebebasan individu untuk melakukan transaksi yang sukarela. Ini yang menjelaskan mengapa peradaban yang begitu besar di masa lalu tidak bisa bertahan, dan proyek Uni Soviet hanya bertahan kurang dari satu abad.
Bukan berarti mekanisme pasar tidak bermasalah. Pasar tidak selalu eksis. Meski eksis, pasar tidak selalu bekerja sempurna. Jika transaksi terjadi dalam pasar yang tidak sempurna, keputusan yang diambil individu bukanlah yang optimal. Karena informasi yang tidak simetris, misalnya, kita sering membayar terlalu mahal untuk mobil bekas atau tidak memiliki asuransi. Kemungkinan lain, apa yang optimal secara individu, belum tentu optimal secara sosial (buat seluruh individu).
Kalaupun bekerja dengan baik, pasar juga tidak lepas dari masalah. Isu keadilan distributif adalah problem klasik. Pasar mungkin memberikan hasil transaksi yang optimal, tapi belum tentu ‘adil.’ Atau seringkali faktor kognitif, emosi dan aspek-aspek psikologis lainnya mempengaruhi keputusan pelaku pasar secara signifikan. Ini yang menyebabkan pasar menjadi tidak efisien dan proses pencarian keseimbangan pasar bisa gagal terjadi. Kurang lebih seperti yang sekarang kita lihat di pasar finansial dan properti.
* * *
Kalau pasar punya masalah, mengapa ekonom tetap percaya pada pasar? Sederhananya, karena belum ada sistem ekonomi lain yang menawarkan solusi lebih baik. Kalaupun ada, itu baru di tataran hipotetis.
Tambahan: Ekonom juga tetap mempertahankan kepercayaan pada pasar sebagai posisi epistemis atau metode analisis. Ini sebenarnya adalah bagaimana ekonom melihat seperti apa kondisi ketika pasar bekerja dan tidak, apakah kegagalan pasar membawa hasil yang inferior, kalau ya apa solusinya dan apa kendalanya. Tidak ada urusan dengan agenda-agenda terselubung.
Betul, pemahaman tentang mekanisme pasar itu sendiri perlu terus dikritisi, dikaji ulang, disesuaikan dengan konteks spesifik, dan dimutakhirkan. Kabar baiknya, semua proses ini sudah terjadi, dan masih terus terjadi. Di awal abad 20, pemikiran Keynes mengubah paradigma klasik bahwa siklus bisnis bisa diperhalus lewat kebijakan pemerintah. Tahun 60-70an, era Keynesian bisa dibilang berakhir ketika aliran ekspektasi rasional menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada dasarnya tidak efektif karena pelaku ekonomi akan selalu mengantisipasi apa yang akan dilakukan pemerintah, dan menyesuaikan perilakunya. Singkatnya, pemerintah tidak perlu repot-repot mengutak-atik ekonomi, cukup menjadi regulator.
Tapi di periode yang hampir sama, lahir juga pemikiran tentang sebab-sebab kegagalan pasar, yang justru menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah bisa membuat pasar lebih efisien. Lalu di dekade 80-90an, berkembang pemikiran bahwa efisiensi dalam pasar tidak bisa dilepaskan dari aspek kelembagaan. Institusi sosial dan politik yang kuat dibutuhkan supaya mekanisme pasar bisa menjamin bahwa insentif individu bisa sejalan dengan kepentingan sosial. Di periode itu berkembang juga studi-studi multidisiplin, yang menunjukkan bagaimana psikologi, sosiologi, antropologi dan hukum memperkaya pemahaman tentang bagaimana individu mengambil keputusan ekonomi.
Sebagian dari studi-studi ini mendapat penghargaan paling prestisius, Nobel Ekonomi. Bahkan, separuh dari hadiah Nobel diberikan pada ekonom yang mendedikasikan karirnya untuk meneliti tentang pasar yang tidak bekerja dan apa konsekuensinya.
Di luar studi-studi yang sifatnya grand theory, banyak juga studi yang menelaah kegagalan pasar dalam tataran yang lebih sempit, seperti model rumah tangga pertanian (agricultural household model). Makin tersedianya komputer dan survey individu dan rumah tangga di skala besar mendorong makin banyaknya studi-studi empiris. Betul, banyak yang menunjukkan bahwa hipotesis pasar yang sempurna dan pelaku yang rasional tidak terbukti. Sebaliknya, banyak juga yang menegaskan bahwa kedua hipotesis itu tetap sahih.
Singkatnya, keberagaman pemikiran dan heterodoksitas di kalangan ekonom ‘kaum pembela pasar’ lebih besar dari yang populer dipersepsikan. Ini satu poin yang penting saya sampaikan, kalau perlu berulang-ulang. Banyak yang menganggap, karena buku teks pengantar ekonomi S1 menekankan bagaimana pasar bekerja dengan sejumlah asumsi yang ketat, atau karena efficient market hypothesis begitu berpengaruh, maka semua ekonom punya klaim tunggal tentang pasar. Tentu ini adalah persepsi yang tidak valid, dan tidak adil.
Diakui, ekonom mainstream memang bukan public relations yang baik dari disiplin yang digeluti. Kritik bahwa disiplin ekonomi menjadi terlalu kuantitatif-matematis kurang lebih punya poin. Bukan berarti ekonomi harus menjadi kurang matematis, tapi kita perlu lebih banyak ekonom yang punya kemampuan komunikasi dengan bahasa ‘kaum lain.’
Di sisi lain, kenyataan bahwa teori-teori non-ortodoks (informasi asimetris, institusi,behavioral dan sebagainya) sudah diserap dan menjadi bagian dari aliran mainstreampunya sisi positif sekaligus kekurangan. Justru karena sudah jadi bagian dari rutinitas keseharian, ekonom ‘lupa’ untuk mengomunikasikan studi-studi yang dilakukan dengan pendekatan non-ortodoks itu ke komunitas yang lebih luas.
* * *
Ada argumen lain yang sering disampaikan para pengritik mekanisme pasar. Bukan pasar per se yang ditolak, tapi pasar tidak boleh dibiarkan tanpa kendali. Dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah.
Milton Friedman pernah mengatakan, dibutuhkan pemerintah yang kuat untuk menjaga kebebasan individu. Implikasinya, pasar yang efisien memerlukan pemerintah. Artinya, secara generik semua setuju bahwa tidak ada dikotomi antara pasar dan pemerintah.
Ketika kita mulai masuk ke persoalan ‘mengendalikan’ dan ‘tanggung jawab pemerintah,’ maka analisis mulai jadi rumit dan kita perlu hati-hati dalam menyimpulkan. Apa itu mengendalikan pasar? Apa instrumennya? Pertanyaan sebelum itu adalah apa yang membuat pasar harus dikendalikan?
Tidak ada jawaban generik. Kebutuhan untuk mengintervensi pasar timbul dari masalah yang spesifik. Untuk itu kita perlu tahu mengapa pasar bisa gagal untuk satu kasus yang spesifik. Keterbatasan akses petani pada kredit dan rendahnya partisipasi sekolah di kalangan keluarga miskin adalah dua problem yang dihasilkan oleh kegagalan pasar. Tapi penyebab kegagalan pasar di dua hal itu berbeda, sehingga pendekatan kebijakan yang diperlukan juga berbeda.
Dalam beberapa masalah lain, meski penyebab kegagalan pasar bisa diidentifikasi, solusinya belum tentu berupa intervensi. Contoh yang agak ekstrem adalah di India, sistem kasta adalah alasan mengapa pasar tidak bekerja di banyak kasus. Tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa menghapuskan sistem ini hingga sekarang. Tapi pemerintah bisa membuat pasar tenaga kerja bekerja dengan baik, sehingga ada permintaan bagi tenaga kerja dari kasta rendah yang memungkinkan mereka memiliki penghasilan yang cukup.
* * *
Jadi, sekali lagi, ada masalah apa dengan ‘pembela pasar’? Khususnya kalau kita bicara soal komposisi pemerintahan? Ada beberapa kelompok yang keberatan kalau pemerintahan diwarnai oleh orang-orang dan kebijakan propasar.
Kemungkinan pertama, yang akan anti terhadap ‘pembela pasar’ adalah pengusaha dan pemilik modal domestik yang tidak kompetitif dan akan dirugikan kalau pasar menjadi bekerja sempurna. Penting untuk membedakan ekonom ‘pembela pasar’ dengan ‘pelaku/pemain’ pasar. Yang kedua tidak selalu mendukung pasar yang sempurna.
Kemungkinan kedua, mereka ada secara umum kuatir bahwa para pembela pasar punya misi (agenda) untuk meminggirkan pemerintah, membuka jalan bagi mekanisme pasar yang tidak terkendali, dan ujung-ujungnya bagi para pemilik modal global. Ini bukan argumen baru; di tahun ‘70an ini populer dengan sebutan ‘komprador.’
Saya tidak bisa komentar banyak soal komprador dan kekuatiran ini. Tapi mungkin saya bisa mengingatkan, ketika argumen ini pernah populer di tahun ‘70an, faktanya adalah kebijakan yang banyak dianut negara berkembang di era itu adalah substitusi impor dan proteksi perdagangan yang tinggi. Di Indonesia juga begitu. Bahkan, orientasi saat itu adalah mendirikan industri padat modal seperti petrokimia, semen. Kalau argumen komprador itu benar, harusnya pola industri dan perdagangan berjalan atas logika keunggulan komparatif, dan negara seperti Indonesia melakukan spesialisasi di sektor-sektor padat karya.
Kenapa tidak begitu? Karena ‘negara’ tidaklah sepasif yang dikira. ‘Negara’ tetap punya otonomi dan kepentingannya sendiri, yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan modal maupun para ‘pembela pasar.’
Atau, lihat di tahun ‘90an. Dalam kasus BPPC, pemerintah memberikan konsesi pada Tommy Suharto. Petani cengkeh dirugikan, tapi juga pabrik rokok. Ingat bahwa perusahaan rokok adalah pembayar pajak terbesar (saat itu), menggambarkan posisi modal mereka yang besar. Tapi bukan berarti ‘negara’ tunduk pada kepentingan modal besar. Seperti halnya ketika pemerintah memberikan konsesi pada, lagi-lagi, Tommy Suharto dalam kasus mobil nasional. Dalam hal ini pemerintah bahkan berhadapan dengan Jepang – salah satu sumber modal dan donor terbesar.
(Catatan: ilustrasi ini saya dapatkan dari Chatib ‘Dede’ Basri, bertahun-tahun lalu, ketika Dede masih bujangan dan lebih esktrim libertarian… Thanks, De!).
Kemungkinan ketiga, mereka yang berangkat dari ideologi atau posisi epistemis berbeda dan tidak terlalu senang dengan dominasi para ‘pembela pasar’ dalam kebijakan. Sekali lagi, saya tidak bisa banyak berkomentar. Hanya, ada kontradiksi internal di sini. Asumsinya adalah para ‘pembela pasar’ akan mendominasi arah kebijakan ekonomi. Artinya, argumen ini melihat bahwa eksekutif (pusat) adalah aktor yang bisa menentukan hampir segalanya.
Bagaimana dengan legislatif? Bagaimana dengan pemerintah daerah? Benarkah peran mereka marginal? Karena justru satu perubahan signifikan pasca Orde Baru adalah berayunnya kekuatan dari eksekutif ke legislatif, dari pusat ke daerah.
Ada yang mengatakan, kita terjebak dalam oligarki politik, dan legislatif akan kembali jadi tukang stempel para ‘pembela pasar.’ Kalau itu benar, justru pertanyaannya adalah mengapa berbagai kritik terhadap pasar yang begitu ‘seksi’ di tataran diskursus publik jadi tidak punya taji ketika diaplikasikan di tataran kebijakan? Jangan-jangan pendekatan yang ditawarkan oleh ‘pembela pasar’ lebih pragmatis dan aplikatif?
(Ketika menulis artikel ini, saya mengantisipasi akan ada tanggapan yang berbau konspiratif. Kalau benar ada, saya tidak tertarik untuk membahasnya).
Mungkin pertanyaan yang bisa diajukan adalah, kalau bukan pembela pasar, siapa atau yang sebaiknya menjadi tim ekonomi (ekonom atau bukan)?
No comments:
Post a Comment