Sunday, May 31, 2009

Neoliberalisme: sebuah kebingungan kolektif

Perdebatan tentang neoliberalisme di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, setidaknya sepuluh tahun terakhir. Sayangnya, belakangan ini istilah neoliberalisme digunakan secara serampangan. Kepadanya bisa disematkan berbagai definisi, betapapun ekstrem dan tidak sahihnya definisi itu, untuk kemudian dikritik. Istilah neoliberalisme dan ‘kaum neoliberal’ (disingkat neolib) menjadi semacam boneka jerami yang menjadi sasaran tembak tanpa bisa membela diri.

Istilah neoliberalisme memang dibentuk dan didefinisikan oleh para pengritiknya. Ada sejumlah variasi atas definisi baku neoliberalisme. Tapi umumnya menerjemahkannya sebagai kelanjutan dari tradisi liberalisme ekonomi klasik. Artinya, paham yang percaya pada kebebasan individu untuk bertransaksi, ekonomi pasar sebagai mekanisme alokasi sumber daya, dan campur tangan pemerintah serta hambatan atas transaksi yang minimal.

Lalu, apa yang jadi masalah dengan pemikiran yang sudah berusia dua abad lebih itu? Ada beberapa kritik umum yang sering disampaikan. Sebenarnya masih banyak lagi, tapi saya akan fokus pada empat yang cukup sering terlontar.

Pertama, kaum neolib secara ekstrem memandang pasar adalah segalanya (‘menghamba’ pada pasar). Keberadaan negara dianggap kontradiktif terhadap keberadaan dan perluasan pasar. Maka, kaum neolib menginginkan peran negara yang makin kecil, sementara pasar harus diperluas. Perluasan pasar ini tentu berkaitan dengan keuntungan yang lebih banyak bagi pemilik modal.

Kedua, selain lewat cara konvensional, ekspansi pasar dilakukan dengan dua hal lain: mengubah barang publik menjadi barang privat serta instrumen artifisial seperti transaksi derivatif.

Ketiga, untuk mencapai dua tujuan di atas, secara kontradiktif kaum neolib justru menggunakan negara sebagai instrumen untuk mencapai tujuannya. Mereka menyerukan pemerintah, terutama di negara-negara berkembang, untuk menjalankan ‘resep neolib’: disiplin fiskal, perdagangan bebas, kebijakan uang ketat, anggaran subsidi yang terbatas, privatisasi dan hak kepemilikan invididual. Ini adalah kebijakan yang dikenal sebagai ‘Konsensus Washington.’ Ini dilakukan antara lain lewat kekuatan modal global dan lembaga donor.

Keempat, sebagai akibat, neoliberalisme bertanggung jawab menyebabkan kemiskinan, ketimpangan global, eksploitasi serta marjinalisasi.

Kelima, karena semangat neoliberalisme adalah kompetisi, manusia dipandang tak lebih dari sekedar pelaku pasar. Relasi antarmanusia tereduksi menjadi sekedar transaksi ekonomi yang tidak personal. Sementara itu, solidaritas serta kerjasama adalah hal yang inferior.

Dengan penggambaran seperti ini, jelas neolib adalah sebuah paham yang sangat buruk, bahkan berbahaya. Problemnya, ketika sesuatu digambarkan secara ekstrem dans superlatif, yang memenuhi definisi itu menjadi makin sedikit. Bahkan tidak ada, karena makin banyak kriteria yang tidak dipenuhi. Akibatnya, sekarang ini jadi rancu apa dan siapa yang sebenarnya disebut neolib. Istilah neoliberalisme sudah menjadi seperti hantu – semua membicarakan dan ketakutan, tapi belum ada yang benar-benar pernah berjumpa.

Bukan hanya rancu. Istilah neolib jadi mengalami inflasi makna dan kehilangan kredibilitas. Orang bisa dengan mudah menyalahkan segala sesuatu pada neolib. Dari pemanasan global, bencana alam, hingga mutilasi.

* * *

Lima kritik yang saya sebut di atas juga sesungguhnya sangat bisa diperdebatkan.

Pertama, soal pasar adalah segalanya. Faktanya, sampai sekarang institusi negara tetap eksis. Milton Friedman, yang sering dirujuk sebagai ‘bapak’ neolib, memang menegaskan perlunya peran negara dibatasi. Tapi di saat yang sama, ia juga mengatakan negara yang kuat diperlukan untuk menjamin hak individu. Meski ia tetap mengingatkan bahwa negara yang cukup kuat untuk menjamin hak individu akan cukup kuat untuk merenggutnya.

Yang jelas, perdebatan soal negara dan pasar, bahkan di kalangan ekonom aliran mainstream, adalah sesuatu yang dinamis dan terus berlangsung. Betul bahwa kebanyakan ekonom percaya pada mekanisme pasar dan campur tangan pemerintah yang minimal. Tapi tidak pernah ada kesimpulan final dan generik. Diskusi kontemporer dalam disiplin ilmu ekonomi sudah meninggalkan debat soal pasar versus pemerintah, tapi intervensi apa yang paling tepat untuk masalah spesifik.

Dalam tataran kebijakan, lagi-lagi faktanya kebijakan sosial dan redistribusi tidak ditinggalkan seperti dikatakan para pengritik neoliberalisme. Ekonom dari aliran mainstream tetap berpendapat bahwa kebijakan proteksi sosial terhadap kelompok miskin tetap diperlukan dalam ekonomi pasar. Perdebatannya memang ada pada tataran ‘kebijakan apa’ dan ‘bagaimana.’

Kedua, soal penciptaan instrumen-instrumen pasar yang artifisial. Kritik ini punya poin kebenaran. Adanya ‘inovasi’ seperti transaksi derivatif dan lainnya yang belakangan ini ada di balik krisis keuangan global adalah sebuah ekses negatif dari kompetisi dan pengejaran profit. Saya setuju, ini menunjukkan bahwa mekanisme pasar an sich berpotensi melahirkan hal-hal yang destruktif. Dan ini yang menciptakan kebutuhan akan regulasi hingga tingkat tertentu.

Tapi kompetisi dan pengejaran profit juga menghasilkan berbagai inovasi lain yang konstruktif. Menolak kompetisi dan pengejaran profit atas dasar ekses negatif tanpa mempertimbangkan yang postif adalah kesalahan logika. Pertanyaan besarnya adalah, tanpa adanya semangat kompetisi dan pengejaran profit, apakah peradaban manusia akan lebih baik dari sekarang ini?

Ketiga, soal kritik pada liberalisme yang dipaksakan lewat kebijakan standar neolib. Argumen ini didasarkan pada sebuah asumsi implisit: basis ‘ide’ yang ada di belakang kebijakan ‘standar’ itu tidak bisa tersebar dan diadopsi tanpa adanya desain besar untuk membuatnya tersebar lewat kekuatan modal global dan lembaga internasional. Taruhlah asumsi itu benar. Yang jelas, sebuah ide itu tentu memerlukan ‘kaki’ untuk bisa bertahan. Kaki itu adalah relevansi dengan realitas dan problem yang dihadapi. Artinya, ide seputar mekanisme pasar tidak akan menjadi dominan kalau memang ia bukanlah sebuah sistem yang menawarkan solusi untuk problem alokasi sumber daya yang terbatas.

Saya ambil satu contoh, soal kebijakan displin fiskal. Perlu diingat, sebelum dekade ‘80an disiplin fiskal bukanlah sesuatu hal yang dianggap penting oleh pemerintah banyak negara di dunia. Mereka menutupi defisit dengan mencetak uang, menyebabkan inflasi bahkan hiperinflasi. Jika inflasi tinggi, mustahil bagi pemerintah untuk bisa menjalankan fungsinya secara efektif, termasuk fungsi perlindungan sosial. Lihat apa yang terjadi sekarang di Zimbabwe, atau sejumlah negara Amerika Latin di awal ‘80an.

Itulah mengapa orientasi kebijakan ekonomi sepanjang dekade ’70-80an adalah meredam inflasi. Kalau saat ini hiperinflasi bukan lagi jadi isu besar, itu adalah salah satu keberhasilan pemikiran monetaris di awal ‘70an.

Keempat, soal kemiskinan dan ketimpangan. Terlepas dari apa yang dikatakan para pengritik ekonomi pasar, faktanya adalah tingkat kesejahteraan manusia meningkat. Generasi sekarang memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih baik dari generasi lalu, apalagi dua generasi sebelumnya. Tingkat harapan hidup, pendidikan, pilihan-pilihan yang tersedia, semua lebih baik.

Ini tidak menafikan bahwa kemiskinan dan ketimpangan tetap menjadi problem. Dan betul, dalam sebagian kasus kebijakan berorientasi pasar menyebabkan, setidaknya mempertahankan, kemiskinan dan ketimpangan. Tapi di banyak kasus lain, kemiskinan dan ketimpangan disebabkan oleh intervensi pemerintah, atau hal-hal lain yang sifatnya struktural. Misalnya iklim dan penyakit, perang saudara dan negara yang gagal, sistem kasta dan isolasi geografis. Artinya, persoalan kemiskinan dan ketimpangan punya akar yang beragam. Menuding sebuah ‘paham’ sebagai penyebab tunggal adalah penyederhanaan masalah yang terlalu ekstrem, bahkan cenderung menjadi ketidakjujuran intelektual.

Di sisi lain, kebijakan yang meletakkan sejumlah elemen mekansime pasar bisa berdampak positif pada kemiskinan. Contoh nyatanya adalah apa yang terjadi di Cina dan India. Dua negara ini bisa tumbuh dengan cepat setelah sejumlah reformasi pasar dilakukan. Hasilnya, terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebanyak satu milyar penduduk sepanjang dekade 80-90an.

Berbagai inovasi yang didorong oleh mekanisme pasar juga bisa menjadi solusi bagi penduduk miskin. Di India dan Afrika, telepon seluler telah membuat hidup menjadi lebih mudah bagi petani, pedagang kecil, nelayan dan pekerja migran. Mereka bisa melakukan transaksi dengan lebih cepat, memonitor perkembangan harga, hingga mengirim uang pada keluarga di kampung halaman lewat layanan SMS.

Di sisi lain, kebijakan yang ‘tidak neolib’ belum tentu berpihak pada kelompok miskin. Contohnya, proteksi atas sektor pertanian (beras) akan membuat harga beras domestik naik. Ini tentu menguntungkan petani pemilik lahan. Tapi akan memukul buruh tani, pengusaha kecil, pedagang asongan dan kelompok miskin kota. Atau. kenaikan UMR dan kebijakan pasar kerja yang tidak fleksibel tentu menguntungkan pekerja sektor formal, tapi makin menutup akses bagi pekerja sektor informal. Jangan-jangan kebijakan yang berbau neoliberal seperti penurunan tarif impor beras dan pasar kerja yang fleksibel justru lebih berpihak pada kelompok miskin.

Kelima, soal hilangnya solidaritas dan reduksi hubungan antarmanusia. Harus saya akui, saya tidak terlalu fasih menanggapi soal ini karena 1) saya tidak sepenuhnya paham atas isu ini, 2) keterbatasan pisau analisis yang saya punya. Tapi, kembali pertanyaan besarnya adalah: benarkah umat manusia mengalami perubahan menuju kondisi sesuram yang digambarkan – bahwa hubungan antarpersonal tereduksi menjadi hanya sebatas transaksi komersial dan di bawah ekonomi pasar solidaritas menjadi lenyap?

Di tataran empiris, saya kira kenyataan jauh lebih kompleks dan tidak sesuram itu. Ada banyak paradoks yang akan kita temukan. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat voluntarisme, partisipasi dalam komunitas dan filantropisme tetap tinggi. Tingkat filantropisme terhadap PDB di Eropa lebih rendah dibandingkan di AS, karena secara historis peran negara di Eropa lebih besar dan tingkat pajak lebih tinggi. Artinya, dalam kasus filantropisme, sebenarnya yang terjadi adalah menggeser inisiatif yang dilakukan oleh swasta atau individu ke tangan negara.

Kalau isunya adalah mekanisme pasar memarjinalkan peran modal sosial dan institusi formal, saya kira persoalannya jauh lebih rumit. Modal sosial dan institusi informal memang bisa, dan masih, optimal dalam konteks yang terbatas. Tapi tentu ia memiliki banyak keterbatasan ketika aktifitas manusia menjadi makin kompleks, sebagai konsekuensi dari meningkatnya kesejahteraan.

Sementara itu, baik negara maupun pasar sama-sama berpotensi menggeser peran insitutusi informal. Di Indonesia selama era Orde Baru, tekanan bagi pranata-pranata sosial justru bukan datang dari mekanisme pasar melainkan intervensi (dan kooptasi) negara. Sebaliknya, dibandingkan dengan negara-negara yang menyediakan sistem perlindungan sosial seperti tunjangan pengangguran atau pensiun, penduduk negara berkembang seperti Indonesia justru lebih bergantung pada institusi informal seperti hubungan kekerabatan.

Artinya, saya tidak melihat sebuah pola yang sistematis dan umum dalam hubungan kausalitas antara paradigma ekonomi pasar dan hubungan interpersonal.

* * *

Dari beberapa argumen dan kontra-argumen di atas, terlihat bahwa sulit bagi kita akhirnya untuk menyimpulkan kondisi seperti apa yang memenuhi definisi (atau persepsi) tentang neoliberalisme. Tidak jelas juga apa atau siapa yang sebenarnya sedang jadi sasaran kritik.

Hal lain, reduksi istilah neoliberalisme sebagai boneka jerami (straw man) membuat banyak orang semakin kurang apresiatif pada perdebatan akademis seputar peran negara dan pasar yang sebenarnya terus terjadi. Bagi saya, ini adalah kecenderungan yang sangat disayangkan. ***

1 comment:

  1. ternyata ini tulisan sudah hampir setahun yah..
    Thanks to Fadjroel, saya bisa nemu blog ini..

    Terlepas dari paham yang berlaku atau dianut oleh mayoritas negara di dunia, yang paling penting dari sebuah negara adalah sikapnya yang terwujud dari kebijakan strategis hingga hasil yang dicapai.. dan tetap bersikap antisipatif, bahwa tidak semua kondisi hari ini merupakan 100% hasil dari kebijakan.. karena kesialan dan keberuntungan selalu ikut campur, baik itu secara demografi, geografi, dan lainnya..

    Terlepas juga dari kemampuan ahli ekonomi Indonesia untuk memahami ilmu ekonomi, kebijakan-kebijakan ekonomi Indonesia cenderung lemah dalam bersikap secara strategis..
    AFCTA adalah sebuah contoh bagaimana para pemikir hanyut dalam kecanggihan konsep liberalisasi pasar tapi lupa terhadap optimalisasi pasar domestik (kalau tidak mau dibilang aktivasi pasar nasional).

    Pada konstitusi Indonesia, tersirat bahwa negara harus berfungsi sedemikian rupa sehingga 'no Indonesian will be left out', mekanisme pasar tidak dihambat sejauh tidak merugikan rakyat (di mana yg disebut sebagai kunci adalah sumber-sumber yg menguasai hajat hidup orang banyak).
    Pendiri negara ini sudah bersikap cukup jelas.. mereka seperti mengatakan "working the fine line between extremes.."

    tulisan yg bagus, mas Adi..

    ReplyDelete