Dear kawan,
Terima kasih sudah menyempatkan membuka tulisan ini. Kalau
kita belum sempat berkenalan, nama saya Ari. Saya tidak terkait dengan timses
Jokowi maupun partai manapun. Saya sebatas berkomentar di media sosial
menunjukkan pilihan saya.
Mungkin saat ini kamu belum menjatuhkan pilihan. Mungkin
juga tidak akan. Atas alasan apapun, saya hargai keputusanmu. Saya pun pernah
memutuskan untuk tidak memilih. Tepatnya saat putaran kedua Pilgub DKI 2012
lalu. Saya jelas tidak berniat memilih Foke. Tapi satu hal yang membuat saya
tidak bisa memilih Jokowi adalah Prabowo. Lengkapnya bisa baca di sini.
Kalaupun kali ini saya memutuskan untuk memilih Jokowi, itu
pun karena Prabowo. Tepatnya, karena Jokowi sekarang adalah orang yang
berhadapan dengan Prabowo, yang akan menghalangi jalan Prabowo ke istana.
Mungkin kamu akan bertanya, kok segitu amat sih sama
Prabowo? Kawan, percayalah, ini bukan semata-mata soal Prabowo (atau Jokowi).
Ini adalah soal Indonesia. Tepatnya Indonesia yang saya bayangkan. Saya tidak
bisa membayangkan Indonesia di era demokrasi ini – sebuah era yang pernah saya
dan teman-teman dulu perjuangkan – dipimpin oleh seorang yang pernah
menghilangkan orang lain secara paksa, alias menculik. Ya, Prabowo sendiri yang
mengakui itu.
Kalau kamu bertanya mengapa soal penculikan ini jadi begitu
penting? Tidak adakah alasan lain? Kawan, saya punya seorang putri berusia 7
tahun. Sehari saja saya tidak bisa bertemu dia, saya sudah uring-uringan. Saya
tidak bisa membayangkan seperti apa saya kalau anak, istri, orang tua yang saya
cintai direnggut paksa dari saya.
Itulah yang terjadi di tahun 1998. Beberapa orang tidak
pulang ke rumah karena di tengah jalan mereka dicegat, diangkut paksa, di bawa
ke tempat entah di mana. Ada orang tua, istri dan anak yang menunggu mereka.
Sebagian sudah kembali dengan trauma penyiksaan yang berbekas. Sebagian tidak
pernah kembali.
Saya tidak peduli Prabowo mengatakan ia hanya menjalankan
perintah; bahwa bukan semua penculikan dilakukan olehnya. Saya tidak peduli
bahwa ia mengatakan ia tidak pernah diputus bersalah atau dipecat. Saya tidak
peduli ia mengatakan kasusnya sudah selesai karena Megawati menjadikannya
cawapres di tahun 2009 (karena itu juga saya tidak bisa memilih Mega di tahun
2009).
Saya hanya tidak bisa menerima ide bahwa Indonesia yang saya
cintai ini akan dipimpin oleh seorang yang mengaku pernah menculik orang lain.
Entah apa yang harus saya jawab pada anak saya ketika ia bertanya suatu saat
nanti, “Mengapa orang yang jahat pada orang lain bisa menjadi presiden kita?”
Kawan, ada satu hal lain yang membuat saya tidak bisa
memilih Prabowo. Kampanyenya dipenuhi dengan fitnah dan kebohongan, termasuk
isu SARA. Saya tidak bisa menerima jika kepemimpinan Indonesia dibangun di atas
fitnah. Mungkin betul, bukan Prabowo yang melakukan atau memerintahkan itu.
Tapi ia – yang digambarkan sosok yang tegas – pun tak pernah tegas melarang
kampanyenya berlandaskan fitnah.
* * *
Dari tadi saya bicara soal Prabowo. Kalau kamu bertanya
apakah saya yakin pada Jokowi, jawabanku adalah ya – dengan derajat skeptisme
yang cukup. Sedikit skeptis itu perlu untuk menjaga kita tetap waras.
Saya pernah berada satu panel dengan Jokowi. Suatu hari
tujuh tahun lalu di Fakultas Ekonomi UNS. Saat itu saya belum tahu dia.
Kupikir, ah paling ini tipikal presentasi birokrat seperti biasa. Ternyata saya
salah. Ia lugas dan straight forward dalam presentasi. Setelah itu baru saya
sadari setelah membaca beberapa liputan bahwa ia adalah generasi baru pemimpin
daerah. Saya pun berharap suatu ketika akan tampil pemimpin nasional yang
matang dari daerah.
Ada pertanyaan soal apakah di Solo, ia berhasil membangun
sistem, atau semua lebih karena figurnya. Tahun 2012 lalu saya kembali ke Solo
untuk sebuah urusan pekerjaan. Saya harus mewawancara aparat Dinas Nakertrans.
Saya mendapatkan kesan profesional dan melayani dari bapak-bapak yang saya
temui. Artinya, tentu pekerjaan membangun sistem belum akan selesai dalam
sepuluh tahun. Tapi setidaknya ada nilai-nilai yang berhasil ditanamkan di
kalangan birokrat lokal.
Saya akui, gaya manajemen mikro Jokowi bisa efektif di
tingkat Kota/Kabupaten karena di situlah level otonomi daerah berada. Sedikit
banyak juga di DKI Jakarta. Tapi di propinsi lain, apalagi nasional, gaya ini
belum tentu cocok. Dalam debat ia pun sering terihat terlalu banyak ada di
level mikro, di saat kita menanti bagaimana ia melihat permasalahan secara
global (lihat catatan ini).
Jokowi punya banyak kekurangan, itu pasti. Tapi memang lebih
mudah menemukan kekurangan dari mereka yang sudah melakukan sesuatu yang nyata,
ketimbang yang baru di tataran rencana atau wacana.
Kawan, kita tidak perlu pemimpin yang komplit, karena itu
tak pernah ada. Kita perlu seorang yang tidak sempurna namun mau belajar dan
mendengar. Ini yang saya lihat ada di Jokowi. Dalam debat ketiga tentang
pertahanan – area dimana ia lemah dan Prabowo harusnya jauh unggul – terlihat
justru ia yang lebih updated dengan wacana terkini. Misalnya soal diplomasi di
Laut Cina Selatan (yang memang menjadi posisi resmi RI) atau teknologi pesawat
tanpa awak yang memang sedang dikembangkan.
Kita pun harus adil. Apakah Prabowo sudah teruji sebagai
pemimpin sipil? Apakah gaya dan pendekatannya cocok untuk Indonesia di era
demokrasi dan desentralisasi? Sepintas ia memang terlihat lebih tegas dibanding
Jokowi. Dan ini yang mungkin membuatnya banyak disukai oleh kawan-kawan yang
mendambakan ketegasan.
Tapi apakah sebenarnya definisi ketegasan itu? Saya mau
cerita. Beberapa tahun terakhir saya bekerja di lingkaran pemerintahan. Sedikit
banyak saya melihat bagaimana birokrasi kita bekerja. Itu adalah dunia yang
menantang. Birokrasi tidak akan jalan dengan wacana atau jargon bombastis.
Supaya birokrasi bekerja, yang diperlukan adalah kemampuan memetakan masalah
dan menemukan solusi yang sesuai untuk problem yang sesuai. Tanpa kemampuan
itu, ia hanya akan menjadi sebuah palu yang memandang semua hal adalah paku.
Saya melihat Prabowo tidak mampu memetakan permasalahan
dengan tepat. Ia memandang masalah yang kita hadapi adalah ‘kebocoran’ (senilai
seribu trilyun) dan solusinya adalah bagaimana menambalnya. Padahal angka
seribu trilyun itu didasarkan atas asumsi dan perhitungan yang lemah. Kalaupun
itu berhasil dikumpulkan, tanpa ada perbaikan dalam sistem, uang itu tidak akan
bisa diterjemahkan ke dalam peningkatan kesejahteraan. Ini sudah ia utarakan
sejak 2009 – ia sudah menjadi sebuah palu yang melihat semuanya sebagai paku.
Atau mungkin - sekali lagi, mungkin - Jokowi masih belum meyakinkanmu karena pembawaannya? Karena ia minim pengalama di level nasional? Ah kawan, bisa jadi itu bentuk kesombongan kita saja kelas menengah terdidik. Ketahuilah, memimpin kota kecil itu tidak semudah yang kita kira. Tapi lihatlah, Jokowi bersama Ahok dalam waktu singkat membenahi banyak hal di Jakarta, yang selama ini tidak bisa diebenahi orang 'pusat' toh? Mereka menunjukkan bagaimana
seharusnya kepemimpinan sipil di era demokrasi dan desentralisasi dijalankan.
Bukan sebagai komandan perang, tapi sebagai mandor dan manajer. (Soal mandor,
ingat bagaimana Jokowi langsung menjadi mandor saat perbaikan tanggul
Latuharhary?)
Ah, jika Jokowi jadi presiden, Ahok akan menjadi gubernur. Ahok bisa menunjukkan bahwa meski dia diusung partai Prabowo, dia bisa berada berhadapan dengannya. Tidakkah itu sebuah ide yang keren?
* * *
Dalam Indonesia yang demokratis, pertimbangan ini yang menjadi dasar saya menentukan pilihan:
- Kita butuh didengar, bukan hanya mendengar pemimpin
- Kita butuh dilibatkan, bukan hanya dikomando
- Kita ingin pemimpin yang terbuka untuk dikritik dan punya hal konkrit untuk dikritik, bukan sekedar wacana dan asumsi
Kawan, terima kasih sudah mau membaca hingga sejauh ini. Jika masih ada ruang dalam pendirianmu untuk bisa dipengaruhi, kuharap kau mau menggunakan hak pilihmu dan bersama-sama menentukan kepemimpinan seperti apa yang akan menentukan Indonesia ke depan.
Salam!
Keren mas :) (y)
ReplyDeletevery well written
ReplyDeleteTadinya berniat baca, berharap paling tidak membantu menentukan pilihan untuk partisipasi. Di mata saya, kedua kubu sama busuknya. To be fair, Jokowi masih punya track record lebih baik dibanding Prabowo, dan ngga didukung PKS yang fasis atau FPI yang ekstrimis. Tapi poin utamanya adalah: presiden ngga bisa kerja sendiri, dia butuh dukungan dari partai pengusung dan koalisinya. Itu yang membuat saya masih berpikir keduanya bukan pilihan bagus.
ReplyDeleteTapi begitu dasar pendapat di argumen awal adalah jangan pilih Prabowo karena kasus penculikan, gugur niat membaca. "Oh, ini hanya salah satu tulisan ngga objektif lainnya", itu di pikiran saya. Untuk kasus penculikan, betul Prabowo mengambil alih tanggung jawab dengan mengakui memberi komando ke tim Mawar. Untuk itu bisa dikatakan dia "bersalah". Mereka yang hanya butuh kambing hitam akan puas sudah ada Prabowo untuk disalahkan, mereka yang mencari kebenaran akan terus mencari dalangnya.
Kenapa tim Mawar diadili di MahMil berdasarkan hukum militer, sedangkan Prabowo hanya diadili di Dewan Kehormatan Perwira yang notabene dikelola para jendral? Kenapa putusan MahMil atas tim Mawar bisa menyeret Prabowo sebagai atasan mereka, tapi putusan DKP ngga menyeret Wiranto, Hartono, dan Faisal Tanjung sebagai atasan dia? Sebagai badan yang bukan bentukan pemerintah, apa itu Dewan Kehormatan Perwira? Kehormatan siapa yang dilindungi? Seperti halnya Prabowo telah disudutkan dan harus diadili di peradilan hukum, maka seharusnya nama-nama seperti Wiranto, Hartono, Faisal Tanjung pun seharusnya juga memikul tanggung jawab. Dan salah satunya jelas berlindung di kubu Jokowi.
Pikir saya "kalau ngga mau dipimpin presiden yang pernah lakukan penculikan yang (kemungkinan) diperintahkan, kenapa mau dipimpin presiden yang didukung (kemungkinan) pemberi komando penculikan tsb dan pelanggaran HAM lainnya?" Kalau komando militer mau dilihat dari perspektif HAM, kenapa ngga melihat dari perpesktif yang sama atas pembunuhan rakyat sipil Aceh dalam perintah pengamanan GAM di era Megawati sebagai panglima tertinggi? Atau kasus Talangsari oleh Hendropriyono yang merupakan tangan kanan Megawati di bidang militer? Atau kasus penembakan dan kematian mahasiswa trisakti oleh peluru Polri ketika Wiranto menjabat Pangab? Dan ketiga nama itu ada di kubu Jokowi.
Kalau menolak melihat itu, berarti memang benar pikiran saya "oh, ini hanya salah satu tulisan ngga objektif lainnya".
Lha kan ini memang tulisan yang tujuannya ngajak. Ya boleh mau diajak boleh nggak :)
DeletePrabowo mengaku menculik kok, itu buat saya cukup jadi alasan dia nggak layak jadi presiden. Yang lain juga nggak bersih, tapi sekarang kan yang maju jadi presiden kan Prabowo. Itu dulu, sisanya tentu nggak dilupakan
bedanya Prabowo dengan jenderal-jenderal yang lain, dan kenapa dia nggak dihukum berat atau diajukan ke Mahmilub adalah: Prabowo menantu Soeharto. tau 'kan, gimana berkuasanya Suharto saat itu? Prabowo bisa dipecat aja udah sesuatu yang luar biasa. yah, kira-kira sama lah alasannya kenapa hukum berat tidak diberlakukan pada Rasyid Rajasa. itulah makanya kita mesti meretas lingkaran kesewenang-wenangan macam itu. pilih pemimpin yang baru, yang nggak digantungi dosa-dosa masa lalu.
DeleteKampanye nih yee
ReplyDeleteLho memang iya kan?
DeleteYes, #salam2J4RI
ReplyDeletepernah membaca sejarah Ir. Soekarno? dulu dia adalah salah satu "kaki tangan" Jepang membawa pekerja paksa di indonesia pada masa penjajahan untuk di pekerjakan di Jepang. gimana ya perasaan keluarga yang dibawa untuk dipekerjakan di Jepang? tapi kenapa dia bisa menjadi Presiden pertama Republik Indonesia? karena memang orang orang di sekitar dia menganggap Ir. Soekarno mampu untuk mengemban Presiden Republik Indonesia. Gw bukannya menjelek jelekkan Ir. Soekarno, gw hormat dan sangat bangga pada dia pernah menjadi Presiden RI, dan sekarang lo mengungkit masa lalu salah satu capres dengan masa lalunya? kalau jaman dahulu uda ad pemilu sperti sekarang? lo bsa milih soekarno?. sekarang lo menjelek jelekkan salah 1 capres, kok gw ngerasa itu g adil ya.. haha hidup emang g selalu adil ya!
ReplyDeleteYa boleh kan nggak suka sama salah satu dan memberikan alasannya dan mengajak orang lain?
DeleteTulisan yang bagus! Mohon izin untuk disebarluaskan..
ReplyDeleteSalam dua Jari! Untuk pemilih bernurani!
Sorry.. Gak ngerti politik. Tpi manusia Tdk ada yang sempurna. Selama kampanye kubu manapun hanya bs jual omongan. Bukti keberhasilan hanya bs dilihat setelahnya.Niat baik hrs diberikan kesempatan yg Sama. Masa lalu hanya Tuhan yg menghakimi.that's what I think at least.
ReplyDeleteTulisan yang menarik bang, Kita perlu pemimpin yang berpotensi membawa perubahan Indonesia kearah yang lebih baik, JOKOWI adalah tipe pemimpin yang mampu mendengarkan, dan memberi contoh bagaimana mengerjakan sesuatu. Bukan tipe pemimpin Boss yang hanya mengkomandoi saja dan tau bagaimana sesuatu bisa dikerjakan (tapi tidak memberi contoh bagaimana mengerjakannya).
ReplyDeleteJOKOWI menginspirasikan Kemauan Baik (Goodwill) bukan menginspirasikan Ketakutan (Fears)
Salam 2 Jari
Agree, bagi saya, pemimpin yang sempurna ya cuma ada di film. Tapi ketika dihadapkan pilihan ada yang sudah terbukti bekerja (kalau Jokowi dibilang ga kerja, silakan gugling hasil kerjanya) dan yang belum ada buktinya, ya sangat mudah (harusnya).
ReplyDeleteSalam satu jari bro...
ReplyDeleteKita memang terlalu sombong untuk mengakui seseorang yang benar" qualified sebagai capres.. dengan segala prestasi yang di tunjukan, masih di bilang belum matang, belum pantas. Jakarta, dari tahun berapa tu tanah abang berantakan, waduk isi sampah semua hanya 2 tahun. cukup 2tahun, dia memberantas birokrasi-birokrasi, preman-preman dan kepentingan politik yang selalu menghambat!!! uda berapa banyak gubernur dki yang selalu claim dirinya sangat berjasa untuk jakarta sampai 10tahun periode.. i say nothing, but shit! Dirinya bukan hanya untuk jakarta, tapi untuk semua rakyat INDONESIA! Garuda kita adalah Garuda Pancasila, bukan Garuda Berdarah!! stop menghina Bangsa Indonesia, Stop menghina smua Former President kita.
ReplyDeletehttp://www.intriknews.com/2014/06/makin-terbongkar-ini-pengakuan-andi.html?m=1
ReplyDeleteGw enjoy baca tulisan Pe, well written dan kuat argumennya as always. Gw jg inspired dengan keberanian elo bersikap dan mengajak. So Ini analisa dan sikap gw.
ReplyDeletehttp://tulisanopini.blogspot.com/2014/07/untuk-para-kawan-yang-belum-mantap.html